Wednesday, August 15, 2007

Tan Malaka, Pejuang Kesepian

2007-08-15 08:14:00
Arfi Bambani Amri - detikcom
Jakarta - Anak-anak muda sekarang pasti tidak banyak yang mengenal nama Tan Malaka. Padahal jika dipelajari sejarahnya, tak kalah besar dari pahlawan legendaris Kuba, Che Guevara.

Tan Malaka lahir 2 Juni 1887 di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dengan nama Ibrahim. Setelah menghabiskan sekolah dasar dan menengah di Bukittinggi, Ibrahim kemudian mendapat gelar Datuk Tan Malaka sebagai tanda orang yang dituakan di kaumnya.

Tahun 1912, Tan Malaka yang kemudian hari mendirikan Partai Murba itu kemudian melanjutkan sekolah ke Belanda. Tan Malaka pun dikenang kawan-kawan sekolahnya di Harlem, Belanda, sebagai seorang yang cerdas.

Tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Pada awalnya Tan Malaka menjadi guru mengajar tulis menulis di sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara.

Di perkebunan itulah semangat radikal dan anti kolonialisme Tan Malaka bersemi. Ketimpangan nasib buruh perkebunan yang didominasi warga pribumi dengan tuan tanah yang warga asing menghibakan hatinya.

"Pergilah ia ke Yogyakarta menemui sahabatnya Ki Hadjar Dewantara. Mereka berdua berpikir bagaimana melakukan pendidikan kepada rakyat," ungkap Ketua Umum Partai Murba Hadidjojo Nitimihardja dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (14/8/2007).

Berdua Bapak Pendidikan Nasional itu, Tan Malaka membuat semacam proposal sekolah bagi pribumi. Rancangan sekolah itu dikirimkan ke berbagai tokoh-tokoh pribumi termasuk Semaun yang kemudian hari mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Semaun bilang Tan Malaka untuk pindah ke Semarang saja. Berangkatlah Tan Malaka ke Semarang untuk mendirikan sekolah rakyat bersama Semaun," kata Hadidjojo.

"Jadi awalnya Tan Malaka itu seorang pendidik, bukan politisi," imbuh Hadidjojo.

Ketika PKI berkongres 24-25 Desember 1921 di Semarang, Tan Malaka terpilih menjadi pimpinan partai. Sepak terjangnya mulai diperhatikan pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Tak butuh waktu lama, Januari 1922, Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Maret tahun yang sama, Tan Malaka diusir ke luar Indonesia.

Mulailah petualangan Tan Malaka dari satu negara ke negara lain. Dari Berlin (Jerman), Moskow (Uni Soviet), Belanda, Shanghai (Cina), Thailand, dan Filipina.

Tan Malaka ditunjuk Komunis Internasional (Komintern) untuk menjadi wakil khusus yang bertugas menjelaskan strategi-taktik Komintern ke berbagai negara termasuk Indonesia. Sebuah jabatan yang bahkan Bapak Revolusi Cina sendiri, Mao Tse Tung, tak pernah mendapatkannya.

Tahun 1925, keluarlah sebuah buku putih revolusi Indonesia yang ditulis Tan Malaka. Judulnya 'Naar de Republiek Indonesia' atau 'Menuju Republik Indonesia.

Dari judulnya saja sudah menunjukkan sikap politik Tan Malaka untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan mendirikan sebuah negara republik, negara yang bersendi pada kedaulatan rakyat.

"Kalau anda baca 'Naar de Republiek', lalu baca teks Indonesia Raya, anda bisa lihat benang merahnya. Wage Rudolf Supratman terinspirasi dari buku itu saat membuat 'Indonesia Raya'," jelas Hadidjojo.

Tahun 1926, pecahlah pemberontakan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda di berbagai daerah. Tan Malaka yang sedang berada di luar negeri menilai pemberontakan ini terlalu dini dikobarkan oleh PKI. Mulailah Tan
Malaka pecah dengan PKI.

Tahun 1927, Tan Malaka terang-terangan keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari). Komintern yang sebelumnya sudah gerah dengan Tan Malaka yang lunak terhadap gerakan Islam segera memecat Tan Malaka.

Sejak itu, mulailah Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh pemerintah kolonial Belanda tapi juga oleh mantan sekutunya di Komintern dan PKI. Tan Malaka seakan menjadi revolusioner yang sendirian, bersembunyi dan menyamar sembari terus menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, barulah Tan Malaka diperkirakan kembali ke Indonesia. Antara tahun 1942 sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itulah, sembari menyamar, Tan Malaka menyelesaikan magnum opus-nya 'Madilog' yang merupakan singkatan dari 'Materialisme, Dialektika dan Logika'.

Bahkan dikabarkan juga, beberapa tokoh muda yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok merupakan orang-orang suruhan Tan Malaka. Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok untuk didesak segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah proklamasi, sempat dikabarkan Tan Malaka bertemu dengan beberapa tokoh nasional termasuk Soekarno. Soekarno pun kabarnya sampai kaget bertemu dengan tokoh yang sudah menjadi legenda itu.

Namun proklamasi kemerdekaan itu belum cukup bagi Tan Malaka karena Belanda masih berusaha bercokol di luar Jawa dan Madura melalui jalur-jalur diplomasi. Kabinet saat itu yang dikuasai Sjahrir menerima diplomasi itu.

Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan yang digalangnya kemudian terus bergerilya menuntut kemerdekaan penuh. Bersama beberapa tokoh Persatuan Perjuangan, Tan Malaka dipenjarakan oleh Sjahrir.

Tahun 1948 pecahlah peristiwa Madiun yang menyeret PKI sebagai biang kekacauan. Tan Malaka dilepaskan dan kemudian pada 7 November 1948 mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).

Murba kemudian menjalankan Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi). Nah, Jenderal Sudirman merupakan salah satu orang yang sepakat melakukan gerilya ini untuk melawan invasi militer Belanda kedua.

Namun, perpecahan di tingkat elit politik membuat Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh Belanda tapi juga oleh militer Indonesia yang pro Sjahrir dan Hatta.

21 Februari 1949, Tan Malaka pun lenyap untuk selamanya di kaki gunung Wilis, Kediri. Tan Malaka tewas dalam kesendirian, tanpa nisan, tanpa kuburan yang layak. Tan Malaka, pejuang yang kesepian. (aba/bal)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/081414/idnews/817322/idkanal/10

No comments: