Saturday, August 18, 2007

Calon Independen Menyehatkan Demokrasi

M. Fadjroel Rahman

http://www.perspektifbaru.com/wawancara/589

Edisi 589 | 25 Jun 2007 | Cetak Artikel Ini

Halo, saya Wimar Witoelar membawakan lagi satu percakapan yang sangat mencerahkan dan seru. Pada tahun 1999, saya secara main-main, serius membuat suatu partai. Karena melihat berbagai partai muncul dan Golkar sendiri tidak dibubarkan, sementara partai baru juga belum tentu benar. Jadi kami pikir partai yang benar adalah yang mewakili aspirasi Orang Biasa seperti anda dan saya. Ingin suatu kemajuan tapi tidak mau juga menjadi pahlawan berkorban, ingin kaya tapi tidak ingin korupsi dan sebagainya. Jadi kami membuat Partai Orang Biasa. Gagasan itu disambut, saya tidak tahu berapa yang menyambutnya, akan tetapi kwalitas penyambutnya itu bagus. Sekjennya ada dua yaitu, Dede Chatib Basri yang sekarang menjadi penasehat presiden dan yang satu adalah penasehat rakyat yaitu M. Fadjroel Rahman.

Tamu kita M. Fadjroel Rahman sekarang memiliki satu tema yang menurut saya sangat strategis untuk bangsa Indonesia, yang diwujudkan dalam Gerakan Jakarta Merdeka. Tujuan Gerakan Jakarta Merdeka ini adalah merdeka dari hegemoni politik uang elite dan partai politik untuk menetapkan pasangan calon.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan M. Fadjroel Rahman.

Langsung saja, apa kira-kira inti Gerakan Jakarta Merdeka ini atau pandangan anda apa?

Gerakan Jakarta Merdeka ini, gerakan bersenjata.

Bersenjata serem sekali?

Sama dengan Gerakan Aceh Merdeka, dan kita juga memakai taktik gerilya.

Padahal anda kan cinta damai?

Sangat cinta damai, Jika dalam Gerakan Aceh Merdeka menggunakan dua senjata AK 47 dan M 16. Maka Gerakan Jakarta Merdeka pun memiliki dua senjata dan sangat mematikan yaitu Akal sehat dan Hati nurani.

Bagus Sekali. Dengan akal sehat dan hati nurani, apa yang bisa dicapai kira-kiranya?

Musuh terbesar kita adalah orang-orang yang tidak berakal sehat dan tidak berhati nurani, terutama tiga setan besar yaitu politik uang, uang dan uang. Karena itu sekarang ini saya senang sekali karena ada konfirmasi bahwa Slamet Kirbiantoro dan Djasri Marin mengatakan bahwa mereka telah membayar 1.5 milyar untuk dua partai besar untuk masuk.

Bagus sekali, dan itu dikonfirmasi ya ?

Di konfirmasi. Dan hari ini (senin 18/6) saya juga mendapat bocoran, bahwa Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) akan memecat 4 orang petinggi DPD PDI-P Jakarta.

Karena mereka menerima uang?

Iya karena mereka menerima uang. Tapi saya menduga itu hanya untuk mengisolasi.

Yang nggak dipecat juga menerima uang juga kan ?

Itu yang menjadi pertanyaan saya. Kalau orang yang menerima uang 1.5 milyar dipecat dan dia menerima dari calon yang tidak jadi. Lalu berapa milyar yang dibayarkan oleh calon jadi.

Seperti Jeffrey Winters bilang, kalau mau menjadi penjahat, jadilah penjahat besar sekalian agar tidak ditangkap. Jadi calon-calon itu menyatakan demikian, saya rasa itu memalukan sekali. Dan juga memalukan bagi mereka karena mereka minta uang kembali.

Tetapi konfirmasi itu menjadi bukti jelas buat kita dan mengkonfirmasi Gerakan Jakarta Merdeka bahwa pasangan calon gubernur itu betul atas nama politik uang dan yang bermain disana adalah elite politik karena ada beberapa orang. Jadi yang musuh kedua yang kita lawan, adalah elit politik yang bermain dalam politik uang. Musuh ketiga adalah parpol busuk yang memperjualbelikan suara konstituennya untuk sejumlah uang.

Jadi ada parpol yang lebih busuk dari yang lain?

Ada parpol yang lebih busuk, ada parpol yang lebih baik dari yang lain. Tapi saya susah sekali menduganya sekarang. Satu-satunya jalan makanya kami mendorong adanya isu perseorangan alasannya kenapa? Karena hal ini mirip hukum penawaran dan permintaan. Jadi semakin banyak calon perseorangan, yang biasanya terdiri atas golongan yang terbaik itu tidak bisa bayar. Jika partai politik yang menetapkan sejumlah milyar tertentu sebagai harga sebuah calon, tentu yang dia dapat adalah calon busuk. Jika calon-calon gubernur yang tersedia adalah yang berkualitas baik dan tidak punya uang, maka akan terjadi penurunan biaya pada parpol. Akibatnya parpol menjadi baik dan dia akan mengambil calon yang baik dan mudah-mudahan tidak ada lagi uang disana.

Jadi mudah-mudahan semacam hukum alam. Tapi syaratnya bahwa warga negara itu memberikan tekanan.

Betul. Pertama tekanan dan yang kedua tolong didukung juga oleh Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, tgl.21 Juni 2007 akan diputuskan apakah perseorangan boleh atau tidak ikut menjadi Gubernur, Wakilkota atau Bupati se-Indonesia.

Kita mengharapkan dia mengabulkan tapi tentu anda sudah siap kalau ditolak?

Siap menang dan siap kalah.

Fadjroel Rahman berapa tahun di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dulu?

Di Sukamiskin ditahan pada tahun 1989, satu tahun di penjara militer kemudian di sidang terus ditetapkan jadi tiga tahun kemudian dibuang ke Nusa Kambangan.

Total berapa tahun?

Total 3 tahun, terakhir di Sukamiskin. Sekarang rumah saya di Sukamiskin ditempati oleh Probosutedjo adiknya Soeharto. Oleh Probosutedjo sekarang diberi nama bukan Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi Lembaga Pembinaan.

Anda tidak kapok sekarang melakukan gerakan yang begitu tajam?

Tentu tidak kapok, karena yang kita kerjakan ini suara rakyat bukan suara uang. Yang sekarang ini terjadi tiba-tiba demokrasi dari suara Tuhan, suara rakyat tiba-tiba berubah menjadi suara uang. Saya pikir kita harus melawan karena buat saya, kita telah melakukan begitu banyak pekerjaan yang harus kita lanjutkan, menjatuhkan Soeharto, melawan Orde baru, TNI, militerisme, Golkar, birokrasi, konglomerasi kita lawan semua.

Bang fadjroel, saya percaya seratus persen banyak orang mendukung anda kecuali yang di pihak orang jahat. Jadi yang tidak terlibat politik uang dan elite segala macam pasti mendukung anda. Tapi tidak banyak orang yang mempunyai nyali dan keberanian seperti anda, bagaimana bisa ikuti dalam gerakan anda kalau tidak seberani anda?

Sekarang ini mungkin yang pertama berdoa supaya Mahkamah Konstitusi pada tgl. 21 Juni ini bisa memenangkan isu calon perseorangan. Gerakan kami juga tidak seperti gerakan demonstrasi yang umum lainnya, kita sebagai orang biasa, cuma bilang kepada Mahkamah Konstitusi "Undang-undang Dasar 1945 mengatakan setiap orang punya hak yang sama dan pemerintahan dan Konstitusi juga mengatakan menjadi Gubernur, Walikota, Bupati itu harus dipilih secara demokratis. 100 tahun pun anda buka Undang-undang Dasar 1945, tidak akan ada larangan terhadap calon perseorangan". Jadi orang biasa sebenarnya bisa membela ini cuma sekedar menyatakan bahwa secara akal sehat Undang-Undang (UU) No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah itu berlawanan dengan konstitusi. Jadi tidak perlu takut sebenarnya.

(Wawancara ini direkam sebelum sidang Mahkamah Konstitusi, mungkin sekarang pembaca sudah tahu apakah itu di terima atau tidaknya isu perseorangan ini – red). Tapi saya rasa esensinya tidak di situ tapi bagaimana kita melanjutkan perjuangan kalau di terima atau di tolak. Jadi bagaimana dengan konteks DKI-nya? Kita ada dua calon kenapa kita tidak puas dengan dua calon aja, terlepas dari sistemnya. Kalau memang sudah ada pilihan, dua orang calon saja ok kan ?

Sebetulnya bisa aja kalau dua pasangan, walaupun nanti ada calon independen tiba-tiba yang terjadi cuma dua. Pertama karena ini tidak sesuai dengan konstitusi itu yang pertama harus di pegang.

Kalau Ryas Rasyid bilang sesuai?

Saya pikir karena mungkin dia pendukung salah satu calon dan itu tidak fair menurut saya. Kita harus pisahkan juga, bahwa memang ada pakar–pakar politik yang mendukung sejumlah kandidat. Saya juga protes kepada Ketua KPUD DKI Juri Ardiantoro, dia itu sebenarnya orang Ansor dan tiba-tiba beberapa hari ini ada gerakan dari Ansor menentang calon independen dan juga menentang golongan putih yang katanya dikembangkan oleh saya. Saya bilang saya tidak takut dengan GP Ansor, saya melawan Soeharto bintang lima tidak apa-apa dan dibuang ke Nusa Kambangan juga tidak apa-apa.

Anda tidak takut Soeharto dan Soeharto juga tidak takut anda.

Soeharto takut sama saya, kenapa dia harus buang saya ke Nusa Kambangan, mustinya dia ajak saya makan siang kan.

Hahaha, betul juga. Jadi di DKI ini dua-duanya calon inkonstitusional, selain itu saya selalu bilang jangan golput walaupun saya dulu golput terus zaman Soeharto. Tapi sekarang jangan golput kalaupun ada dua kandidat yang jelek pilihlah yang kurang jelek. Apakah begitu yang harus dilakukan?

Kondisinya pertama karena memang Undang-undang Dasar 1945, kemudian yang kedua kita mencurigai soal politik uang dan sekarang sudah terbukti bahwa setelah Djasri Marin dan Slamet Kirbiantoro mengatakan bahwa mereka menyuap petinggi partai politik dengan demikian saya mencurigai juga, yang dimenangkan menjadi pasangan calon oleh semua parpol di Jakarta itu adalah pasangan suap.

Yang anda sebut menyuap dan yang di suap itu adalah yang mencalonkan Fauzi Bowo, nanti ada yang bilang anda pendukung Adang.

Termasuk juga saya menduga juga mungkin hal ini terjadi juga pada Adang Dorojatun.

Saya mendengar bahwa Adang menyumbang 40 milyar tapi saya tidak ada buktinya, saya tidak berani mengadukan tapi saya dengar dia menyumbang uang banyak.

Berarti ini orang yang ada uang yang dimasukkan ke dalam parpol, dengan demikian menurut saya ini mengkonfirmasi bahwa Gerakan Jakarta Merdeka itu betul-betul ingin membebaskan masyarakat dari permainan politik uang, permainan elit partai dan permainan parpol busuk.

Sedangkan kalau di Amerika Barrack Obama bukan nyumbang uang ke parpol tapi parpol mengumpulkan uang dan nyumbang ke kampanye dia. Tadinya Faisal Basri juga mau begitu dan Sarwono mau begitu.

Kalau pun ada nanti cara perseorangan di seluruh Indonesia termasuk di DKI Jakarta, tentu yang akan muncul itu pasti yang terbaik mungkin Bung Wimar sepuluh kali lebih baik daripada calon perseorangan yang sekarang ada dan gagal. Ini kebetulan saja seperti Sarwono atau juga Faisal Basri mungkin lebih baik 5-10 kali daripada yang seperti Faisal Basri atau Sarwono alasannya kenapa orang-orang seperti ini punya keberanian yang lebih, tetapi banyak orang yang seperti orang biasa yang punya kemampuan lebih tapi tidak berani bicara sekarang. Kalau nanti ada cara perseorangan dan itu sah mereka akan muncul, kita akan mendapatkan Primus Inter Pares (red: calon yang terbaik di antara yang baik-baik).

Sebetulnya saya bukan promosi Gusdur tapi waktu zaman Gusdur di eksekutif rada keliatan juga orang-orang yang dulunya tidak pernah mimpi akan jadi eksekutif bisa juga walaupun kemudian pemerintahnya tumbang.

Jadi ini kesempatan buat orang biasa untuk menjadi Gubernur, Walikota dan Bupati di seluruh Indonesia.

Paling tidak untuk punya Gubernur dan Bupati yang disukai bukan yang harus ditoleransi. Anda sering kemukakan Aceh sebagai contoh,terus Ryas Rasyid bilang jangan salah, Aceh itu hanya satu kali as if itu penting. Tapi saya ingin tanya jadi ini memang implikasinya lebih luas dari Jakarta.

Tadinya ini kita memang menamakannya Gerakan Indonesia Merdeka. Tetapi dari sisi komunikasi mungkin tidak terlalu kuat lalu, kemudian kita ambil momentumnya DKI Jakarta, karena itu kita namakan Gerakan Jakarta Merdeka. Jadi kita bilang kalau Ibukota Republik Indonesia ada di Jakarta mustinya Ibukota demokrasi juga ada di Jakarta dengan demikian ini seperti bola salju akan melebar ke seluruh Indonesia. Dan kami juga mengajak orang biasa karena itu lalu kami mendatangi MK dan kemudian mendatangi DPR. Makanya di DPR orang–orang biasa berani Sarah Azhari mendukung, Olga Lidya misalnya mendukung lalu ada sejumlah 50 intelektual doktor-doktor kita itu. Bahkan orang seperti, saya ingin menunjukkan bahkan artis yang biasanya dianggap tidak terlalu peduli ternyata mereka bisa diajak mengkampayekan persoalan ini karena ini penting.

Itu penting sekali, karena itu pelan-pelan mulai dari memperhatikan lingkungan, gender sekarang memperhatikan politik karena semua masalah sumbernya dari politik.

Saya harus ingat sebagai sekjen partai orang biasa harus mengajak orang-orang biasa.

Ini ada hubungannya tidak apa yang terjadi sekarang dengan pemilihannya Presiden 2009?

Ada 2 hal berbeda kalau ini Gubernur,Walikota,Bupati melalui Undang-undang 32 tahun 2004. Artinya ini hanya berlaku untuk Gubernur, Walikota dan Bupati di seluruh Indonesia. Kalau untuk Presiden dan legislatif itu harus melalui amandemen karena itu ada di dalam Undang-undang Dasar 1945, memang berikutnya yang akan kami target utama kami juga adalah supaya Presiden dan legislatif bisa dimasuki oleh calon independen. Ini sebetulnya bukan isu baru Bung Wimar bangsa ini tahun 1955 pernah punya perseorangan kemudian partai lokal dan partai biasa, pernah satu orang menang tahun 1955 namanya M.Hasan. Dia saat itu menjadi calon independen dan dia menang.

Seperti yang anda katakan tadi partai tidak perlu takut kalau partai membereskan diri dia juga akan mendapatkan calon baik, Seperti di Amerika.

Itu di Amerika umumnya yang calon perseorangan, pemilih mereka tidak lebih dari 10 persen, lainnya ada di partai. Dan yang terpenting lagi dari adanya calon independen, biasanya isu-isu progresif itu tidak bisa main di dalam partai politik. Karenanya calon perseorangan akan membawa isu-isu yang progresif, misalnya isu tentang lingkungan atau pro aborsi atau apapun, atau di Jakarta menolak 30 milyar untuk Persija, karena tidak akan ada partai yang menolak itu. Padahal 30 milyar itu penting untuk kesehatan dan pendidikan, atau menolak 500 juta untuk jas Gubernur misalnya begitu, berarti 2.5 milyar selama 5 tahun tidak ada partai yang menolak 2.5 milyar untuk jas Gubernur. Biasanya ide-ide progresif itu muncul pada calon perseorangan. Apa pentingnya buat demokrasi? Demokrasi jadi sehat selalu ada isu baru yang progresif, lama-lama isu tersebut akan ditangkap oleh partai dan menjadi isu partai poitik, lingkungan dulu tidak ada yang mau memakai sekarang partai demokrat dianggap pro lingkungan.

Bung Fadjroel ada yang bilang sebetulnya orang seperti Fauzi Bowo, Adang, SBY juga calon independen karena mereka bukan kader dari partai yang sudah ada. Agak beda mungkin SBY, karena dia bikin partai dulu. tapi ini di adopsi. Itu bukan calon independen?

Calon independen adalah calon yang merumus visi dan misinya sendiri dan memperjuangkannya. Sementara kalau ada calon perseorangan masuk ke dalam partai pastinya dia akan memperjuangkan visi dan misi partai itu.

Paling untung tuh menjadi supir tembak?

Iya betul jadi paling enak pasangan calon supir tembak

Ujung-ujungnya ada orang yang lebih biasa dari kita, dan menyatakan ’saya tidak mengerti calon independent ataupun Pilkada saya hanya mau jalan tidak macet dan tidak banjir, lalu apakah kita nggak konsentrasi saja pada masalah itu dengan memilih calon yang pengalaman dan pinter’ misalnya. Bagaimana itu?

Tidak mungkin diambil dari dua calon yang ada sekarang. Tampaknya mereka sangat tergantung akan partai-partai. Sementara partai-partai yang ada di Jakarta pro pada hal – hal yang sebaliknya.

Fauzi Bowo misalnya kan berpengalaman 5 -10 tahun ?

Ya berpengalaman menenggelamkan Jakarta dengan banjirnya, merusak transportasi Jakarta dengan Busway-nya. Artinya berpengalaman mengerjakan hal yang buruk. Sementara yang satunya lagi, kita sudah tahu semua.

Fadjroel Rahman berpengalaman berbuat hal yang baik, tapi suka kalah di lapangan. Akan tetapi menurut saya secara moril justru menang. Karena poinnya kita kalah dalam satu isu, tetapi kita membangkitkan kesadaran. Menurut anda apakah sudah ada dampaknya untuk membangkitkan kesadaran orang ?

Saya ketika datang ke tempat bang Wimar ini dan saya turun di depan parkir perkantoran ini, lalu tiba-tiba ada dua satpam didepan dan bertanya ’Mas Fadjroel, bagaimana dengan calon independen?’ saya kaget juga. Jadi rupanya, isu seperti ini sudah merambah pada orang-orang yang tidak saya kenal.

Wah Fadjroel calon gubernur... Apa sekarang harapan Fadjroel dari Gerakan Jakarta Merdeka

Saya berharap bahwa, pertama Gerakan Jakarta Merdeka menjadi inspirasi untuk seluruh masyarakat Indonesia sehingga mereka membantu memperjuangkan di tempat masing-masing. Kedua harus segera mendorong undang-undang dana kampanye. Sekali saja calon independen itu boleh ada orang ’bilang setan-setan juga boleh’, saya bilang tentu setan-setan boleh, termasuk orang-orang yang suka memasukan uang atas nama hamba Allah, atau jemaat Allah padahal itu hamba setan. Jadi undang-undang dana kampanye ini sangat perlu, agar jangan sampai para calon gubernur ini sekarang dibajak oleh parpol atau para hamba Allah atau jemaat Allah yang sebenarnya jemaat setan itu.

Mahkamah Konstitusi bagus kalau berhasil. Tetapi kalau tidak, sebetulnya reformasi bisa dijalankan di DPR. Lalu bagaimana mungkin karena DPR kan isinya partai. Kalau kita kesampingkan Mahkamah Konstitusi, cara reformasi kepartaian atau pemilihan itu bagaimana? apakah presiden ada perannya?

Dalam kondisi sekarang, kami memanfaatkan DPR untuk tekanan politik. Kami bertemu dengan pansus DKI dan mereka menyatakan, kami tidak bisa berbuat apa-apa jika Mahkamah Konstitusi merubah undang-undang no.32, maka kami menerimanya. Saya sedih sekali, seperti parpol tidak punya peran apa-apa. Padahal mereka memiliki fungsi legislasi.

Vested interest dong Parpol ya ?

Tampaknya seperti itu, apalagi dengan kondisi mutakhir ini jelas-jelas mereka mencari uang. Saya tidak tahu, apakah itu untuk 2009 atau jangan-jangan untuk kantongnya sendiri.

Itu lebih menyedihkan. Masih hebat dulu Laksamana Sukardi mengaku ’ya saya mengambil uang, tetapi uangnya untuk partai bukan buat saya’.

Kalau ini tampaknya buat ’saya’. Inilah pekerjaan yang sangat besar sekali

Ya ini masalah yang besar, uang menjadi masalah. Jadi orang-orang yang menyumbang ke partai dan meminta uangnya kembali, perlu ditanyakan juga uangnya dari mana ?

Tapi jasa besar juga buat dia. Dia mengabarkan pada kita, orang yang menjadi pasangan jadi sekarang pastinya puluhan kali lebih besar daripada dia. Saya berpikir Gerakan Jakarta Merdeka, pasangan calon gubernur DKI Jakarta sekarang harus dianulir.

Itu poin terbesar yang bisa diangkat, jadi calon-calon sekarang ini tidak sah?

Tidak sah secara konstitusi dan secara moral mencurigakan menyuap partai politik.

Yang menyuap dan yang disuap harus dihukum.


http://www.perspektifbaru.com/wawancara/589

Friday, August 17, 2007

Keluarga Soekarno Minus Mega, Soeharto Diwakili Mamiek

2007-08-17 09:53:00
HUT ke-62 RI
Jakarta - Ratusan tamu undangan Istana Negara mulai berdatangan ke Istana Merdeka. Tampak di antaranya keluarga besar mantan Presiden Soekarno.

Dari keluarga besar Soekarno, terlihat Guntur, Guruh, Sukmawati, Rachmawati dan Bayu. Hanya Megawati Soekarnoputri saja yang tidak hadir.

Sementara dari keluarga besar Soeharto, yang hadir hanya Mamiek Soeharto. Dalam HUT RI ke-62 di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (17/8/2007), anak tunggal Mamiek, Wiratama Hadi Prananto Pratikno kebetulan bertugas sebagai pengerek bendera.

Sejumlah mantan pejabat dan menteri Kabinet Indonesia Bersatu juga sudah menduduki kursinya. Tampak di antara mereka mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, mantan Menlu Alwi Shihab, Menhan Juwono Sudarsono, Mendag Mari Elka Pengstu, dan Mensesneg Hatta Rajasa.

Sementara pasukan Paskibraka sudah mulai berbaris di samping Istana Merdeka. Upacara rencananya akan dimulai pukul 10.00 WIB. (umi/mly)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/17/time/095336/idnews/818405/idkanal/10

Catatan:
Ini sudah keberapa kali Megawati tidak hadir.
Presideng tidak bosan mengundang dia sebagai wujud penghormatan mantan presideng, tapi kenapa tidak hadir? Apa masih dendam di kalahkan di Pemilu 2004? Katanya siap kalah dan siap menang , katanya pula seorang nasionalis dan demokratis?

Bagaimana ini?
Rakyat jelata saja ingin menyaksikan HUT kemerdekaan ini walau dibawah terik matahari tak peduli siapapun presidennya.
Inikah sikap seorang negarawan?

Thursday, August 16, 2007

Burung Pilkada

Kata munafik, kabarnya, berasal dari akar kata nama burung yang hobinya menyembunyikan kepala ke dalam pasir. Misalnya, pas ada sesuatu yang menakutkan hatinya: badai, awan yang mengerikan, atau ada binatang lain yang mengerikan hatinya.

Si burung itu menipu dirinya sendiri. Ia menyembunyikan diri dari pengetahuannya tentang dirinya sendiri di depan kenyataan yang tak bisa diatasinya atau keadaan yang akalnya sendiri tak bisa menerimanya.

Jelasnya: burung apa itu? Terserah. Yang pasti: itu adalah diri kita sendiri. Termasuk saya, tapi bukan Anda. Saya munafik, Anda pasti bukan.

Saya hampir tidak pernah melakukan suatu perbuatan apa pun yang saya maksudkan benar-benar untuk perbuatan itu sendiri. Hati saya penuh pamrih tersembunyi, pikiran saya sarat strategi penipuan --tak hanya kepada orang lain, melainkan juga kepada diri saya sendiri.

Kalau saya salat, bukan saya benar-benar salat. Saya ngakali Tuhan. Salat saya hanya alat untuk mencari kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu yang saya simpan. Anda tak boleh tahu. Misalnya, salat saya bertujuan agar cita-cita saya tercapai di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito. Tapi, apa aslinya pamrih saya, Anda tak akan tahu. Sebab Anda terlalu meremehkan atau under-estimate terhadap tingkat kejahatan dan keserakahan saya.

Kalau saya pergi umrah, Anda harus cerdas dan waspada. Karena sebenarnya Tuhan dan rumah-Nya bukan fokus dari kepergian saya. Anda sebaiknya jangan terlalu lugu. Hidup ini sangatlah luas dan canggih, jumlah kemungkinan tak terhingga. Semesta nafsu kehidupan serta karier saya melebihi luasnya cakrawala kemungkinan.

Kalau saya berbuat baik, misalnya bikin pengobatan massal, memacu pemberantasan narkoba, memberi bantuan dan santunan, jangan dipikir tujuan utama saya adalah deretan kebaikan itu. Ada yang lebih fokus di kandungan hati saya, misalnya pilkada.

Kalau saya memberi slogan "Kampung Beriman", Anda jangan terjebak oleh kata iman. Sebab yang saya maksud sebenarnya tak ada hubungan mendasar dengan iman. Umpamanya saja, iman adalah indah dan nyaman. Anda jangan berpikir linear: sebab tidur semalaman dengan pelacur di cottage itu indah dan nyaman. Korupsi sejumlah uang yang bisa dipakai untuk menyejahterakan penduduk juga sangatlah indah-nyaman.

Itu sekadar contoh. Intinya, jangan percaya kepada saya dan apa pun yang saya lakukan. Belajarlah meningkatkan dan merangkapkan kewaspadaan intelektual maupun spiritual. Saya seorang yang fasih, mampu mempesonakan orang banyak dengan ayat-ayat Tuhan yang saya bacakan. Serta sanggup memukau publik dengan uraian ilmu sosial aplikatif empiris. Tapi, kalau parameter yang Anda pakai untuk menilai saya adalah ucapan-ucapan saya, maka Anda orang dungu.

Saya burung yang piawai menyembunyikan kepala dalam pasir. Wajah saya yang sampai ke pandangan mata Anda adalah wajah yang sudah saya poles. Setiap saya ucapkan kata "demokrasi", sebenarnya bukanlah demokrasi itu sendiri yang saya maksudkan. Anda perlu bikin simulasi: mungkin saya sedang mencari keuntungan pada momentum dan jenis kasus tertentu dengan menunggangi demokrasi.

Kalau saya menginformasikan sesuatu, asahlah kepekaan balaghah, ketajaman ilmu komunikasi. Bahkan bukalah lembar buku spionase: memang saya sedang memaparkan informasi, tetapi saya batasi pada sisi-sisi yang menguntungkan. Dalam ideologi dan strategi komunikasi informasi saya, terkandung keharusan disinformasi taktis sesuai dengan posisi saya dalam peta kepentingan-kepentingan.

Kalau Anda tertipu atau tersesat oleh informasi yang disinformatif dari saya, itu semata-mata karena Anda masih berpikir manual. Sementara saya sudah sampai ke micro-digital. Bahkan setara dengan lelembut yang tak terukur tingkat samarnya. Demikian juga kalau saya ucapkan kata "rakyat", "Tuhan", "religi", "pemberantasan korupsi", "transparansi", "reformasi", atau ratusan kata, idiom, jargon, dan ikon lainnya.

Tetapi, percayalah, saya tidak punya niat sedikit pun untuk menghancurkan Anda atau merusak keadaan masyarakat. Saya tak sehebat itu. Mana mungkin saya punya kemampuan menghancurkan. Yang saya lakukan sederhana saja: jangan sampai ada kata saya ucapkan, jangan ada langkah apa pun yang saya putuskan, yang tidak saya yakini akan menguntungkan saya pribadi secara materi, kekuasaan, atau nama baik.

Saya seorang munafik. Tujuan dan cara harus saya bolak-balik sesuai dengan apa yang pada momentum tertentu memberi saya laba. Wasilah wa ghoyah: mana sarana mana goal, mana tujuan mana cara, harus patuh kepada kepentingan saya. Menjadi pejabat dan mengabdi rakyat: yang mana sarana yang mana tujuan? Menjadi pejabat supaya bisa mengabdi rakyat ataukah mengabdi rakyat supaya jadi pejabat? Menjadi pejabat itu cara atau tujuan?

Kedua-duanya bukan pilihan mantap bagi saya. Kurang valid. Terserah mau jadi pejabat atau jalannya dengan mengabdi rakyat, yang penting kepentingan pribadi saya tercapai, keuntungan materiil saya terpenuhi.

Saya beralamat di pintu, satu kaki saya di dalam rumah, kaki lain di luar rumah. Kalau ada makanan di dalam rumah saya cepat dapat, kalau rumah kebakaran saya duluan lari. Saya tidak di dalam atau di luar rumah. Saya tidak lelaki tidak perempuan. Saya banci. Itulah posisi paling strategis dan marketable.

Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Kolom, Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 9 Agustus 2007]

DPRD Terima Rp 200 Juta?

JAWA BARAT
Pengusaha Minta Usaha Tambang Pasir Besi Dibuka Kembali

TASIKMALAYA, (PR).-
Beberapa pengusaha pertambangan pasir besi di daerah Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, mengaku kecewa terhadap sikap beberapa anggota DPRD Kab. Tasikmalaya, yang hingga kini belum mengeluarkan surat rekomendasi pembukaan usaha tambang pasir besi. Padahal, para pengusaha ini mengaku telah menyerahkan uang lebih dari Rp 200 juta untuk mengurus surat tersebut.

"Kalau terus seperti ini, kami akan buka siapa yang menerima uang itu," kata seorang pengusaha pertambangan pasir besi kepada "PR", Rabu (15/8) , yang meminta identitasnya dirahasiahkan.

Penyerahan uang itu katanya, dilakukan beberapa bulan lalu dengan harapan daerah pertambangan pasir besi di sekitar Cipatujah dibuka. Untuk pembukaan tersebut membutuhkan rekomendasi dari legislatif.

Pertambangan pasir besi sebenarnya sudah dibuka Tahun 2001. Namun, tahun 2004 dan 2005, ditutup setelah ada protes dari masyarakat. Hal ini terjadi karena kerusakan lingkungan yang cukup besar. Selain itu, jalan utama di Daerah Cipatujah, menjadi rusak. Kontribusi ke kas daerah dari pertambangan itu juga dinilai kecil.

Namun, belakangan masuk usulan ke DPRD Tasikmalaya untuk membuka kembali pertambangan pasir besi. Permintaan tersebut salah satunya datang dari perusahaan daerah pertambangan milik Pemkab Tasikmalaya. Alasannya, untuk membuka lapangan pekerjaan dan lainnya.

Kemudian, muncul kontroversi di antara anggota DPRD. Ada yang menerima usulan itu, namun ada juga yang menolak karena khawatir akan terjadi kembali kerusakan lingkungan.

Ketua Komisi 3 (Bidang Pertambangan dan Lingkungan) DPRD Kab. Tasikmalaya, Nandang mengatakan, kepada pengusaha yang mengaku sudah setor uang ke anggota DPRD, dipersilakan untuk mengemukakannya secara transparan. Dengan demikian, akan diketahui siapa yang menerima uang itu dan siapa yang tidak menerima.

"Saya tidak takut, malah senang kalau masalah itu dibuka, agar semuanya menjadi jelas. Termasuk, supaya tidak ada buruk sangka dari masyarakat," katanya.

Secara pribadi, Nandang menolak jika pertambangan pasir besi di Cipatujah maupun tempat lainnya, dibuka kembali, karena dinilai akan merusak lingkungan pesisir laut serta merusak jalan Cipatujah yang sudah bagus. Pasalnya, untuk membangun jalan itu menghabiskan uang miliaran rupiah. "Jika sekarang ada lagi pertambangan pasir besi, maka setiap hari akan hilir mudik truk yang mengangkut pasir besi. Kondisi itu akan mempercepat kerusakan jalan," katanya.

Ketua DPRD Kab. Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum mengatakan, pihaknya tidak mengetahui adanya uluran dana dari para pengusaha pertambangan ke sejumlah anggota DPRD. "Saya memang tidak tahu serta tidak pernah menerima. Memang saya juga heran, kenapa perusahaan pertambangan ini begitu gencar meminta untuk dibuka kembali," katanya.

Diakui Uu, ada beberapa anggota DPRD yang memang menginginkan usaha pertambangan itu dibuka kembali. Akan tetapi, yang menolak juga ada, sehingga masalah itu masih menjadi wacana di dewan. (A-97)***

SK Reposisi Jabatan Eselon II Garut Dianulir

GARUT, (PR).-
Reposisi jabatan eselon II yang dilakukan Wabup Garut, Memo Hermawan, dianulir oleh Depdagri dan Biro Kepegawaian Setda Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian, pejabat eselon II yang sebelumnya diberitakan kembali ke posisinya semula, masih tetap pada posisinya saat ini.

”Komisi A DPRD Garut baru saja pulang dari Depdagri dan Biro Kepegawaian Provinsi Jabar untuk mengadakan konsultasi tentang reposisi jabatan eselon II tersebut. Ternyata, keputusan Wabup itu harus dianulir karena tidak legal,” kata Sekretaris Komisi A DPRD Garut, Suyaman Anang S., kepada ”PR”, Rabu (15/8).

Dengan demikian, katanya, pejabat eselon II tersebut, yaitu mantan Kepala Bappeda Drs. H. Iman Alirahman, M.Si., mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Drs. Komar Mariuna, dan mantan Asda III Drs. Kuparman belum bisa kembali kepada jabatannya semula. Mereka harus tetap melaksanakan SK Bupati Agus Supriadi karena masih dievaluasi keabsahannya oleh Provinsi Jabar.

Menurut Suyaman, mutasi jabatan yang pernah dilakukan Bupati Agus Supriadi tersebut, telah dinilai tidak memenuhi aspek legalisasi. Pasalnya, mutasinya tidak didahului dengan konsultasi kepada pihak provinsi.

Senada dengan yang diucapkan Suyaman, staf di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Garut, Drs. Deden, mengatakan setelah pihaknya melakukan konsultasi dengan Biro Kepegawaian Provinsi, ternyata SK Wabup itu memang akan dianulir, walaupun memenuhi syarat.

Malah, katanya, Pemprov Jabar meminta agar di Garut jangan ada pelantikan pejabat dan yang dimutasi jangan dulu melakukan kegiatan, karena masalahnya masih divaluasi pihak provinsi.

Sekda

Pada bagian lain, Suyaman juga mengatakan, Depdagri dipastikan akan segera menegur Pemprov Jabar berkaitan dengan Sekda Garut Drs. Achmad Mutaqien, M.Si.

Teguran dilakukan karena Pemprov Jabar tidak memberhentikan Achmad Mutaqien dari jabatannya, padahal yang bersangkutan menurut hukum sudah melanggar surat edaran (SE) Menpan No. 03 tentang PNS, yakni telah terbukti melakukan tindak pidana. "Sebagaimana diketahui, Pak Sekda sudah divonis setahun karena terbukti menerima dana dari Pasar Cikajang," katanya.

Suyaman mengatakan, selain Depdagri, pihaknya juga mendesak Pemprov Jabar untuk segera memberhentikan pejabat Sekda dan menggantinya oleh pejabat yang bebas dari KKN. ”Ya, kami meminta tim provinsi terjun ke Garut untuk mengevaluasi penataan pegawai di Garut, perencanaan dan penggunaan keuangan, serta melakukan koordinasi dengan instansi vertikal dalam kaitannya dengan SE Menpan tadi,” ujarnya lagi.

Sementara itu, kemarin Kepala Bappeda Garut --versi Bupati Agus Supriadi-- mengatakan akan segera memberikan jabatannya kembali kepada Iman Alirahman. Rencananya, ”penyerahan” jabatan itu akan dilaksanakan besok (Kamis, 16/8).

Hal itu diakui Iman kepada ”PR”. ”Ya, Pak Wowo tadi pagi menghubungi saya. Beliau akan melaksanakan surat perintah Wakil Bupati Memo Hermawan tentang reposisi jabatan bagi eselon II,” katanya.

Sebelumnya, sebagaimana diberitakan, Mutaqien dan Wowo sempat menentang reposisi jabatan yang dilakukan Wabup Memo Hermawan. Salah satu alasannya, reposisi jabatan itu dinilai tidak ada dasar hukumnya. Mereka menilai Surat Perintah Bupati Agus Supriadi-lah yang jelas dasar hukumnya. Dengan demikian, Iman berjanji akan melaksanakan tugasnya kembali di Bappeda. (A-112)***

Baitul Muslimin Pilih Demokrasi, Khalifah Absurd & Utopis

2007-08-16 04:43:00

Arfi Bambani Amri - detikcom
Jakarta - Siapa khalifah sejagad? Jelas saja konsep khalifah itu absurd dan utopis. Sementara konsep demokrasi nyata dan justru lebih sesuai dengan Islam.

"Secara teologis, demokrasi (musyawarah dan penggunaan angka-angka) itu berasal dari syariat Islam, bukan produk asli pemikiran di Barat," ungkap Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia Hamka Haq dalam pernyataan tertulis hasil jumpa pers di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jl Lenteng Agung No 99, Rabu (15/8/2007).

Hamka berdalil, dalam hukum Islam (ushul fiqih), dikenal ijma' (kesepakatan orang banyak) sebagai sumber ketiga setelah Al Qur'an dan Al Sunnah. "Hasil ijma' dipandang lebih kuat dan lebih layak diamalkan ketimbang hukum menurut perorangan," kata Hamka.

Jika dirunut sejarah, pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, tokh Tuhan membiarkan umat Islam memilih sendiri khalifah penerus secara demokratis. "Tuhan tidak menurunkan wahyu untuk menunjuk langsung pengganti beliau untuk memimpin umat," ujar Hamka.

Jadi, menurut Hamka yang memimpin ormas underbouw PDIP itu, umat Islam sebaiknya jangan apriori menolak segala sesuatu yang dianggap berasal dari Barat. Demokrasi sebagai kedaulatan rakyat, hendaknya jangan diperhadapkan dengan konsep kedaulatan Tuhan.

"Sebab, rakyat atau manusia ini juga ciptaan Tuhan, sehingga kedaulatan manusia, adalah berarti Tuhan memberikan anugerah berupa potensi untuk berkehidupan yang layak. Ketika mereka tidak mampu menyelesaikan masalah secara sendiri, maka mereka hendaknya menempuh jalan musyawarah," imbuh Hamka.

Lagipula, jika konsep khalifah kembali ingin diterapkan, bagaimana caranya? Lalu siapa yang berhak menjabatnya?

"Bangsa Arab pasti berkelahi tiada habisnya soal klaim sebagai keturunan Quraisy keluarga Nabi. Jika term "Quraisy" diartikan sebagai suku bangsa yang kuat, maka setelah Islam tersebar ke Eropa, Amerika, Jepang, India, Cina yang lebih kuat dari segi keilmuan, ekonomi dan militer, semuanya pun berhak mengklaim posisi Khalifah," kata Hamka.

"Belum lagi, Indonesia sebagai negara terbesar jumlah umat Islam di dunia, tentu jauh lebih berhak," tandas Hamka menutup pernyataannya. (aba/aba)

(news from cache) - Reload from Original

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/16/time/044356/idnews/817833/idkanal/10

Wednesday, August 15, 2007

Lembaga Pengelola Aset Sitaan Korupsi Perlu Dibentuk

2007-08-15 20:08:00

Anwar Khumaini - detikcom

Jakarta - Banyak aset hasil sitaan dari para koruptor masih produktif. Pemerintah didesak membentuk lembaga khusus mengelola aset yang disita dari para koruptor tersebut.

Demikian diusulkan anggota Partnership for Government Reform Indonesia (PGRI), Bambang Widjajanto, dalam jumpa pers Sosialisasi RUU Tipikor versi Masyarakat yang dibuat oleh PGRI dan Koalisi Pemantau Peradilan di Kantor PGRI, Surya Building, Jl MH Thamrin, Jakarta, Rabu (15/8/2007).

"Aset-aset tersebut padahal punya nilai produktif. Misalkan saham, perusahaan. Jadi harus diatur oleh lembaga baru," cetus Bambang.

Menurut Bambang, aset hasil korupsi yang selama ini disita oleh Negara banyak yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya, tingkat produktifitas aset tersebut berkurang. "Padahal jika dikelola dengan baik, akan lebih produktif," ujarnya.

Usulan pembentukan lembaga pengelola aset hasil korupsi tersebut merupakan bagian dari beberapa usulan dalam draf RUU tersebut.

Masih banyak lagi yang diusulkan untuk dimasukkan dalam RUU ini, yakni tentang penyadapan, pemeriksaan in absentia, pembalikan beban pembuktian, hak pihak ketiga, dan pasal memperkaya diri sendiri secara tidak sah.

RUU yang nantinya akan diserahkan ke DPR September 2007 ini juga mengusulkan adanya tindak pidana baru selain yang tercantum dalam KHUP. Misalnya, memperdagangkan pengaruh, pidana terkait laporan harta kekayaan pejabat Negara, peningkatan kekayaan pejabat publik melalui cara yang tidak sah, penyuapan yang melibatkan pejabat publik asing, serta penyuapan dan penggelapan oleh sektor swasta.

Pasal yang menyebutkan tentang lembaga pengelola aset korupsi dalam RUU ini masuk dalam BAB VIII pasal 64. Ada XII bab dan 70 pasal dalam RUU ini.

Sementara itu, Koordinator Indonesi Corruption Watch (ICW), Teten Masduki menjelaskan, ada tiga alasan kenapa RUU Tipikor versi masyarakat ini dibuat.

"Pertama, bukan sekadar merevisi RUU versi Mahkamah Konstitusi, tapi lebih untuk harmonisasi dengan konvensi UNCAC yang telah diratifikasi oleh pemerintah. Kedua, Kita ingin memudahkan proses penanganan korupsi. Ketiga, partisipasi masyarakat dalam RUU ini semakin diperluas," kata Teten.

Dengan adanya RUU ini, lanjut teten, penaganan kasus korupsi di Indonesia akan semakin mudah. "Dengan RUU ini, mudah-mudahan pemberantasan korupsi cepat dilaksanakan," tandasnya. (anw/aba)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/200803/idnews/817798/idkanal/10

Tan Malaka dan Merahnya Sejarah Minangkabau

2007-08-15 16:25:00

Arfi Bambani Amri - detikcom
Jakarta - Mengikuti sepak terjang Ibrahim Datuk Tan Malaka seperti membuka sejarah merahnya Minangkabau. Meski terkenal sebagai negeri yang kuat menganut Islam, siapa nyana justru ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme yang bercokol kuat.

Hal itu diungkapkan dosen FISIP UI Zulhasril Nasir dalam bukunya 'Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau' yang dicetak pertama kali Juli 2007 oleh penerbit Ombak, Yogyakarta.

Menurut Zulhasril, justru agama Islam-lah yang menjadi basis persemaian ideologi kiri di Minangkabau. Kebanyakan tokoh pergerakan kemerdekaan pernah sekolah di sekolah-sekolah agama.

"Munculnya gerakan kiri radikal di Minangkabau berpangkal di sekolah menengah agama di Padangpanjang (Sumatera Thawalib dan Diniyah), Padang (Adabiyah dan Islamic College) dan Bukittinggi (Sumatera Thawalib Parabek)," ujar Zulhasril di halaman 63-64 bukunya.

'Koalisi' Islam dan sosialisme/komunisme itu disokong oleh motif yang sama untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Di sinilah peran Tan Malaka sebagai seorang tokoh kiri yang menghubungkan kedua arus itu.

Faktor lain adalah sistem pendidikan di Minangkabau merupakan yang termaju di Hindia Belanda setelah pulau Jawa. Pada tahun 1920-an itu, telah muncul puluhan intelektual Minangkabau yang bukan hanya hidup di kampung, tapi menyebar di seluruh Sumatera, Jawa, Belanda, Malaysia dan Singapura. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja.

Zulhasril kemudian membagi puluhan aktivis pergerakan kemerdekaan tersebut dalam 5 tipe ideologi. Pertama, Islam-komunis. "Mereka berasas pada ajaran Tan Malaka yang menghubungkan ajaran tentang kesamaan dan kebersamaan manusia dalam Islam dan komunis," ungkap Zulhasril yang meraih gelar doktor di Universiti Sains Malaysia tahun 2004 lalu itu.

Masuk dalam kelompok pertama ini adalah pemimpin PKI Sumbar tahun 1948 Haji Datuak Batuah dan mantan Ketua Umum Partai Murba Djamaluddin Tamin.

Kelompok kedua berideologi Islam-nasionalis. Kelompok ini diwakili organisasi Permi, PSII, Muhammadiyah dan Masyumi. Tokoh-tokohnya, M Sjafei, AR Sutan Mansyur, Rasuna Said dan ayahanda Hamka, Haji Rasul.

Tipe ketiga adalah Sosialis Demokrat. Walau hanya sedikit, tapi menonjol. Mereka mengikuti kepemimpinan Sjahrir dan Hatta di Batavia, seperti M Rasjid.

Tipe keempat adalah nasionalis-kiri. Tipe ini baru bermunculan setelah kegagalan pemberontakan 1926 di Silungkang. Mereka masuk dalam Gyu Gun (militer Jepang). Tokoh-tokohnya adalah Chatib Sulaiman, Dahlan Djambek, dan Ahmad Husein.

Tipe terakhir adalah komunis. "Kalangan ini berasal dari gerakan kiri Tan Malaka yang kemudian dipengaruhi Marxisme-Leninisme," kata Zulhasril.

Masuk ke dalam tipe ini adalah Ketua PKI Sumatera Timur Natar Zainuddin dan pimpinan PKI Sumbar Bachtaruddin.

5 Kelompok yang dibuat Zulhasril ini hanya mengelompokkan orang yang beraktivitas di Minangkabau saja. Jika dimasukkan yang beraktivitas di tingkat nasional dan luar negeri, masuklah beberapa nama terkenal.

Mereka adalah Nazir Sutan Pamoentjak, Hamka, DN Aidit, Hatta, M Yamin, Sjahrir, M Natsir, Agus Salim, Abdul Muis, Asaat, A Rivai dan Tan Malaka sendiri. DN Aidit termasuk. karena meski dilahirkan di Belitung, orang tuanya dari Maninjau, Sumatera Barat.

"Tokoh pergerakan yang paling dekat dengan Tan Malaka hanyalah Muhammad Yamin," ungkap Zulhasril.

Sementara, meski sama-sama Minang dan mendalami sosialisme/komunisme, Tan Malaka dan Sjahrir memiliki hubungan yang buruk. Mereka berseteru kencang pasca Indonesia merdeka.

Keduanya saling culik. Tan Malaka mengerahkan Persatuan Perjuangan yang memiliki simpatisan dari kalangan militer termasuk Jenderal Sudirman. Sementara Sjahrir memiliki Pesindo dan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang patuh padanya selaku Perdana Menteri.

Perseteruan ini mencapai puncaknya pasca perjanjian Linggarjati 1947. Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan mengerahkan gerilya bersenjata menentang perjanjian Indonesia-Belanda itu.

Tan Malaka dikejar-kejar oleh pasukan Sjahrir. Sampai pada suatu waktu, di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur, Tan Malaka ditembak mati oleh satu pasukan di bawah divisi Brawijaya. Tan Malaka pun lenyap sejak 21 Februari 1949. (aba/asy)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/162515/idnews/817707/idkanal/10

Taufiq: Kalau Pemimpin Berwibawa, Tak Mungkin Bendera Diturunkan

2007-08-15 13:18:00

Anwar Khumaini - detikcom
Jakarta - Diturunkannya 150 bendera merah putih di Lhokseumawe, Aceh dinilai politisi PDIP Taufiq Kiemas ada kaitannya dengan wibawa pemimpin nasional. Jika pemimpinnya berwibawa, dia yakin peristiwa itu tidak akan terjadi.

"Berarti sekarang ini stabilitas belum ada. Hal ini karena pemimpin kita saat ini tidak berwibawa. Kalau pemimpinnya berwibawa tidak mungkin ada penurunan bendera," cetus suami mantan Presiden Megawati ini.

Taufiq menyampaikan pendapatannya itu usai acara "Refleksi 62 Tahun Indonesia Merdeka" di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta, Rabu (15/8/2007).

Karena itu, dia meminta pemerintah tegas penindak pelaku penurunan bendera. "Bagaimana kita menindak mereka jika ketegasan dari pemerintah tidak ada," kata Taufiq.

Agar kejadian ini tidak terulang lagi, Taufiq juga meminta calon independen mendukung NKRI. Presentase suara berapa pun tidak masalah.

"Calon independen harus jelas dulu mereka setuju NKRI atau tidak, setuju plurarisme atau tidak, baru bicara syarat. Syarat berapa pun tidak masalah asal calon independen mendukung NKRI," tegas Taufiq.

Menurut dia, apabila calon independen mendukung NKRI, tentu tidak ada lagi penurunan bendera seperti di Aceh. (aan/umi)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/131849/idnews/817571/idkanal/10

Apakah Tan Malaka Komunis?

2007-08-15 12:27:00

Arfi Bambani Amri - detikcom
Jakarta - Meski Tan Malaka terlibat dalam pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI), namun dia cukup dekat dengan berbagai tokoh Islam. Apakah Tan Malaka seorang komunis?

Untuk itu, detikcom mewawancarai penulis buku 'Perspektif Marxisme: Tan Malaka, Teori dan Praktik Menuju Republik' Hary Prabowo, Rabu (15/8/2007). Bagaimana pendapat Hary?

"Kalau kita membedah 'Madilog', terdapat keinvalidan teori Marxisme terutama pada materialisme historis," kata penulis buku yang diterbitkan Jendela, Yogyakarta, itu.

Madilog merupakan karya terbesar Tan Malaka. Madilog merupakan singkatan dari 'materialisme, dialektika dan logika'.

Menurut Hary yang menamatkan S1 Filsafat di Universitas Gadjah Mada itu, judul buku itu saja sudah menunjukkan perbedaan dengan filsafat komunisme yang berdasar pada ajaran Karl Marx. Bangunan filsafat Marxisme adalah materialisme dialektika dan materialisme historis.

"Di wilayah sains, materialisme dialektik Tan Malaka memadai. Namun di wilayah materialisme historis terdapat kesalahan fatal," kata Hary.

Tan Malaka tidak memandang sejarah dalam pendekatan materil atau konkret. Menurut pendiri Partai Murba itu, yang paling penting adalah meletakkan dasar berpikir logis bagi rakyat Indonesia dalam melakukan perlawanan.

Tak mengherankan, Tan Malaka yang terlahir dengan nama Ibrahim itu kemudian memiliki pertentangan tajam dengan gerakan komunis. Pertentangan dimulai pada tahun 1926, ketika rakyat beberapa daerah mulai memberontak melawan kolonialisme Belanda.

"Sejak berabad-abad rakyat dijajah, untuk pertama kalinya tahun 1926 itu muncul pemberontakan secara modern, serentak di beberapa daerah. Namun Tan Malaka tidak memandang itu secara historis. Dia tidak menganggap itu sebagai hal yang benar," jelas Hary.

Peristiwa itu membuat Tan Malaka semakin berjarak dengan gerakan komunisme. Tan Malaka malah dianggap PKI sebagai pengkhianat. Tan Malaka dianggap sebagai pemecah belah oleh PKI. "Tan Malaka memang berbakat. Tapi dia pada akhirnya bukanlah seorang komunis," tandas Hary. (aba/asy)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/122754/idnews/817545/idkanal/10

Laks Yakin Tak Jadi Tersangka VLCC

2007-08-15 11:50:00
Irwan Nugroho - detikcom
Jakarta - Mantan Komisaris Pertamina yang juga mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi yakin tidak akan dijadikan tersangka dalam kasus penjualan very large crude carrier (VLCC). Optimisme itu didasarkan pada status VLCC yang belum menjadi aset tetap Pertamina.

"Kalau bangunan istilahnya, HGB-nya belum atas nama Pertamina. Kalau beli mobil itu masih inden, STNK-nya belum nama perseroan atau atas nama negara," ujar Laks di Gedung Bundar Kejagung, Jl Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (15/8/2007), menjelang pemeriksaannya yang kedua semenjak kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Laks itu menjelaskan saat kapal dilego, harga minyak sedang membumbung tinggi. Menkeu saat itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, meminta dana sebesar Rp 18 triliun pada Pertamina untuk membayar subsidi minyak.

"Jadi memang ada pembicaraan antara direksi dengan Menkeu soal cash flow. Kami dari komisaris hanya memberikan rekomendasi," ujarnya.

Menurut Laks, ada PP 41/2003 tentang persereon terbatas yang melimpahkan semua kewenangan menteri keuangan pada menneg BUMN. Karena Pertamina sudah menjadi perseroan.

Laks melanjutkan satu hal yang tidak menjadi perhatian saat ini adalah ancaman dari Karaha Bodas. Melalui pengadilan internasional, perusahaan itu berhak menyita aset Pertamina di luar negeri.

Pada pemeriksaan 1 Agustus 2007, Laks juga membeberkan soal penjualan VLCC justru untuk melindungi aset negara. Apalagi beberapa aset Pertamina menjadi barang sitaan untuk Karaha Bodas sesuai dengan putusan pengadilan internasional. Padahal kapal tanker ini belum atas nama Pertamina, masih berstatus pembayaran uang muka.

"Kita dihukum membayar US$ 300 juta oleh pengadilan internasional. Karena tidak mau membayar, maka seluruh aset Pertamina boleh disita Karaha Bodas, termasuk kapal tanker," imbuh Laks kala itu.

Dengan penjualan ini, menurut Laks, Pertamina untung US$ 53 juta. "Kalau tidak ada ini, kita membayar US$ 300 juta pada Karaha Bodas. Ini kan mengurangi kerugian, US$ 300 juta dikurangi US$ 53 juta," lanjutnya. (gah/sss)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/115012/idnews/817514/idkanal/10

Tan Malaka Masuk 7 Magnificent Revolusi Kemerdekaan RI

2007-08-15 12:07:00

Arfi Bambani Amri - detikcom

Jakarta - Meski sejarahnya dihitamkan, Ibrahim alias Datuk Tan Malaka diakui adalah 1 dari 7 magnificent tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namanya layak disejajarkan dengan Soekarno, M Hatta, Jenderal Sudirman, Sjahrir, Amir Syarifuddin dan Musso.

"Tan Malaka masuk 7 magnificent. Hal itu jika dilihat dari sepak terjang mereka sejak 1920-an sampai Indonesia merdeka," cetus Ketua Relawan Pejuang Demokrasi (Repdem) Budiman Sudjatmiko dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (15/8/2007).

Tan Malaka adalah orang yang berperan menggalang kesadaran rakyat melawan kolonialisme. Mulai dari membangun sekolah rakyat di Semarang tahun 1921, kemudian ikut dalam gerilya mempertahankan kemerdekaan antara 1945 sampai meninggal 1949.

"Sukarno juga begitu. Ketika kuliah di Bandung, dia sudah menulis 'Indonesia Menggugat'. Hatta di Belanda mendirikan Perhimpunana Indonesia," kata Budiman yang memimpin ormas underbouw PDIP itu.

Peran Amir Syarifuddin juga tak kalah hebat. Ketika gerakan rakyat diberangus oleh pemerintah kolonial Belanda pascapemberontakan 1926, Amir membangun Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). "Gerindo aktif menggalang aksi-aksi menentang kolonialisme," kata Budiman.

Sementara Musso merupakan salah satu pimpinan teras Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai partai pertama di Indonesia yang memproklamirkan perlawanan terhadap kolonialisme, Musso aktif menggalang solidaritas internasional.
"Musso berkeliling ke mana-mana, termasuk ke Moskow," kata Budiman.

Nah, Sjahrir adalah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang juga besar perannya dalam kemerdekaan Indonesia. Sjahrir yang dekat dengan Hatta memiliki kemampuan diplomasi yang luar biasa, sehingga terlibat dalam setiap perjuangan diplomasi.

"Sementara Jenderal Sudirman adalah tentara yang paling dekat dengan gerakan kiri. Sudirman ikut dalam Persatuan Perjuangan ketika dibentuk di Purwokerto (tahun 1946 - red)," urai Budiman yang memiliki gelar master di bidang kajian Asia Timur itu.

"Nah, Tan Malaka adalah yang paling radikal dibanding yang lain. Dia less compromistic dengan kolonialisme," kata Budiman.

Menariknya, meski radikal, Tan Malaka yang lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, itu tidak memiliki problem dengan gerakan Islam seperti yang dialami Musso dan Amir Syarifuddin. Hubungan Tan Malaka dengan tokoh-tokoh Islam sangat dekat, termasuk dengan ayahanda Gus Dur. "Tan Malaka itu less problematic dengan gerakan Islam," tandas Budiman. (aba/asy)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/120704/idnews/817527/idkanal/10

Taufiq Kiemas Kritik Keras Menterinya SBY

2007-08-15 12:06:00

Anwar Khumaini - detikcom
Jakarta - Politisi PDIP Taufiq Kiemas melontarkan kritik pedas kepada pemerintah. Meski sudah 62 tahun lepas dari belenggu penjajah, Indonesia dinilainya belum menghirup kemerdekaan yang sesungguhnya.

Indikasi itu terlihat dari banyaknya pengangguran dan warga yang berada di bawah garis kemiskinan, terutama kalangan petani.

"Saat ini para petani kita belum merdeka, tanpa kemerdekaan petani, kita tidak akan mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya," cetus Taufiq.

Taufiq menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara dalam acara "Refleksi 62 Tahun Indonesia Merdeka di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta, Rabu (15/8/2007).

Acara ini digelar Forum Politisi Muda Kebangsaan yang merupakan gabungan dari politii muda PDIP dan Golkar. Para politisi muda ini menggunakan kaos dengan warna yang menjadi trade mark masing-masing parpol, yakni merah dan kuning.

Karena itu, anggota DPR ini terang-terangan menyoroti kinerja Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriantono.

Mentan sekarang, kata dia, tidak memberikan sumbangsih yang berarti bagi mayoritas petani di Indonesia. Padahal hal yang paling diutamakan dalam pembangunan bangsa ini adalah mensejahterakan para petani.

"Apa yang dilakukan Mentan saat ini? Mentan sekarang belum ada sumbangsihnya," cetus Taufiq dengan nada sinis.

Jika bangsa ingin makmur, tegas dia, yang harus dimakmurkan terlebih dahulu adalah para petani. Dan, untuk mensejahterakan rakyat, bangsa Indonesia harus berani menentukan ekonominya sendiri tanpa campur tangan pihak asing.

Langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat kebijakan yang pro rakyat. "Solusinya APBD dan APBN pro rakyat kecil seperti yang saat ini diperjuangkan PDIP," ujar dia.

Dia juga mengkritisi pejabat dan pengusaha kaya Indonesia yang dianggapnya cukup mapan dari segi ekonomi, namun tidak punya jiwa patriotisme. Misalnya, enggan membayar pajak.

"Banyak pejabat dan pengusaha kita yang tidak punya NPWP. Padahal itu salah satu bentuk patriotisme saat ini. Itu (patriotisme) tidak hanya dalam bentuk perjuangan, kita punya NPWP juga merupakan bentuk patriotisme," bebernya.
(umi/ana)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/120652/idnews/817526/idkanal/10


Saya heran dengan orang ini, tapi untuk mendapatkan pencerahkan munkin harus dijawab pertanyaan ini:
1.Diantara para kader partai politik, partai politik manasaja yang korupsi,ijazah palsu , narkoba dan asusila?
2.Ketua Bulog Wijanarko Puspoyo ini kader dari partai mana?
3.Penjualan Indosat terjadi dan dilakukan oleh kader partai mana?
4.Penjualan tanker di Pertamina dilakukan oleh kader partai mana?
5.Di antara capres 2004 siapa yang hartanya paling banyak?
6.Di antara capres siapa yang paling lambat melaporkan kekayaannya?

Itu saja, jawab yang jujur.

Tan Malaka, Jembatan Dunia Komunis dan Islam

2007-08-15 10:27:00
Arfi Bambani Amri - detikcom
Jakarta - Tak banyak orang tahu, Tan Malaka ternyata berperan penting dalam menjaga keutuhan Uni Soviet. Tan Malaka seperti jembatan yang menghubungkan dunia komunis dengan dunia Islam.

"Adam Malik pernah jadi dubes ke Rusia. Di sana Adam Malik mendapatkan data Ibrahim alias Datuk Tan Malaka pernah dikirim Central Committee (CC) Uni
Soviet ke daerah Uni Soviet yang beragama Islam," ungkap Ketua Umum Murba, Hadidjojo Nitimihardja, dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (15/8/2007).

"Dan pendekatan Tan Malaka itu membuat Islam di Uni Soviet bisa bertahan," imbuh Hadidjojo.

Dalam berbagai literatur, Tan Malaka memang pernah menjadi wakil khusus Komunis Internasional (Komintern) antara tahun 1922 sampai 1927. Tan Malaka memiliki otoritas yang besar dalam menjabarkan strategi dan taktik komunisme ke seluruh dunia.

Namun belakangan, anak nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat itu berbeda pandangan dengan Komintern yang memandang gerakan pan Islamisme sebagai ancaman. Pada saat yang sama, hubungan Tan Malaka yang menghabiskan masa kecil mengaji di surau itu pun merenggang dengan PKI terkait pemberontakan 1926 melawan Belanda.

"Tan Malaka itu mendalami Islam dengan baik. Bagi Tan Malaka, tidak tepat gerakan komunis berhadapan dengan gerakan Islam terutama di Indonesia. Islam
di Indonesia itu sudah ibarat darah dalam daging," kata Hadidjojo.

Perbedaan meruncing, dan pada 1927 Tan Malaka bersama Awaloeddin Djamin mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari). Berakhirlah keterkaitan langsung Tan Malaka dengan gerakan komunis internasional dan Indonesia.
(aba/umi)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/102737/idnews/817442/idkanal/10

Tan Malaka, Pejuang Kesepian

2007-08-15 08:14:00
Arfi Bambani Amri - detikcom
Jakarta - Anak-anak muda sekarang pasti tidak banyak yang mengenal nama Tan Malaka. Padahal jika dipelajari sejarahnya, tak kalah besar dari pahlawan legendaris Kuba, Che Guevara.

Tan Malaka lahir 2 Juni 1887 di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dengan nama Ibrahim. Setelah menghabiskan sekolah dasar dan menengah di Bukittinggi, Ibrahim kemudian mendapat gelar Datuk Tan Malaka sebagai tanda orang yang dituakan di kaumnya.

Tahun 1912, Tan Malaka yang kemudian hari mendirikan Partai Murba itu kemudian melanjutkan sekolah ke Belanda. Tan Malaka pun dikenang kawan-kawan sekolahnya di Harlem, Belanda, sebagai seorang yang cerdas.

Tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Pada awalnya Tan Malaka menjadi guru mengajar tulis menulis di sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara.

Di perkebunan itulah semangat radikal dan anti kolonialisme Tan Malaka bersemi. Ketimpangan nasib buruh perkebunan yang didominasi warga pribumi dengan tuan tanah yang warga asing menghibakan hatinya.

"Pergilah ia ke Yogyakarta menemui sahabatnya Ki Hadjar Dewantara. Mereka berdua berpikir bagaimana melakukan pendidikan kepada rakyat," ungkap Ketua Umum Partai Murba Hadidjojo Nitimihardja dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (14/8/2007).

Berdua Bapak Pendidikan Nasional itu, Tan Malaka membuat semacam proposal sekolah bagi pribumi. Rancangan sekolah itu dikirimkan ke berbagai tokoh-tokoh pribumi termasuk Semaun yang kemudian hari mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Semaun bilang Tan Malaka untuk pindah ke Semarang saja. Berangkatlah Tan Malaka ke Semarang untuk mendirikan sekolah rakyat bersama Semaun," kata Hadidjojo.

"Jadi awalnya Tan Malaka itu seorang pendidik, bukan politisi," imbuh Hadidjojo.

Ketika PKI berkongres 24-25 Desember 1921 di Semarang, Tan Malaka terpilih menjadi pimpinan partai. Sepak terjangnya mulai diperhatikan pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Tak butuh waktu lama, Januari 1922, Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Maret tahun yang sama, Tan Malaka diusir ke luar Indonesia.

Mulailah petualangan Tan Malaka dari satu negara ke negara lain. Dari Berlin (Jerman), Moskow (Uni Soviet), Belanda, Shanghai (Cina), Thailand, dan Filipina.

Tan Malaka ditunjuk Komunis Internasional (Komintern) untuk menjadi wakil khusus yang bertugas menjelaskan strategi-taktik Komintern ke berbagai negara termasuk Indonesia. Sebuah jabatan yang bahkan Bapak Revolusi Cina sendiri, Mao Tse Tung, tak pernah mendapatkannya.

Tahun 1925, keluarlah sebuah buku putih revolusi Indonesia yang ditulis Tan Malaka. Judulnya 'Naar de Republiek Indonesia' atau 'Menuju Republik Indonesia.

Dari judulnya saja sudah menunjukkan sikap politik Tan Malaka untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan mendirikan sebuah negara republik, negara yang bersendi pada kedaulatan rakyat.

"Kalau anda baca 'Naar de Republiek', lalu baca teks Indonesia Raya, anda bisa lihat benang merahnya. Wage Rudolf Supratman terinspirasi dari buku itu saat membuat 'Indonesia Raya'," jelas Hadidjojo.

Tahun 1926, pecahlah pemberontakan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda di berbagai daerah. Tan Malaka yang sedang berada di luar negeri menilai pemberontakan ini terlalu dini dikobarkan oleh PKI. Mulailah Tan
Malaka pecah dengan PKI.

Tahun 1927, Tan Malaka terang-terangan keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari). Komintern yang sebelumnya sudah gerah dengan Tan Malaka yang lunak terhadap gerakan Islam segera memecat Tan Malaka.

Sejak itu, mulailah Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh pemerintah kolonial Belanda tapi juga oleh mantan sekutunya di Komintern dan PKI. Tan Malaka seakan menjadi revolusioner yang sendirian, bersembunyi dan menyamar sembari terus menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, barulah Tan Malaka diperkirakan kembali ke Indonesia. Antara tahun 1942 sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itulah, sembari menyamar, Tan Malaka menyelesaikan magnum opus-nya 'Madilog' yang merupakan singkatan dari 'Materialisme, Dialektika dan Logika'.

Bahkan dikabarkan juga, beberapa tokoh muda yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok merupakan orang-orang suruhan Tan Malaka. Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok untuk didesak segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah proklamasi, sempat dikabarkan Tan Malaka bertemu dengan beberapa tokoh nasional termasuk Soekarno. Soekarno pun kabarnya sampai kaget bertemu dengan tokoh yang sudah menjadi legenda itu.

Namun proklamasi kemerdekaan itu belum cukup bagi Tan Malaka karena Belanda masih berusaha bercokol di luar Jawa dan Madura melalui jalur-jalur diplomasi. Kabinet saat itu yang dikuasai Sjahrir menerima diplomasi itu.

Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan yang digalangnya kemudian terus bergerilya menuntut kemerdekaan penuh. Bersama beberapa tokoh Persatuan Perjuangan, Tan Malaka dipenjarakan oleh Sjahrir.

Tahun 1948 pecahlah peristiwa Madiun yang menyeret PKI sebagai biang kekacauan. Tan Malaka dilepaskan dan kemudian pada 7 November 1948 mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).

Murba kemudian menjalankan Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi). Nah, Jenderal Sudirman merupakan salah satu orang yang sepakat melakukan gerilya ini untuk melawan invasi militer Belanda kedua.

Namun, perpecahan di tingkat elit politik membuat Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh Belanda tapi juga oleh militer Indonesia yang pro Sjahrir dan Hatta.

21 Februari 1949, Tan Malaka pun lenyap untuk selamanya di kaki gunung Wilis, Kediri. Tan Malaka tewas dalam kesendirian, tanpa nisan, tanpa kuburan yang layak. Tan Malaka, pejuang yang kesepian. (aba/bal)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/081414/idnews/817322/idkanal/10

Gerilya Jual-Beli Pasal BI

Dewan Gubernur Bank Indonesia secara mendadak mengagendakan rapat penting, Kamis petang pekan lalu. Adalah sebuah dokumen yang menyebar ke berbagai kalangan yang membuat petinggi bank sentral itu kalang kabut. Dokumen itu isinya menyebutkan adanya aliran dana dari Bank Indonesia (BI) kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Aliran fulus sebesar Rp 4,415 milyar itu terkait pembahasan sejumlah undang-undang dan rencana anggaran BI.

Berbekal dokumen yang sama, Indonesia Corruption Watch (ICW) bergegas melaporkan dugaan suap itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat pekan lalu. Teten Masduki, Koordinator ICW, diterima Lambok Hutauruk, Direktur Gratifikasi KPK. "Saya kira, aliran dana ini upaya untuk mempengaruhi proses perundangan, khususnya RUU Lembaga Penjaminan Simpanan yang pada saat itu dibahas DPR," kata Teten Masduki. "Jadi, ada motif," ia menambahkan.

Ketika melapor, Teten juga membawa dokumen yang isinya membuat kalangan petinggi BI gerah. Dokumen itu berupa lembar disposisi pejabat dan pertanggungjawaban pengeluaran dana dari BI kepada DPR. Mengenai dugaan adanya upaya BI mempengaruhi dewan dalam kaitan dengan Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan (UU LPS) termaktub dalam lembar disposisi pejabat tanggal 8 September 2004.

Disposisi itu dikirim Rizal A. Djaafara, Kepala Biro Gubernur BI ketika itu, kepada Aulia Pohan, Deputi Gubernur BI pada saat itu. Aulia Pohan yang besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu kini sudah tak menjabat lagi di BI. Sedangkan Rizal Djaafara kini menjabat sebagai Kepala Biro Hubungan dan Studi Internasional, Direktorat Internasional BI.

Lembar disposisi 8 September 2004 itu menyebutkan bahwa RUU LPS sudah disetujui DPR dan telah disahkan menjadi UU LPS. Namun, dalam Bab VI Pasal 43 mengenai "Likuidasi Bank Gagal" LPS masih terdapat ganjalan. Beberapa materi belum dapat dimasukkan dalam bab itu. Misalnya mengenai jaminan kliring. "Namun seluruh pasal pada bab ini telah mengakomodasi usulan BI," begitu yang tertulis dalam disposisi.

Lembar disposisi itu juga menyebutkan, BI telah berkoordinasi dengan para anggota Panitia Kerja RUU LPS, yang akan menjabat kembali sebagai anggota DPR untuk periode 2004-2009. Mereka sepakat mengajukan RUU Likuidasi Bank sebagai RUU yang berdiri sendiri. RUU itu mengatur mengenai proses dan mekanisme likuidasi bank serta hal-hal lain yang terkait. Aturan yang sudah ada di RUU LPS akan diakomodasi pada RUU Likuidasi Bank, dengan menambah materi yang belum ada di RUU LPS.

Sebagai sosialisasi mengenai pentingnya RUU Likuidasi Bank, pada masa persidangan selanjutnya dan dalam upaya diseminasi hubungan baik dengan DPR, biro gubernur mengusulkan penyampaian dana sebesar Rp 500 juta. Dananya bersumber dari Direktorat Hukum BI.

Teten Masduki menilai, "jual-beli" pasal di DPR sudah termasuk lazim terjadi dalam proses sebuah paket RUU atau anggaran. "Saya pikir, hal seperti itu bukan problem di BI saja, bisa terjadi di mana saja dengan lembaga siapa saja," katanya kepada Anthony dari Gatra.

Masih kepada Aulia Pohan, pada 21 September 2004, biro gubernur juga meminta persetujuan penarikan dana sebesar Rp 650 juta untuk diseminasi amandemen UU Perbankan. Ini setelah lobi kepada anggota DPR menyepakati penundaan pembahasan amandemen UU Perbankan itu.

Lembar disposisi pejabat tertanggal 8 September dan 21 September itu adalah dua di antara enam lembar disposisi, yang isinya masih seputar permintaan dana dari biro gubernur kepada deputi gubernur, yang oleh ICW dicurigai secara gerilya akan diserahkan kepada anggota Komisi IX DPR. Sedangkan lembar disposisi pejabat lainnya yang juga diserahkan ICW ke KPK berisi seputar laporan dari biro gubernur kepada dewan gubernur tentang isi rapat dewan gubernur pada Juli 2002, tidak menyangkut permintaan pemberian uang kepada dewan.

Usulan pemberian uang dari BI ke DPR juga tercermin pada lembar disposisi pejabat tertanggal 21 September 2004. Disposisinya dari Rizal Djaafara kepada Aslim Tadjuddin, deputi gubernur, itu berisi permintaan dana sebesar Rp 2,65 milyar. Pemberian itu dilakukan sebagai "pesangon" dan pembinaan hubungan baik dengan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan RUU Kepailitan. Sebab masa jabatan para anggota panja itu akan berakhir.

Tak hanya buat anggota Panja RUU SPPN dan RUU Kepailitan, dana sebesar Rp 2,65 milyar itu juga masuk dalam satu paket pemberian atas selesainya pembahasan RUU LPS. Dalam disposisi lain yang masih bertanggal sama, yakni 29 September 2004, dan juga ditujukan kepada Aslim Tadjuddin, biro gubernur makin menegaskan perlunya menyampaikan dana itu kepada anggota Panja RUU LPS. "Seluruh high call BI pada dua RUU dimaksud (RUU LPS dan RUU Kepailitan) telah diakomodasikan," demikian tertulis pada disposisi itu.

Tak hanya urusan RUU yang berkaitan dengan tugas BI, dugaan pemberian dana kepada DPR juga terlihat dalam lembar disposisi pejabat tertanggal 21 September 2004, yang dikirim Rizal Djaafara, Kepala Biro Gubernur BI ketika itu, kepada Bun Bunan Hutapea, Deputi Gubernur BI. Disposisi itu menyebutkan, untuk menindaklanjuti pentingnya penyampaian anggaran BI dan mempertimbangkan urgensi persetujuan anggota dewan atas anggaran BI, akan dilakukan pertemuan informal pada 21 September 2004.

Pertemuan yang berlangsung di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, itu melibatkan perwakilan fraksi-fraksi di Komisi IX DPR yang berjumlah 18 orang. Dalam pertemuan itu, BI akan menyampaikan secara informal rincian anggaran BI, sekaligus memohon dukungan persetujuannya. Rizal meminta Bun Bunan hadir dalam pertemuan itu. Sebagai apresiasi, Rizal mengusulkan diberikan dana diseminasi sebesar Rp 540 juta kepada dewan.

Dokumen ICW yang diserahkan ke KPK itu juga memuat nama-nama anggota dewan yang terlibat dalam pertemuan membahas anggaran BI. Mereka adalah Hamka, Nurlif, Bobby, dan dan Antony (Partai Golkar), Matheos dan Williem (PDI Perjuangan), Faisal Baasir, Endin, dan Danial (Partai Persatuan Pembangunan), Hakam Nadja, Rizal Djalil, dan Soenmandjaja (Reformasi), serta Sulistiadi, Darsup, dan Udju (TNI).

Tak hanya kepada anggota dewan, dana BI juga diduga mengalir ke 15 orang di Sekretariat Komisi IX. Nilainya sebesar Rp 75 juta. Ini berdasar lembar disposisi pejabat tentang tindak lanjut breakfast meeting Gubernur BI, tertanggal 28 September 2004. Disposisi itu dikirim Rizal Djaafara kepada Aslim Tadjudin. Pemberian uang itu adalah buah kesepakatan antara Gubernur BI dan anggota Komisi IX, yakni ungkapan apresiasi atas seluruh asistensi yang diberikan Sekretariat Komisi IX.

Menerima pengaduan dari ICW, KPK berjanji mempelajari dokumen yang diserahkan. "Untuk memutuskan bisa tidaknya diteruskan ke tingkat penyidikan atau bagaimana nanti," kata Johan Budi S.P., Humas KPK. Setidaknya butuh waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan penelisikan itu.

Sejumlah anggota DPR yang disebut dalam dokumen itu membantah telah menerima uang dari BI. "Saya tidak pernah mengikuti pembahasan undang-undang yang terkait dengan BI," kata Hakam Nadja kepada Deni Muliya Barus dari Gatra. "Ketika di Komisi IX itu dalam pergantian antar waktu, yang sudah berakhir masa periodenya," Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional yang kini menjadi anggota Komisi X DPR itu menambahkan.

Begitu pula Matheos Pormes dari PDI Perjuangan. "Seingat saya, saya nggak pernah ikut serta dalam beberapa pembahasan RUU yang dimaksud. Jadi, saya no comment sajalah," katanya tenang. Matheos kini sudah beralih ke Partai Demokrasi Pembaharuan dan menyatakan siap bila diminta KPK memberi keterangan yang diperlukan. "Asal jangan ada rekayasa ini-itu," ujarnya.

Sedangkan Williem Tutuarima dari PDI Perjuangan mengaku belum mengetahui dokumen yang disebutkan berisi aliran dana ke anggota DPR itu, termasuk dirinya. "Lagi pula, saya nggak pernah terima apa pun tuh," kata mantan anggota Komisi IX DPR (1999-2004) dari PDI Perjuangan itu. Kini ia menjadi anggota Komisi VII. Bobby Suhardiman dari Partai Golkar menolak berkomentar. "Tanya yang lain aja deh. Saya tidak mengikuti perkembangannya," katanya. "Sejak seminggu di Sydney (Australia) mengurusi sekolah anak sampai 14 Agustus mendatang," ia menambahkan.

BI secara resmi juga membantah isi dokumen yang diserahlan ICW ke KPK itu. "Itu merupakan isu semata. Sederhana pengertian saya, karena dokumen yang beredar bukan dokumen yang otentik. Dokumen itu berbeda dengan yang ada di Bank Indonesia," kata Budi Mulia, Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI. Dokumen yang beredar tidak berkop BI, tidak ditandatangani pejabat yang berwenang, dan tidak ada otentifikasi dari BI.

Dalam dokumen yang beredar, kata Budi, disebutkan bahwa langkah sosialisasi yang dilakukan BI menyimpang dari yang seharusnya. "Padahal, setiap kegiatan BI yang menggunakan anggaran, termasuk sosialisasi atas kebijakan dan produknya, senantiasa diawasi pengawas internal dan eksternal," ujarnya. Langkah-langkah sosialisasi itu dilakukan secara luas kepada semua elemen masyarakat. "Dari masyarakat umum, akademisi, pengamat, asosiasi, guru, termasuk media dan parlemen," tutur Budi.

Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin tenang saja menanggapi isu suap dari BI ke DPR yang melibatkan namanya. "Nggak benar itu. Saya tak punya wewenang menyetujui penggunaan dana sebesar itu," kata doktor ekonomi moneter dan internasional dari University of Colorado, Boulder, Amerika Serikat, itu. Ia juga mempertanyakan keabsahan dokumen yang diserahkan ICW ke KPK.

Aslim Tadjuddin mulai menjabat sebagai Deputi Gubernur BI pada 11 November 2002. Ia satu angkatan dengan Bun Bunan Hutapea. Keduanya akan mengakhiri masa jabatan pada 11 November mendatang dan bisa saja terpilih lagi. Sebab, berdasar aturan, seorang Deputi Gubernur BI bisa menjabat dalam dua kali masa jabatan.

Dari semua Deputi Gubernur BI yang ada sekarang, memang hanya Aslim dan Bun Bunan yang habis masa jabatannya tahun ini. Karena itu, isu pun melebar ke persoalan pembunuhan karakter terhadap keduanya. Tujuannya, supaya kans untuk terpilih lagi sebagai deputi gubernur menjadi tipis atau nol. Adanya upaya pembubuhan karakter ini juga diakui Aslim.

Terlepas dari isu makin dekatnya masa pergantian Deputi Gubernur BI dan isu pembunuhan karakter itu, ICW menilai KPK harus menuntaskan dugaan gratifikasi dari BI ke DPR itu. "Saya yakin KPK bisa," kata Teten Masduki.

Kalaupun BI membantah bahwa dokumen yang diserahkan ICW itu tak sah dan tak otentik karena tak ada tanda tangan maupun stempel, bukan berarti kasus ini langsung ditutup. "Ini kan bukti awal, bukan bukti di pengadilan. Tidak perlu keabsahan. Memangnya ini bukti transfer bank," ujarnya. "Perlu diingat, substansinya berharga untuk ditelusuri," ia menambahkan.

Teten juga meminta Dewan Kehormatan (BK) DPR menindaklanjuti dugaan suap bermotif memuluskan pasal-pasal alot itu. "Dalam kasus dana Departemen Kelautan dan Perikanan, BK memperlihatkan kewibawaan dan melakukan pemeriksaan. Dalam kasus ini, perlu ada kerja sama KPK," katanya.

Gayus Lumbuun, Ketua BK DPR, mengaku siap mengusut dugaan suap BI itu. Tapi BK, katanya, tidak bisa serta-merta menjalankannya. "Sesuai tata tertib, kami memerlukan perintah dari pimpinan DPR atau laporan masyarakat," kata politikus dari PDI Perjuangan itu. Bila sudah ada, pemeriksaan akan dilakukan.

Dari pemeriksaan ini akan diketahui apakah aliran dana dari BI itu untuk mendukung operasional penggodokan RUU atau untuk kepentingan pribadi. "Keduanya melanggar, tapi kadarnya berbeda," katanya. Bila dana itu ada hubungannya dengan operasional, maka sanksinya lebih ringan. Namun, bila terkait kepentingan pribadi, sanksinya akan berat, misalnya pencopotan dari keanggotaan di DPR.

Irwan Andri Atmanto, Hatim Ilwan, Mujib Rahman, dan Bernadetta Febriana
[Laporan Utama, Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 10 Agustus 2007]

Rumah Pejabat Garut Diserang Puluhan Satgas

GARUT, (GM).-
Sekitar 50 orang kelompok massa berseragam satuan petugas (satgas) sebuah partai politik, Selasa (14/8) sekira pukul 14.00 WIB merusak rumah milik Anton Heryanto, mantan Kasi Anggaran Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Garut.

Tak ada korban jiwa dalam insiden tersebut dan kerusakan rumah pun tak terlalu parah. Kendati demikian, peristiwa tersebut dinilai sejumlah kalangan sebagai bukti suasana Garut tetap memanas, pasca penahanan Bupati Garut Agus Supriadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu lalu.

Menurut Anton, ia baru sekitar lima menit berada di rumahnya sepulang dari kantor. Tiba-tiba rumahnya di Kompleks Cempaka Indah, Jln. Gatot Soebroto 132 Kec. Karangpawitan itu, disatroni sekitar 50 orang berseragam hitam-hitam. Massa tiba di rumahnya dengan dua kendaraan pick-up Mitshubisi T 125 SS sambil melakukan perusakan. Pintu pagar rumah rusak dijebol dan kaca rumah di lantai dua pun pecah terkena lemparan batu bata.

Anton saat itu tidak berani keluar rumah untuk melihat aksi para pengepungnya. Selain Anton, di dalam rumah tersebut ada istri, anak, dan pembantunya. Saat ditanya, Anton mengatakan tidak tahu sama sekali motif penyerangan yang dilakukan massa dari satgas sebuah partai tersebut. "Saya juga tak tahu, kenapa mereka menyerang rumah saya. Saya tak berani keluar rumah melihat orang pada beringas. Teriak-teriak, anjing keluar! Segala macam begitulah," katanya.

Friksi

Penyerangan tersebut tak berlanjut setelah polisi datang ke lokasi. "Kalau kerugian sih memang tak seberapa. Tetapi secara psikologis...," ujar Anton sambil menghela napas. Beberapa saat setelah aksi penyerangan, Ketua DPC PDIP Garut, Memo Hermawan dan Kapolres Garut, AKBP Eko Budi Sampoerno secara bersamaan datang menemui Anton.

Ketiganya langsung menjauh dari kerumunan orang dan sempat terlibat pembicaraan serius. Anggota DPRD Garut dari Fraksi Partai Golkar, Offie Firmansyah juga tampak datang ke lokasi kejadian. Wakil Ketua I DPC PDIP, Dudu Abdullah pun terlihat di tempat kejadian perkara. Kapolres menduga, peristiwa tersebut kemungkinan karena adanya friksi antara petinggi DPC PDIP Garut dengan Anton, terkait situasi politik di Garut yang masih panas. Menurutnya, penyerangan dipicu adanya informasi bahwa Anton berencana menggerakkan kelompok jaringan desa untuk "menggoyang" petinggi PDIP Garut.

Ditanya kemungkinan penangkapan terhadap para pelaku penyerangan, Kepolres mengatakan, belum akan dilakukan. "Lebih baik kita saling menjaga agar Garut kondusif. Tetapi kita sudah mencatat nomor kendaraan dan telah ada kontak dengan Ketua PDIP bahwa kendaraan tersebut akan diantar ke polres," katanya. (B.117)**

Kepala Sekolah Mengaku Diperas Oknum Jaksa:Dimintai Dana Tutup Kasus Rp 10 juta- Rp 50 juta

KARAWANG, (PR).-
Sejumlah kepala sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Kab. Karawang, mengaku menjadi korban pemerasaan oknum jaksa di kejaksaan negeri (kejari) setempat. Mereka berterus terang dimintai dana Rp 10 juta hingga Rp 50 juta, dengan dalih penyelidikan atas kasus yang tengah mereka hadapi akan ditutup.

Karena takut, beberapa kepala sekolah (kepsek) bahkan mengaku telanjur menyerahkan dana sebesar permintaan oknum jaksa tersebut."Saya telah menyerahkan dana Rp 50 juta langsung kepada orag yang mengaku pejabat di Kejaksaan Negeri Karawang 1 Agustus lalu. Dia menakut-nakuti bahwa saya sudah terlibat tindak pidana korupsi," ujar salah seorang Kepala SMA Negeri di Kota Karawang kepada "PR", Selasa (14/8).

Kepala sekolah yang minta indentitasnya tidak disebutkan dulu itu mengatakan, korban pemerasan oknum jaksa tersebut bukan hanya dirinya. Hal serupa dialami pula oleh sejumlah kepala SMP, SMA, dan SMK di Kab. Karawang.

Menurut dia, kasus itu bermula dari munculnya dana bantuan operasional penggunaan fasilitas (BOPF) yang diberikan Pemkab Karawang. Dana itu diarahkan untuk membantu siswa miskin agar bisa melanjutkan sekolahnya.

"Tahun anggaran 2007 ini, sekolah kami menerima bantuan Rp 71 juta. Dana itu sudah kami manfaatkan untuk membeli berbagai fasilitas pengajaran," kata kepsek tersebut.

Dana tersebut dipotong 2,5% untuk diberikan kepada pihak Dinas Pendidikan (Disdik) setempat sebagai biaya administrasi. Pemotongan itu, menurut dia, merupakan hasil keputusan musyawarah kepala sekolah atas permintaan Disdik.

"Kami tidak menyangka pemotongan dana tersebut akan menimbulkan masalah. Kami dipanggil dan dimintai keterangan oleh kejaksan," katanya.

Kejaksaan, ujarnya, menuding para kepala sekolah telah melakukan tidak pidana korupsi. Namun, ujung-ujungnya mereka meminta kami menyediakan uang agar kasus tersebut tidak dilanjutkan.

"Yang membujuk kami menyediakan uang adalah seorang jaksa yang masih muda. Sementara, uang diterima oleh orang yang mengaku pejabat di Kejaksaan Negeri Karawang," kata dia.

Ketika hal tersebut dikonfirmasikan, Kepala Kejari Karawang, Suwarsono, S.H., seperti biasa menolak ditemui wartawan. Menurut stafnya, kajari sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. (A-106)***

Dukungan Calon Perseorangan Cukup 3-5 Persen

Rabu, 15 Agustus 2007 | 07:03 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:

Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung menyatakan calon perseorangan yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah cukup mengumpulkan dukungan suara antara 3-5 persen. "Kalau di atas itu, terlalu berat," katanya kepada Tempo usai perayaan ulang tahunnya di kediamannya, Jakarta, tadi malam.

Menurut Akbar, persyaratan calon perseorangan tak bisa disamakan dengan persyaratan partai politik. Partai, kata dia, sudah memiliki jaringan dan infrastruktur yang jauh lebih mapan ketimbang calon perseorangan. "Kalau disamakan dengan partai, yaitu 15 persen, itu impossible," ujarnya.

Dia mencontohkan, calon perseorangan di Aceh bisa berjalan karena calon mengumpulkan 3 persen dukungan. "Kita bisa belajar dari Aceh," katanya.

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyelesaikan draf awal Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Rancangan ini akan mengatur keikutsertaan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam draf itu disebutkan, calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan minimal 10 persen. Tapi, syarat dukungan itu ditolak fraksi Partai Golkar di Parlemen. Golkar menginginkan dukungan calon perseorangan harus sepadan dengan partai, yaitu 15 persen.

PRAMONO/KURNIASIH BUDI

Tuesday, August 14, 2007

Makam Tan Malaka Diklaim Ditemukan di Kediri

Selasa, 14/08/2007 17:22 WIB
Samsul Hadi - DetikSurabaya

Kediri - Makam Tan Malaka ditemukan di Kediri. Makam tokoh sosialis beraliran keras ini ditemukan warga yang mengetahui eksekusi Ibrahim alias Tan Malaka.

Penemuan ini setelah beberapa warga Desa Selopangggung, Kecamatan Semen, berhasil menemukan makam salah satu pahlawan yang selama ini dianggap beraliran keras, Datuk Ibrahim atau biasa dikenal dengan nama Tan Malaka.

Penemuan ini disertai keterangan saksi sejarah yang mengetahui secara detail peristiwa kematian Tan Malaka yang dipercaya dibunuh pada tahun 1949 silam.

Ditemukanya makam Tan Malaka yang tertembak dalam pelariannya pada tangga 21 Februari 1949 tersebut berdasarkan cerita salah satu saksi sejarah yang menyebutkan kronologis terjadinya catatan sejarah ini, yaitu Tolu (69), warga Desa Selopanggung.

Tolu menyebutkan, pada kisaran tahun 1948 hingga 1949, ada sekitar 50 orang yang datang dari luar daerah ke Desa Selopanggung, yang belakangan diketahui sebagai pasukan dari Brigade Sikatan yang bertugas memburu dan melakukan eksekusi terhadap Tan Malaka.

Pada saat itu, rombongan menginap di rumah orangtua Tolu. Kedatangan mereka dilengkapi dengan persenjataan lengkap.

"Ada sekitar 50 orang, yang saya kenal antara lain Letkol Surahmat, Sukoco, Dayat, Prapto, Abdul Syukur dan beberapa lainya saya tidak kenal," cerita Tolu, Selasa (14/8/2007)

Tolu juga menceritakan kedatangan orang-orang tersebut juga melakukan pemusnahan beberapa arsip dan buku yang diyakini sebagai milik Tan Malaka mengenai pemikiran aliran kiri.

"Jumlahnya banyak sekali, bahkan dibakar selama satu minggu apinya belum padam," lanjut Tolu.

Warga di sekitar lokasi terjadinya sejarah, baru menyadari jika di desa tempat tinggal meraka sebagai tempat terbunuhnya tokoh penggerak kemerdekaan nasional, ketika sepuluh tahun dan lima tahun yang lalu, ada seorang warga negara Belanda, yang diketahui bernama Harry A Poeze, berusaha mencari jejak Tan Malaka.

Selama satu bulan melakukan penelitian, akhirnya Poeze menyimpulkan di Desa Selopanggung merupakan tempat singgah terakhir Tan Malaka sebelum akhirnya menghilang tanpa ada jejaknya lagi.

"Orang Belanda itu menyimpulkan di sini tempat Tan Malaka hilang," kata Samsuri (45), mantan Kepala Desa Selopanggung, sambil menunjukkan papan petunjuk tempat hilangnya Tan Malaka yang dibuat oleh Harry A Poeze.

Semua bukti kebearadaan Tan Malaka juga disebutkan oleh Sukoto (75), yang saat terjadinya penembakan Tan Malaka bekerja sebagai kurir dari Brigade Sikatan.

Dia bercerita pernah mendengar penembakan orang di malam hari, tanpa diketahuinya siapa korban yang ditembak. Namun Sukoto menyebutkan, setelah rombongan Brigade Sikatan meninggalkan Desa Selopanggung, ada makam baru bernisankan pohon di pemakaman desa.

"Saya dulu tukang kirim surat dari rombongan orang luar itu, dan saya tahu kejadian pada saat itu," cerita Sukoto.

Mengenai keyakinan warga Desa Selopanggung yang menyebutkan, makam bernisankan pohon yang diyakini sebagai makam Tan Malaka. Hal itu berdasarkan cerita orang-orang tua yang menyebutkan makam tua tersebut telah ada sebelum tahun 1948.

"Kata orang-orang tua, makam ini ada sejak tahun 1948. Waktu itu hanya ada 1 makam yaitu makam sesepuh Desa Selopanggung. Tapi setelah tahun 1949 tepatnya setelah rombongan tentara pergi ada makam baru bernisan pohon yang tidak dikenali warga," cerita Samsuri.

Dalam catatan sejarah, Tan Malaka dikenal sebagai pejuang yang beraliran kiri. Dia terbunuh pada tanggal 21 Februari 1949 di Kediri. Tan Malaka diyakini terpaksa ditembak karena semasa hidupnya pernah mempelajari sosialisme dan komunisme, dan dikhawatirkan akan mengancam kedaulatan NKRI.

Pada tahun 1963 nama Tan Malaka pernah tercatat sebagai pahlawan revolusi, namun gelar tersebut dicabut pada masa pemerintahan orde baru. (mar/mar)

Berebut Kursi Pencetak Fulus

Bank Indonesia dan Departemen Keuangan sekarang ”bertanding” berebut Peruri. Lanjutan perseteruan lama.

RAPAT pendahuluan Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Selasa tiga pekan lalu terasa lain dari biasanya. Memakan waktu lebih dari dua jam, suasana rapat di lantai tiga markas bank sentral di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, itu lebih ”panas”.

Kabar yang dibawa salah seorang pejabat BI di awal rapat cukup membuat merah kuping para petinggi bank sentral. Isinya penolakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atas tiga kandidat direktur Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) yang diusulkan BI.

Bak bola liar, pembahasan merembet ke soal konflik lain antara BI dan Departemen Keuangan. Disebut-sebut soal perebutan kewenangan mencetak uang, ancaman pemindahan rekening pemerintah dari bank sentral, hingga niat memasukkan BI dalam kategori badan yang dikenai pajak.

Alhasil, bara ”perseteruan” kedua lembaga negara ini pun kembali menyala. Kali ini penyulutnya adalah perebutan kursi direksi Peruri. Masa jabatan seluruh direksi Peruri sudah beberapa bulan berakhir. Pada September mendatang diharapkan tim direksi baru telah terbentuk.

l l l

Sesungguhnya, usulan bank sentral disampaikan atas permintaan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil. ”BI mengajukan calon karena ada tawaran,” kata juru bicara BI, Budi Mulya, pekan lalu.

Siapa para kandidat yang diajukan BI? Budi tak mau menyebutkan. Nama yang beredar, antara lain, Yang Ahmad Rizal (Direktur Perizinan Bank), Eddy Sulaeman Yusuf (Direktur Pengelolaan Moneter), dan M.D. Soegiarto (pimpinan BI Bandung). ”Saya mengajukan daftar riwayat hidup, pertengahan Juli lalu,” kata Ahmad Rizal pekan lalu.

Sebagai pemegang otoritas moneter, kabarnya BI memang sudah lama ingin ”menguasai” Peruri. Sudah menjadi rahasia umum, antara kedua lembaga sering terjadi konflik. Yang pernah terjadi, konflik soal biaya cetak uang, tinta, kertas, hingga soal pembelian mesin cetak uang.

Salah satu konflik itu terjadi akhir tahun lalu. Kedua instansi terlibat ”perang” dalam soal pencetakan uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 20 ribu. BI yang berniat menambah jumlah uang beredar pada tahun ini meminta Peruri mencetak 6,6 miliar lembar uang. Namun, BUMN itu cuma bisa mencetak 5,5 miliar lembar. Gara-gara itu, BI berniat membuka tender untuk memenuhi target sisanya bagi swasta.

Sebagai satu-satunya pencetak uang nasional, manajemen Peruri langsung meradang. Mereka mengadu ke Menteri Perindustrian dan Menteri Negara BUMN. Sejak itulah perseteruan meluas ke soal pembelian mesin dan biaya cetak uang. Dokumen rahasia pembelian mesin cetak uang yang dinilai terlalu mahal bahkan kemudian bocor ke tangan anggota DPR dan media massa.

Barangkali BI beranggapan dengan ”menguasai” Peruri, BI lebih mudah untuk menjamin stabilitas moneter. Namun, sebagian pihak di pemerintahan justru khawatir BI sesungguhnya punya motif lain.

Motif lain itu diduga adalah niat agar pencetakan uang bisa ditenderkan. Menurut seorang pejabat pemerintah yang ikut membahas Peraturan Pemerintah tentang Peruri tahun lalu, niat swastanisasi pencetakan uang memang sudah pernah dilontarkan BI. ”Jangan lupa, yayasan BI juga punya bisnis pencetakan uang di luar Peruri,” katanya.

Kekhawatiran itulah, kata sumber Tempo, yang ikut menyulut aksi penolakan Menteri Keuangan atas usulan BI. ”Menteri Keuangan tidak mau,” kata pejabat yang terlibat proses seleksi. ”Masak, semua-semua dikuasai BI.”

Ketika ditanyakan soal keributan ini, Menteri BUMN Sofyan Djalil tampaknya tak mau terjebak dalam polemik. Yang jelas, kata mantan Menteri Informasi dan Telekomunikasi ini, sudah ada 12 kandidat yang diuji. Tiga dari bank sentral, dua dari Peruri, dan sisanya dari berbagai instansi lain. ”Mereka para profesional,” kata Sofyan pekan lalu.

Disebut-sebut, Soegiarto termasuk salah seorang kandidat yang telah lolos uji kelayakan di tim Kementerian BUMN. Ia bahkan, kabarnya, dijagokan menjadi Dirut Peruri yang baru menggantikan Kusnan Martono. Nama lain yang lolos adalah calon dari Peruri, yaitu Marlan Arief (Direktur Logistik).

Sofyan sendiri belum mau buka kartu. Alasannya, sejumlah nama yang sudah dikantonginya masih akan dibahas lagi oleh Tim Penilai Akhir (TPA). Tim ini dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beranggotakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Sekretaris Negara.

Meski begitu, Sofyan menampik ada perbedaan sikap antara Menteri Keuangan dan BI soal kandidat Dirut Peruri. Kalaupun ada perbedaan, kata dia, akan dibahas dalam rapat TPA. ”Yang jelas, kami mencari pemimpin terbaik untuk Peruri,” ujarnya.

Pembahasan di TPA ada kemungkinan akan dilakukan dalam beberapa pekan mendatang. Menurut seorang pejabat yang terlibat dalam proses seleksi itu, Wapres Jusuf Kalla satu kubu dengan Menteri Sri Mulyani. Apalagi, Kalla selama ini kerap mengkritik bank sentral. ”BI itu jangan seperti negara dalam negara,” kata Kalla dalam suatu kesempatan.

Sri Mulyani yang ditemui seusai rapat di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Selasa pekan lalu, mengunci rapat bibirnya saat ditanya soal calon direktur Peruri usulan BI. Begitu pun dengan Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution. ”Wah, kalau itu tanya Bu Menteri,” katanya di DPR.

Cerita yang lebih gamblang datang dari seorang pejabat pemerintah. Ia mengingatkan, perebutan kursi pencetak fulus cuma serpihan kecil dari perseteruan besar antara BI dan Departemen Keuangan.

Menurut dia, kekecewaan pemerintah atas BI sudah menumpuk sejak krisis ekonomi. Bukan saja karena beban krisis triliunan rupiah dialihkan dari bank sentral ke Departemen Keuangan, tapi juga soal kewenangan BI yang dinilai terlampau besar.

Itu sebabnya, ketika polemik soal kewenangan pencetakan uang mencuat dalam pembahasan Undang-Undang tentang Mata Uang di DPR beberapa waktu lalu, banyak kalangan mengaitkan kisruh itu bagian dari upaya pemerintah mempreteli peran BI. ”Dalam pembahasan UU ini, pertarungan keduanya masih terasa,” ujar Hamkah Yandu, anggota Panitia Khusus UU Mata Uang dari DPR.

Kepada DPR, Maret lalu, Sri Mulyani mengungkapkan, sesuai dengan UUD 1945, keuangan negara dikuasai oleh presiden. Karena itu, wewenang mencetak uang ada di tangan pemerintah, bukan BI. Konsekuensinya, mata uang tak lagi memajang lambang BI dan tanda tangan Gubernur BI, melainkan lambang Republik Indonesia dan diteken presiden. ”Ini untuk menghindari konflik kepentingan, karena BI juga mengedarkan uang,” kata Sri.

Gubernur BI Burhanuddin Abdullah jelas tak sepakat. Dengan dalih sesuai dengan UUD 1945 pula, ia meyakinkan bahwa tugas mencetak, mengedarkan, dan memusnahkan uang ada di tangan BI. Agar meyakinkan, ia menunjuk praktek di negara lain. Pada 62 negara (82 persen dari negara-negara yang diteliti BI) mata uangnya diteken oleh gubernur bank sentral, 5 negara (6,6 persen) oleh presiden, serta sembilan negara (11,8 persen) diteken bersama oleh gubernur bank sentral dan Menteri Keuangan.

Hingga kini belum ada kata sepakat antara BI dan Departemen Keuangan. ”Sikap kami tetap, kewenangan cetak uang di tangan pemerintah,” kata Dirjen Perbendaharaan Negara Depkeu Herry Purnomo, dua pekan lalu. Namun, Budi Mulya memilih untuk tak membuka konfrontasi. ”Kami sudah memberi masukan ke DPR,” katanya diplomatis. ”Sekarang, kami cermati saja perkembangannya.”

Soal direksi Peruri, Budi pun menyerahkan kata akhir kepada pemerintah meski, menurut sejumlah pejabat di bank sentral, pihak BI tetap akan memperjuangkan salah satu calonnya agar tetap masuk bursa direksi Peruri.

Tampaknya, bara ”perseteruan” dua lembaga itu masih akan terus berpijar.

Heri Susanto

Cara Foke Menambang Suara

Disokong 20 partai politik, dana yang besar, dan persiapan yang matang, Fauzi Bowo menang dalam pemilihan Gubernur DKI.

RUANG tamu itu terasa pengap, bahkan seperti pasar malam. Orang-orang terus berdatangan. Di bangunan besar di Jalan Diponegoro 43, Jakarta Pusat itu piring dan sendok berdentingan. Di halaman tersaji soto bangkong, siomai, dan sop buntut.

Lima jam setelah pemungutan suara untuk memilih gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ditutup pada 13.00, Rabu pekan lalu, suasana kemenangan memenuhi tempat itu. Mereka berjabat tangan dengan erat. ”Kita menang...,” sebagian di antara mereka memekik.

Luapan kemenangan pecah ketika Fauzi dan istrinya, Ny. Sri Hartati, tiba. Orang-orang di tempat itu bergegas memberinya ucapan selamat. Sebagian mencium tangan wakil gubernur pemerintahan Sutiyoso itu. Sebagian lainnya meneriakkan ”Hidup Bang Kumis.”

Para tamu sudah menunggu. Yang pertama dari Majelis Ulama Indonesia. Mereka bersalam pipi, lalu berdoa bersama. Berikutnya rombongan Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), yang datang berarak-arak dengan puluhan mobil dan sepeda motor.

”Kami datang dengan 47 sepeda motor, Bang, khusus untuk memberikan selamat,” kata seorang pengurus Forkabi kepada Fauzi Bowo. Mayjen Nachrowi Ramli, Kepala Lembaga Sandi Negara yang menjadi Ketua Dewan Penasihat Forkabi, menimpali, ”Iyalah, ini kan presiden-nye Jakarta.” Semua tergelak. Fauzi menjawab, ”Alhamdulillah.”

Meski penghitungan masih dilakukan Komisi Pemilihan Umum DKI, Fauzi, yang berpasangan dengan Mayjen Prijanto, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat, malam itu sudah yakin menang. Berdasarkan hasil penghitungan cepat oleh berbagai lembaga survei, termasuk Lingkaran Survei Indonesia yang disewa tim ini sebagai konsultan, mereka mengungguli kandidat Adang Daradjatun-Dani Anwar.

Suasana kemenangan juga memenuhi Fauzi Bowo Center, markas tim Fauzi-Prijanto lainnya di Jalan Diponegoro 63, Jakarta Pusat. Para petinggi partai pendukung pasangan ini berdatangan ke sana. Rentetan letusan petasan dan salawat badar pun terdengar ketika Fauzi—akrab dipanggil dengan Foke—datang pada Rabu petang.

Menurut hasil penghitungan cepat lembaga survei, suara untuk Fauzi berkisar 56-58 persen. Adang Daradjatun, yang hanya didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera, meraup 42-44 persen. Adapun total suara 20 partai pendukung Fauzi—dari partai besar seperti PDIP dan Golkar hingga partai kecil seperti Partai Merdeka—adalah 75,9 persen.

l l l

BERBAGAI hal dilakukan kubu Fauzi untuk menang. Menurut beberapa anggota tim, kubu mereka memiliki beban psikologis karena didukung 20 partai. ”Kami tak mau kalah oleh calon yang didukung hanya oleh satu partai,” kata seorang anggota tim.

Fauzi-Prijanto didukung partai besar seperti Golkar, PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrat. Selain itu juga oleh partai alit yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti Partai Merdeka, Partai Indonesia Baru, dan Partai Demokrasi Kebangsaan.

Untuk menyatukan partai yang beraneka warna itu, tim Fauzi tak jarang memakai idiom-idiom yang menjadikan PKS sebagai ”musuh bersama”. Mereka, misalnya, biasa bergurau: ”Coblos yang berkumis atau berjenggot selamanya.” Sebagian anggota PKS memang memelihara janggut.

Fauzi menggandeng Fortune PR, perusahaan konsultan komunikasi pimpinan Miranty Abidin, untuk ”menyatukan” 20 partai itu. Perusahaan inilah yang meramu slogan resmi pasangan Fauzi-Prijanto, ”Jakarta untuk Semua”. Perusahaan itu juga yang menggarap beberapa organisasi massa pendukung Fauzi, seperti Forkabi.

Hotline Advertising juga digandeng untuk memermak penampilan Fauzi Bowo. Perusahaan inilah yang menangani urusan kampanye Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2004. ”Kami bertanggung jawab untuk mengamankan citra Bang Fauzi,” kata Subiakto Priosoedarsono, Presiden Direktur Hotline, kepada Tempo (lihat Tukang Permak Dua Kandidat).

Sejak awal, Fauzi juga memakai Lingkaran Survei Indonesia pimpinan Denny J.A. sebagai konsultan. Lembaga ini memasang iklan hasil survei yang menunjukkan keunggulan Fauzi, beberapa hari menjelang pemungutan suara.

Kubu Fauzi kadang-kadang juga ”dibantu” perangkat desa. Di wilayah Jakarta Selatan, misalnya, sejumlah ketua dewan kelurahan menugasi ketua RT anggotanya supaya merekrut sukarelawan pendukung Fauzi. ”Setiap ketua RT diminta mengirim lima orang,” kata seorang ketua RT di Pasar Minggu.

Dana kampanye Fauzi-Prijanto pun berukuran jumbo. Menurut laporan mereka kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta, pasangan ini memakai Rp 46,8 miliar untuk kampanye. Jumlah ini separuh lebih sedikit dibandingkan dana yang dipakai pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk kampanye putaran pertama pemilihan presiden 2004, yaitu Rp 70,2 miliar.

Dengan berbagai usaha itu, Fauzi-Prijanto mengungguli Adang-Dani di semua 44 kecamatan se-DKI kecuali Tanah Abang. Ini adalah kecamatan tempat Dani Anwar bermukim.

l l l

BEBERAPA saat setelah kertas suara di berbagai tempat dihitung, para pendukung Adang tiba di rumah mantan Wakil Kapolri itu di Jalan Raya Cipete, Cilandak, Jakarta Selatan. Wajah mereka lesu. ”Kelurahan gua babak belur,” seorang relawan dari Gandaria Selatan berkata. ”Ternyata di sana basis Forkabi.”

Suara yang sama muncul dari rekannya. ”Jebol di TPS gua. Gua sampai diledekin sama anak-anak tanggung, ’Mana benderanya, Mas...?’ Capek deh,” ia menggerutu.

Semua orang di kubu Adang sibuk dengan telepon seluler masing-masing. ”Gimana Gandaria?” ”Gimana Marunda?” Satu demi satu laporan kekalahan masuk. Jaka Badranaya, juru bicara kelompok pendukung Adang, Relawan Oranye, sibuk menghibur kawan-kawannya.

”Tenang, kalau di TPS elu kalah 150 suara, itu sudah ketutup sama suara lebih di TPS Cipete,” katanya sambil mencoret-coret kertas, menghitung perkiraan perolehan suara. ”Nih, lihat, di TPS yang menang, selisih kita jauh di atas. Di TPS yang kalah, kita kalah tipis. Artinya suaranya nanti kalau ditotal bakal tipis.”

Kepala mereka semakin tertekuk ketika Metro TV mulai menyiarkan hasil penghitungan cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI). Wajah Adang terlihat tegang. Lima menit, sepuluh menit pertama, hasil perhitungan cepat terus berubah. Tapi persentase suara Adang tak pernah melebihi Fauzi. Saat jeda iklan, Adang masuk kamar.

Menjelang sore, layar datar televisi di rumah Adang berpindah saluran ke SCTV. Terlihat siaran hasil penghitungan cepat kubu PKS di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Rumah Adang meledak oleh sorak sorai karena menurut tim PKS posisi Adang-Foke adalah 50:50. ”Tuh bener kan!” kata kerabat Adang. ”LSI sudah dibeli,” kata yang lain. Yel-yel Adang kembali bergelora.

Namun, semakin malam, harapan menang semakin hilang. Menjelang magrib, Adang menyatakan tidak masalah jika kalah. ”Saya kan kawan sepermainan Bang Fauzi,” katanya.

Beberapa saat kemudian, Adang membisikkan sesuatu kepada Irfan Wahid, salah satu konsultannya. Seorang anggota tim sukses lalu mengambil pengeras suara dan mengumumkan: ”Mohon rumah disterilkan. Pak Adang akan beraktivitas bersama keluarga dan koleganya.” Perlahan-lahan rumah yang sibuk sejak subuh itu sepi.

Pada Kamis pagi, Adang mengaku kalah. ”Selamat kepada Fauzi Bowo yang telah mendapat kemenangan. Kami akan mendukung penuh program benahi Jakarta,” katanya dalam konferensi pers bersama Dani Anwar dan Ketua PKS Jakarta, Triwisaksana.

l l l

Beberapa anggota tim Fauzi menganggap persentase kemenangan kubunya jauh di bawah target. ”Dengan dukungan 20 partai, mestinya kami memperoleh 70 persen atau minimal 65 persen suara,” kata Bernard Siregar, wakil ketua tim kampanye dari Partai Damai Sejahtera, salah satu partai penyokong Fauzi.

Seorang anggota tim bahkan menyatakan hasil pemilihan menunjukkan kemenangan Fauzi dan PKS, bukan Fauzi beserta 20 partai pendukungnya. ”Mereka mengambil semua pemilih berayun (swing voters),” katanya. Fauzi Bowo pun mengakui selisih suara kemenangannya tidak cukup besar.

Kemenangan Fauzi disambut gembira Gubernur Sutiyoso. ”Saya senang karena yang menang wakil saya sendiri,” katanya. ”Saya kira, untuk melanjutkan pembangunan, sambil merem pun Fauzi jadi,” kata Sutiyoso. Malam larut, petinggi partai pendukung Fauzi bertepuk tangan.

Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Reza Maulana