Monday, May 21, 2007

Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta

http://www.tempointeraktif.com/
Edisi. 13/XXXIIIIII/21 - 27 Mei 2007

Laporan Utama
Pejabat di Puncak, Banjir di JakartaDI BUKIT CITAMIANG, Puncak, mereka membangun pesanggrahan berstandar bintang lima: ada mantan pejabat, pengusaha dan—terbanyak—para jenderal. Investigasi Tempo menemukan, rumah-rumah rehat itu ditegakkan dengan menabrak aturan. Mereka abai bahwa kawasan ini memiliki peran amat istimewa untuk mencegah banjir di Jakarta. Jika dibiarkan, rusaknya Citamiang akan membuat banjir di Ibu Kota makin besar. Persoalan ini menjadi sangat penting di tengah hiruk-pikuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta Agustus nanti. Di pundak merekalah terletak beban untuk mengurangi tekanan banjir di Jakarta. Berikut ini hasil investigasi Tempo di bukit itu—di sana bungalow liar tumbuh menyebar bak bunga liar.
Jenderal Wiranto bukan penduduk Citamiang, sebuah dusun di Tugu Utara, tapi di kampung paling dingin yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, itu namanya populer gara-gara vila.
Vila Ragananda—seperti terpahat di dinding batu dekat gerbang masuk—sesungguhnya jauh dari permukiman. Bungalow itu hampir di puncak Citamiang, tujuh kilometer dari jalan raya Puncak ke arah kiri. Jalan masuk ke sana sudah dijaga sejak di kaki bukit. Tapi, nama mantan Panglima TNI ini sampai juga kepada warga desa. ”Itu mah vilanya Wiranto,” ujar Ujang, warga Bukit Cisuren, dua kilometer dari Citamiang.
Terletak di ketinggian 1.123 meter, ”vila Wiranto” alias Ragananda hanya salah satu rumah tetirah liar berkelas butik di Citamiang. ”Di sana juga ada vilanya Djaja Suparman,” Ujang memamerkan pengetahuannya tentang para pemilik bungalow yang dibangun di atas lahan 25 hektare itu.
”Ada Oetojo Oesman.”
”Ada Mantiri.”
”Ada Suryadi.”
”Ada King Yuwono.”
”Nah..., dulu di bawah Vila Wiranto ada Vila Sutiyoso.”
Ini belum seberapa. Hasil investigasi majalah ini mencatat, di seantero Tugu Utara ada 400-an vila liar. Mestinya, buldoser sudah mulai menggaruk ratusan bungalow itu pekan ini. Menurut Wakil Bupati Bogor, Albert Pribadi, ini titah Wakil Presiden Jusuf Kalla kepadanya dalam rapat koordinasi pascabanjir besar di Jakarta, Februari lalu.
Hingga tulisan ini diturunkan, belum satu pun dinding yang dirobohkan. Padahal, vila-vila itu jelas menabrak sejumlah aturan penting: berdiri di atas tanah negara dan didirikan tanpa surat izin mendirikan bangunan (IMB). Ini yang paling membikin pening: tempat peristirahatan itu menutupi tanah di sebuah wilayah di Puncak yang perannya amat istimewa terhadap Jakarta, Bogor, Depok, dan sekitarnya.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Cipta Karya, Kabupaten Bogor, Anwar Anggana, mengatakan, tanah di sana harus dibiarkan terbuka karena berfungsi sebagai spons penyerap air hujan. Tugas area ini meminum air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah, hingga hanya sedikit yang mengalir ke Ciliwung. Maka, mestinya bangunan apa pun haram ada di sana.
Gara-gara tanah makin kedap air oleh vila dan aksesorinya itulah, Februari lalu dari Citamiang, Cisuren, Baru Jeruk, Baru Kiara, dan Pasir Ipis—semua ada di Tugu Utara—air hujan deras membanjiri Jakarta dan sekitarnya. Bersama-sama dengan air hujan dari sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung, jumlah air yang menerjang Jakarta waktu itu sekitar 32 juta meter kubik.
Banjir itu mengakibatkan kerugian hampir Rp 10 triliun dan memaksa setengah juta warga mengungsi. Wilayah Jakarta yang tergenang pun jauh lebih luas ketimbang banjir-banjir sebelumnya.
Kisah Citamiang sebetulnya tidak baru. Vila Sutiyoso di bukit ini dilantak buldoser ketika banjir melanda Jakarta pada 2002. Pada saat itu, tuduhan juga mampir kepada Wiranto dan Djaja, yang sudah disebut-sebut memiliki vila di kawasan ini. Wiranto waktu itu membantah. ”Kalau memang saya punya vila liar, silakan bongkar saja,” ujarnya kepada Tempo. Sejak itu Citamiang mati suri.
Eh, pada 2005, vila Ragananda dibangun di sana. Citamiang kembali siuman. ”Jalan dan sejumlah vila mulai dibangun lagi di atas,” kata Ujang.
Bukan cuma Citamiang yang terasa lebih hidup karena ada Ragananda. Sepanjang April hingga awal Mei, Tempo berkali-kali menyambangi Tugu Utara. Pemandangannya serupa: deru mesin-mesin pengaduk semen, pemecah batu, mesin serut kayu, seperti berlomba dengan waktu. Vila-vila pun bertumbuhan di tempat-tempat terlarang itu.
Citamiang menjadi referensi vila liar di seantero kawasan Puncak. Ini bukit, bukan sembarang bukit. ”Dalam catatan saya, kini ada 12 vila di Citamiang,” kata Jajat Sudrajat, Kepala Desa Tugu Utara. Vila itu milik orang-orang top, sebagian besar dari kalangan militer. Catatan ini klop dengan dokumen vila liar di Citamiang yang diperoleh Tempo.
Selain menyebut Wiranto, dokumen pada Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor itu mencantumkan nama sejumlah petinggi negeri. Dari petinggi militer ada nama bekas Wakasad Letjen TNI (Purn) Suryadi, Pangkostrad Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman, bekas Pangdam Udayana Letjen TNI (Purn.) H.B.L. Mantiri, dan beberapa yang lainnya. Di antara birokrat, ada mantan Menteri Kehakiman Oetojo Usman. Dari kelompok pengusaha ada King Yuwono, pemilik King Plaza.
Perimeter kompleks ini di kaki bukit dijaga ketat orang sipil yang berlagak bak militer. ”Jangankan wartawan, anggota DPRD juga tidak bisa masuk,” kata Anwar Anggana. Tempo pun harus menyaru jadi apa pun agar bisa masuk ke kompleks itu: pernah menjadi mahasiswa, pura-pura berolahraga, pura-pura pacaran, atau masuk bersama orang kampung yang bekerja di sana.
Fotografer yang paling kesulitan jika harus menyamar. Foto yang baik sukar diperoleh dengan cara ini, terlebih lagi bungalow-bungalow itu berpagar tinggi. Akhirnya, Tempo memutuskan menerbangkan pemotret dengan trike (gantole bermotor) ke bukit itu.
Ternyata, di udara pun Citamiang terbentengi. Ada kabel jaringan tegangan tinggi yang berada di sekitar lokasi pemotretan. Dan ini bulan Mei. Hari-hari pada bulan ini hujan di kawasan Puncak selalu datang menjelang tengah hari. Jika tidak hujan, wilayah itu pasti mendung. Makin siang angin pun lebih kencang menuruni punggung bukit dengan arah ke bawah. Hanya pada jam 8 pagi cuaca memihak Tempo.
Foto harus didapat. Berbekal posisi masing-masing bungalow di Citamiang dari Google Earth yang dimasukkan ke dalam penentu lokasi berbasis satelit (GPS), pagi pada awal Mei itu Tempo terbang dengan trike dari landasan udara Lido Resort, Sukabumi. Penerbangan ini memakan waktu sejam. Amboi, Citamiang memang ciamik.
Kompleks Citamiang berpagar hutan pinus di sisi kiri, kanan, dan belakang. Di baliknya menghampar perkebunan teh Ciliwung. Bungalow itu resik-resik, dengan halaman sangat luas. Pemandangan ke lembah sangat lepas: ke Gunung Gede-Pangrango hingga Salak.
Dari udara jalan masuk ke kompleks itu terlihat kurang bermutu, tapi di balik portal, hotmix-nya licin. Di dalam kompleks, jalan utama bercabang satu, ke arah kiri, ke vila Djaja.
Ragananda berada di jalan utama, di sisi kanan, sendirian. Di kiri, berbaris tempat rehat Oetojo Oesman, Mantiri, dan King Yuwono. Raganandalah yang paling menonjol.
Bangunan tiga lantai seluas sekitar 400 meter persegi itu paling besar, paling tinggi di bukit ini. Dan, seperti dibanggakan penjaganya, Erman, kepada Tempo: ”Vila ini mempunyai pemandangan terbaik.”
Sejatinya, Citamiang tidak semewah ini jika bukan karena King Yuwono. Menurut Yudi Wiguna, anggota Badan Perwakilan Desa Tugu Utara, bukit milik negara ini awalnya kebun jomblangan (cadangan) pengelola kebun teh Ciliwung, PT Sumber Sari Bumi Pakuan. Karena tak terurus, pada 1975 ratusan eks karyawan Ciliwung dan warga Tugu Utara mulai menggarap bukit itu. Sejak 1985, satu per satu lahan itu dioper garap—istilah warga setempat untuk menjual hak garap lahan—kepada masyarakat di luar Tugu Utara.
Pada 1988, King Yuwono dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo, membeli hak garap bukit itu dari warga. Mereka urunan membeli seluruh bukit seluas 25 hektare seharga Rp 500 juta, berarti Rp 2.000 per meter persegi. ”Waktu itu pembebasan lahan dibantu warga setempat, Abot,” kata King kepada Tempo (lihat One Stop Shopping ala Biong).
Keterlibatan Gubernur DKI Jakarta periode 1977-1982 ini diungkapkan King Yuwono dan Yoyo Mahmud Gunawihana, 70 tahun, mantan Ketua Serikat Pekerja Perkebunan Ciliwung yang kini menjadi Kepala Dusun II Tugu Utara. ”Ayah saya memang pernah mendengar soal itu,” kata Tommy Tjokro mengutip Tjokro Suprijadi, putra kedua Tjokropranolo, ketika dimintai konfirmasi tentang soal itu.
Cita-cita King dan Tjokro datang ke bukit ini setinggi bintang. Mereka ingin di sana berdiri tempat tetirah kelas bintang lima yang ramah lingkungan. Bukit itu pun ditata ini dengan ketat. Aturan seperti rasio luas bangunan di banding luas tanah tak boleh melenceng sedikit pun dari angka tiga persen. ”Inginnya sih jadi vila percontohan untuk wilayah di sekitarnya,” ujarnya.
Ternyata ini tak mudah. Belum semua bungalow berdiri, bukit itu dihujat menyalahi peruntukan. Menurut Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 tentang Rencana Umum Tata Ruang Puncak, bukit ini memang harus steril dari bangunan. Tapi, kata King, ia tak bermaksud melanggar ini. ”Pemerintahlah yang justru tidak pernah memberikan aturan yang jelas, mana yang boleh, mana yang tidak,” ujarnya. Jadi, ”Izinnya sama Tuhan.”
Halangan juga datang dari dalam bukit. Ragananda, misalnya, dibangun kelewat lebar dibanding luas kavling tanahnya. Toh ia tak bisa membatalkan pembangunan Ragananda. ”Jadi, kavling saya harus dikurangi untuk menyeimbangkan perbandingan luas bangunan Ragananda dan luas lahannya,” kata pemilik dua vila di bukit itu.
King mengaku, ia menata bukit ini dengan ketat karena lahan itu tidak hanya untuk dirinya. Ia membeli bukit itu karena pesanan para petinggi militer. Maka, setelah bukit itu siap dibangun, ia pun menghadiahkan kavling-kavling tersebut kepada para pemesannya. Benarkah?
Wiranto mengatakan, ia membeli tanah itu langsung dari PT Sumber Sari Bumi Pakuan, pengelola kebun teh Ciliwung, pada 9 Maret 1999. ”Tadinya akan digunakan untuk kebun bunga,” ujar Wiranto yang menjawab pertanyaan Tempo via faksimile.
Lantaran lokasinya sulit, ia mengurungkan niat itu. Sejak Mei 2006, tanah tersebut bukan miliknya lagi. ”Sudah saya pindahkan haknya pada pihak lain lewat akta perjanjian,” ujarnya. Vila itu pun, dengan demikian, bukan miliknya lagi. Lantas, milik siapa?
Cerita datang dari Abot—nama sesungguhnya Elit Wijaya. Abot mengaku pernah bertemu dengan Wiranto pada 2004. ”Saya bertemu dua kali,” ujarnya, ”Tapi seingat saya pembangunan vila itu dibiayai oleh Mulyono,” katanya. Ia tak tahu siapa Mulyono.
Wiranto pun masih ke Ragananda. Saat Tempo mengunjungi vila Ragananda pada 7 Mei lalu, Rugaiya Usman, istri Wiranto, sedang menginap di sana. Tempo melihat mobil Toyota Alphard B-512-UN warna perak terparkir di halaman vila. ”Itu mobil ibu Uga,” kata Ecih perempuan baya penjaga vila Ragananda.
Ecih mengatakan, selain Rugaiya, Wiranto juga kerap menginap di Ragananda. ”Bulan puasa lalu bapak sering datang ke sini,” katanya. Apa kata pemilik vila lainnya?
Mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman mengaku membeli hak garap tanah di Citamiang dari Yurianti Wijaya, pemilik PT Sumber Sari Bumi Pakuan. Ia membeli tanah seluas 5.000 meter persegi itu sekitar tahun 2000. ”Harga persisnya lupa, tapi kurang sedikit dari Rp 100 juta,” ujarnya.
Di atas lahan itu, menurut Oetojo, ia mendirikan bangunannya dua tingkat dengan luas total 234 meter persegi. ”IMB-nya masih dalam proses,” ujarnya.
Mantiri juga mengaku tanah itu bukan pemberian. ”Saya membeli waktu saya masih dinas aktif, sekitar 1990-an,” ujar bekas Pangdam Udayana. Cuma Djaja yang menjawab lain. Ketika ditemui Tempo, mantan Pangkostrad ini menjawab singkat: ”Tidak tahu.”
Bekas Wakil KSAD, Suryadi, mengaku menerima vila itu dari tangan King Yuwono. Tapi, sudah tiga tahun dia tidak pernah ke sana. ”Sejak diributkan saya malas ke sana,” katanya. Vila berkamar dua itu pun sudah dimakan rayap, namun Suryadi mengaku enggan memperbaikinya. Yang dilakukannya hanya membayar listrik dan menggaji penjaganya setiap bulan.

Tugu Utara bukan satu-satunya desa yang menjadi benteng banjir terakhir Jakarta di kawasan Puncak yang radang oleh vila liar. Spons air itu terbentang di sepanjang perbatasan dengan perkebunan teh Ciliwung dan Gunung Mas, mencakup Desa Tugu Utara, Tugu Selatan, hingga Cibeureum. Tapi, dari 10 desa di Kecamatan Cisarua, kawasan Tugu Utaralah yang paling subur ditumbuhi vila liar. Pada 2003, di wilayah ini baru ada 100 vila liar, kini jumlahnya di atas 400. Peringkat kedua di pegang Tugu Selatan, dengan 200-an vila.
Di Tugu Utara, kebanyakan vila berdiri di lahan negara eks perkebunan teh Ciliwung yang hilang saat Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan itu diperbarui pada tahun 2000. Jumlahnya sekitar 200-an hektare. ”Tanah ini yang diperjualbelikan dan jadi vila,” ujar Ali Maskur, Administratur Perkebunan Ciliwung. Kini, ”Hampir semua lahan eks perkebunan garapan rakyat ini telah dimiliki orang Jakarta,” katanya.
Lain desa, beda kebun, sama ceritanya. Di Tugu Selatan, yang terpisah oleh jalan raya Puncak dari perkebunan Ciliwung, vila liar juga berada di lahan bekas perkebunan teh Gunung Mas. ”Kami kehilangan 600 hektare dalam 10 tahun terakhir,” kata Rachmat Supriadi, Administratur Perkebunan Gunung Mas. Ini sepertiga dari luas lahan perkebunan itu yang mencapai 1.700 hektare. Sama seperti di Ciliwung, di lahan eks Gunung Mas itu juga jadi vila orang Jakarta.
Semua itu gara-gara biong—ini istilah buat makelar yang memperantarai petani penggarap dengan kalangan berduit yang ingin memiliki vila. Mereka bahkan menyediakan layanan one stop shopping mulai dari jual-beli sampai menyediakan penjaga. Namun, Tempo menemukan, biong bisa sugih karena aturan main tata ruang di kawasan ini amburadul.
Pangkal sengkarut itu adalah bisnis jual-beli tanah garapan milik negara yang menggiurkan. Ini pula yang membuat Haji Teteng, biong tersohor di Gunung Mas, menekuni bisnis ini. ”Bisnis ini sifatnya spekulatif saja,” ujarnya. Dengan cara ini mereka bahkan bisa membeli tanah milik di tempat lain. Soalnya, tanah negara ini dihargai tinggi. ”Bisa Rp 150 ribu per meter,” ujar Cecep, warga Tugu Utara.
Menjual tanah negara ini tidak sulit, cukup berbekal surat garapan atau oper garapan dari kepala desa. ”Di sini masyarakat dan aparat desa bisa ’bermain’,” ujar Sambas Basuni, ahli kawasan konservasi Puncak di Institut Pertanian Bogor
Haji Teteng membenarkan sinyalemen Sambas. Oper lahan garapan—arti sejatinya jual-beli—melibatkan RT, RW, kepala desa, pihak perkebunan, dan kadang-kadang notaris. Tak jelas berapa para kepala desa menerima uang pelicin agar mau mengesahkan oper garapan. Namun, jikapun penggarap harus mengeluarkan uang pelicin, keuntungan masih membuncah. Sebagian karena tanah itu didapat dengan merampasnya dari perkebunan.
Inilah itung-itungannya. Di lahan eks Gunung Mas, tanah garapan dijual Rp 2.500 sampai Rp 100 ribu per meter persegi, tergantung panoramanya. Jika tanah itu diperoleh dengan menjarah kebun, modalnya Rp 75 ribu per 400 meter persegi. Jika dijual dengan harga paling murah pun (Rp 2.500) dan sudah dipotong di sana-sini, masih ada untung setengah juta rupiah. Mengapa pembeli berani mengambil tanah itu?
Menurut Teteng, para pembeli lahan itu sejak awal juga sadar sedang berspekulasi. ”Siapa tahu nantinya surat dan IMB untuk menjadi vila bisa diurus,” katanya. Atau, siapa tahu perizinan ini bisa dicurangi. Kalau gagal, mereka sudah siap kehilangan tanah dan duit yang sudah telanjur diinvestasikan di sana.
Sebagian dari mereka toh berhasil mengakali birokrasi. Salah satu modusnya adalah dengan memasukkan izin pembangunan vila di lokasi permukiman. Setelah surat kelar, lokasi digeser ke tempat yang diinginkan (lihat pula Noktah Bernama Vila Kinta).
Jika lahan bakal vila memang berada di lokasi permukiman, izin IMB lebih gampang diakali. Dinas Cipta Karya Bogor memberikan kemudahan mendapatkan IMB untuk bangunan yang berdiri sebelum 1996. Pemilik vila bisa kongkalikong dengan lurah, untuk membuat surat keterangan palsu tentang usia bangunan.
Ada pula pemilik yang nekat: memalsukan IMB vila, bekerja sama dengan oknum pegawai Dinas Cipta Karya. ”Tahun 2002 ada empat pegawai Cipta Karya yang dipecat karena ketahuan memalsu surat ini,” ujar sumber Tempo di Cipta Karya.
Jika izin tak kunjung didapat? Teteng dengan enteng mengatakan, vila tetap bisa didirikan. ”Paling ada uang rokok untuk petugas yang datang ke lokasi,” ujarnya. Nah!

Jakarta 2013. Profesor The Houw Liong, ahli cuaca pada Departemen Fisika ITB, menengarai pada tahun itu Jakarta bisa direndam bah hebat. Saat itu panas matahari berada pada puncaknya, mengikuti siklus 11 tahunan. Jadi, matahari akan mengantarkan lebih banyak air laut ke atas kawasan Puncak.
Hujan di kawasan Puncak pun lebih lebat dari biasanya. Perlu tanah yang lebih luas agar air itu tak banyak tumpah ke Ciliwung. Jika tidak, ujar The pada awal tahun, ”Bisa terjadi banjir besar seperti pada 2002, bahkan bisa lebih hebat.” Apakah ”orang-orang Citamiang” masih perlu disebut pada 2013?

No comments: