Monday, May 21, 2007

Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta

http://www.tempointeraktif.com/
Edisi. 13/XXXIIIIII/21 - 27 Mei 2007

Laporan Utama
Pejabat di Puncak, Banjir di JakartaDI BUKIT CITAMIANG, Puncak, mereka membangun pesanggrahan berstandar bintang lima: ada mantan pejabat, pengusaha dan—terbanyak—para jenderal. Investigasi Tempo menemukan, rumah-rumah rehat itu ditegakkan dengan menabrak aturan. Mereka abai bahwa kawasan ini memiliki peran amat istimewa untuk mencegah banjir di Jakarta. Jika dibiarkan, rusaknya Citamiang akan membuat banjir di Ibu Kota makin besar. Persoalan ini menjadi sangat penting di tengah hiruk-pikuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta Agustus nanti. Di pundak merekalah terletak beban untuk mengurangi tekanan banjir di Jakarta. Berikut ini hasil investigasi Tempo di bukit itu—di sana bungalow liar tumbuh menyebar bak bunga liar.
Jenderal Wiranto bukan penduduk Citamiang, sebuah dusun di Tugu Utara, tapi di kampung paling dingin yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, itu namanya populer gara-gara vila.
Vila Ragananda—seperti terpahat di dinding batu dekat gerbang masuk—sesungguhnya jauh dari permukiman. Bungalow itu hampir di puncak Citamiang, tujuh kilometer dari jalan raya Puncak ke arah kiri. Jalan masuk ke sana sudah dijaga sejak di kaki bukit. Tapi, nama mantan Panglima TNI ini sampai juga kepada warga desa. ”Itu mah vilanya Wiranto,” ujar Ujang, warga Bukit Cisuren, dua kilometer dari Citamiang.
Terletak di ketinggian 1.123 meter, ”vila Wiranto” alias Ragananda hanya salah satu rumah tetirah liar berkelas butik di Citamiang. ”Di sana juga ada vilanya Djaja Suparman,” Ujang memamerkan pengetahuannya tentang para pemilik bungalow yang dibangun di atas lahan 25 hektare itu.
”Ada Oetojo Oesman.”
”Ada Mantiri.”
”Ada Suryadi.”
”Ada King Yuwono.”
”Nah..., dulu di bawah Vila Wiranto ada Vila Sutiyoso.”
Ini belum seberapa. Hasil investigasi majalah ini mencatat, di seantero Tugu Utara ada 400-an vila liar. Mestinya, buldoser sudah mulai menggaruk ratusan bungalow itu pekan ini. Menurut Wakil Bupati Bogor, Albert Pribadi, ini titah Wakil Presiden Jusuf Kalla kepadanya dalam rapat koordinasi pascabanjir besar di Jakarta, Februari lalu.
Hingga tulisan ini diturunkan, belum satu pun dinding yang dirobohkan. Padahal, vila-vila itu jelas menabrak sejumlah aturan penting: berdiri di atas tanah negara dan didirikan tanpa surat izin mendirikan bangunan (IMB). Ini yang paling membikin pening: tempat peristirahatan itu menutupi tanah di sebuah wilayah di Puncak yang perannya amat istimewa terhadap Jakarta, Bogor, Depok, dan sekitarnya.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Cipta Karya, Kabupaten Bogor, Anwar Anggana, mengatakan, tanah di sana harus dibiarkan terbuka karena berfungsi sebagai spons penyerap air hujan. Tugas area ini meminum air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah, hingga hanya sedikit yang mengalir ke Ciliwung. Maka, mestinya bangunan apa pun haram ada di sana.
Gara-gara tanah makin kedap air oleh vila dan aksesorinya itulah, Februari lalu dari Citamiang, Cisuren, Baru Jeruk, Baru Kiara, dan Pasir Ipis—semua ada di Tugu Utara—air hujan deras membanjiri Jakarta dan sekitarnya. Bersama-sama dengan air hujan dari sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung, jumlah air yang menerjang Jakarta waktu itu sekitar 32 juta meter kubik.
Banjir itu mengakibatkan kerugian hampir Rp 10 triliun dan memaksa setengah juta warga mengungsi. Wilayah Jakarta yang tergenang pun jauh lebih luas ketimbang banjir-banjir sebelumnya.
Kisah Citamiang sebetulnya tidak baru. Vila Sutiyoso di bukit ini dilantak buldoser ketika banjir melanda Jakarta pada 2002. Pada saat itu, tuduhan juga mampir kepada Wiranto dan Djaja, yang sudah disebut-sebut memiliki vila di kawasan ini. Wiranto waktu itu membantah. ”Kalau memang saya punya vila liar, silakan bongkar saja,” ujarnya kepada Tempo. Sejak itu Citamiang mati suri.
Eh, pada 2005, vila Ragananda dibangun di sana. Citamiang kembali siuman. ”Jalan dan sejumlah vila mulai dibangun lagi di atas,” kata Ujang.
Bukan cuma Citamiang yang terasa lebih hidup karena ada Ragananda. Sepanjang April hingga awal Mei, Tempo berkali-kali menyambangi Tugu Utara. Pemandangannya serupa: deru mesin-mesin pengaduk semen, pemecah batu, mesin serut kayu, seperti berlomba dengan waktu. Vila-vila pun bertumbuhan di tempat-tempat terlarang itu.
Citamiang menjadi referensi vila liar di seantero kawasan Puncak. Ini bukit, bukan sembarang bukit. ”Dalam catatan saya, kini ada 12 vila di Citamiang,” kata Jajat Sudrajat, Kepala Desa Tugu Utara. Vila itu milik orang-orang top, sebagian besar dari kalangan militer. Catatan ini klop dengan dokumen vila liar di Citamiang yang diperoleh Tempo.
Selain menyebut Wiranto, dokumen pada Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor itu mencantumkan nama sejumlah petinggi negeri. Dari petinggi militer ada nama bekas Wakasad Letjen TNI (Purn) Suryadi, Pangkostrad Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman, bekas Pangdam Udayana Letjen TNI (Purn.) H.B.L. Mantiri, dan beberapa yang lainnya. Di antara birokrat, ada mantan Menteri Kehakiman Oetojo Usman. Dari kelompok pengusaha ada King Yuwono, pemilik King Plaza.
Perimeter kompleks ini di kaki bukit dijaga ketat orang sipil yang berlagak bak militer. ”Jangankan wartawan, anggota DPRD juga tidak bisa masuk,” kata Anwar Anggana. Tempo pun harus menyaru jadi apa pun agar bisa masuk ke kompleks itu: pernah menjadi mahasiswa, pura-pura berolahraga, pura-pura pacaran, atau masuk bersama orang kampung yang bekerja di sana.
Fotografer yang paling kesulitan jika harus menyamar. Foto yang baik sukar diperoleh dengan cara ini, terlebih lagi bungalow-bungalow itu berpagar tinggi. Akhirnya, Tempo memutuskan menerbangkan pemotret dengan trike (gantole bermotor) ke bukit itu.
Ternyata, di udara pun Citamiang terbentengi. Ada kabel jaringan tegangan tinggi yang berada di sekitar lokasi pemotretan. Dan ini bulan Mei. Hari-hari pada bulan ini hujan di kawasan Puncak selalu datang menjelang tengah hari. Jika tidak hujan, wilayah itu pasti mendung. Makin siang angin pun lebih kencang menuruni punggung bukit dengan arah ke bawah. Hanya pada jam 8 pagi cuaca memihak Tempo.
Foto harus didapat. Berbekal posisi masing-masing bungalow di Citamiang dari Google Earth yang dimasukkan ke dalam penentu lokasi berbasis satelit (GPS), pagi pada awal Mei itu Tempo terbang dengan trike dari landasan udara Lido Resort, Sukabumi. Penerbangan ini memakan waktu sejam. Amboi, Citamiang memang ciamik.
Kompleks Citamiang berpagar hutan pinus di sisi kiri, kanan, dan belakang. Di baliknya menghampar perkebunan teh Ciliwung. Bungalow itu resik-resik, dengan halaman sangat luas. Pemandangan ke lembah sangat lepas: ke Gunung Gede-Pangrango hingga Salak.
Dari udara jalan masuk ke kompleks itu terlihat kurang bermutu, tapi di balik portal, hotmix-nya licin. Di dalam kompleks, jalan utama bercabang satu, ke arah kiri, ke vila Djaja.
Ragananda berada di jalan utama, di sisi kanan, sendirian. Di kiri, berbaris tempat rehat Oetojo Oesman, Mantiri, dan King Yuwono. Raganandalah yang paling menonjol.
Bangunan tiga lantai seluas sekitar 400 meter persegi itu paling besar, paling tinggi di bukit ini. Dan, seperti dibanggakan penjaganya, Erman, kepada Tempo: ”Vila ini mempunyai pemandangan terbaik.”
Sejatinya, Citamiang tidak semewah ini jika bukan karena King Yuwono. Menurut Yudi Wiguna, anggota Badan Perwakilan Desa Tugu Utara, bukit milik negara ini awalnya kebun jomblangan (cadangan) pengelola kebun teh Ciliwung, PT Sumber Sari Bumi Pakuan. Karena tak terurus, pada 1975 ratusan eks karyawan Ciliwung dan warga Tugu Utara mulai menggarap bukit itu. Sejak 1985, satu per satu lahan itu dioper garap—istilah warga setempat untuk menjual hak garap lahan—kepada masyarakat di luar Tugu Utara.
Pada 1988, King Yuwono dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo, membeli hak garap bukit itu dari warga. Mereka urunan membeli seluruh bukit seluas 25 hektare seharga Rp 500 juta, berarti Rp 2.000 per meter persegi. ”Waktu itu pembebasan lahan dibantu warga setempat, Abot,” kata King kepada Tempo (lihat One Stop Shopping ala Biong).
Keterlibatan Gubernur DKI Jakarta periode 1977-1982 ini diungkapkan King Yuwono dan Yoyo Mahmud Gunawihana, 70 tahun, mantan Ketua Serikat Pekerja Perkebunan Ciliwung yang kini menjadi Kepala Dusun II Tugu Utara. ”Ayah saya memang pernah mendengar soal itu,” kata Tommy Tjokro mengutip Tjokro Suprijadi, putra kedua Tjokropranolo, ketika dimintai konfirmasi tentang soal itu.
Cita-cita King dan Tjokro datang ke bukit ini setinggi bintang. Mereka ingin di sana berdiri tempat tetirah kelas bintang lima yang ramah lingkungan. Bukit itu pun ditata ini dengan ketat. Aturan seperti rasio luas bangunan di banding luas tanah tak boleh melenceng sedikit pun dari angka tiga persen. ”Inginnya sih jadi vila percontohan untuk wilayah di sekitarnya,” ujarnya.
Ternyata ini tak mudah. Belum semua bungalow berdiri, bukit itu dihujat menyalahi peruntukan. Menurut Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 tentang Rencana Umum Tata Ruang Puncak, bukit ini memang harus steril dari bangunan. Tapi, kata King, ia tak bermaksud melanggar ini. ”Pemerintahlah yang justru tidak pernah memberikan aturan yang jelas, mana yang boleh, mana yang tidak,” ujarnya. Jadi, ”Izinnya sama Tuhan.”
Halangan juga datang dari dalam bukit. Ragananda, misalnya, dibangun kelewat lebar dibanding luas kavling tanahnya. Toh ia tak bisa membatalkan pembangunan Ragananda. ”Jadi, kavling saya harus dikurangi untuk menyeimbangkan perbandingan luas bangunan Ragananda dan luas lahannya,” kata pemilik dua vila di bukit itu.
King mengaku, ia menata bukit ini dengan ketat karena lahan itu tidak hanya untuk dirinya. Ia membeli bukit itu karena pesanan para petinggi militer. Maka, setelah bukit itu siap dibangun, ia pun menghadiahkan kavling-kavling tersebut kepada para pemesannya. Benarkah?
Wiranto mengatakan, ia membeli tanah itu langsung dari PT Sumber Sari Bumi Pakuan, pengelola kebun teh Ciliwung, pada 9 Maret 1999. ”Tadinya akan digunakan untuk kebun bunga,” ujar Wiranto yang menjawab pertanyaan Tempo via faksimile.
Lantaran lokasinya sulit, ia mengurungkan niat itu. Sejak Mei 2006, tanah tersebut bukan miliknya lagi. ”Sudah saya pindahkan haknya pada pihak lain lewat akta perjanjian,” ujarnya. Vila itu pun, dengan demikian, bukan miliknya lagi. Lantas, milik siapa?
Cerita datang dari Abot—nama sesungguhnya Elit Wijaya. Abot mengaku pernah bertemu dengan Wiranto pada 2004. ”Saya bertemu dua kali,” ujarnya, ”Tapi seingat saya pembangunan vila itu dibiayai oleh Mulyono,” katanya. Ia tak tahu siapa Mulyono.
Wiranto pun masih ke Ragananda. Saat Tempo mengunjungi vila Ragananda pada 7 Mei lalu, Rugaiya Usman, istri Wiranto, sedang menginap di sana. Tempo melihat mobil Toyota Alphard B-512-UN warna perak terparkir di halaman vila. ”Itu mobil ibu Uga,” kata Ecih perempuan baya penjaga vila Ragananda.
Ecih mengatakan, selain Rugaiya, Wiranto juga kerap menginap di Ragananda. ”Bulan puasa lalu bapak sering datang ke sini,” katanya. Apa kata pemilik vila lainnya?
Mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman mengaku membeli hak garap tanah di Citamiang dari Yurianti Wijaya, pemilik PT Sumber Sari Bumi Pakuan. Ia membeli tanah seluas 5.000 meter persegi itu sekitar tahun 2000. ”Harga persisnya lupa, tapi kurang sedikit dari Rp 100 juta,” ujarnya.
Di atas lahan itu, menurut Oetojo, ia mendirikan bangunannya dua tingkat dengan luas total 234 meter persegi. ”IMB-nya masih dalam proses,” ujarnya.
Mantiri juga mengaku tanah itu bukan pemberian. ”Saya membeli waktu saya masih dinas aktif, sekitar 1990-an,” ujar bekas Pangdam Udayana. Cuma Djaja yang menjawab lain. Ketika ditemui Tempo, mantan Pangkostrad ini menjawab singkat: ”Tidak tahu.”
Bekas Wakil KSAD, Suryadi, mengaku menerima vila itu dari tangan King Yuwono. Tapi, sudah tiga tahun dia tidak pernah ke sana. ”Sejak diributkan saya malas ke sana,” katanya. Vila berkamar dua itu pun sudah dimakan rayap, namun Suryadi mengaku enggan memperbaikinya. Yang dilakukannya hanya membayar listrik dan menggaji penjaganya setiap bulan.

Tugu Utara bukan satu-satunya desa yang menjadi benteng banjir terakhir Jakarta di kawasan Puncak yang radang oleh vila liar. Spons air itu terbentang di sepanjang perbatasan dengan perkebunan teh Ciliwung dan Gunung Mas, mencakup Desa Tugu Utara, Tugu Selatan, hingga Cibeureum. Tapi, dari 10 desa di Kecamatan Cisarua, kawasan Tugu Utaralah yang paling subur ditumbuhi vila liar. Pada 2003, di wilayah ini baru ada 100 vila liar, kini jumlahnya di atas 400. Peringkat kedua di pegang Tugu Selatan, dengan 200-an vila.
Di Tugu Utara, kebanyakan vila berdiri di lahan negara eks perkebunan teh Ciliwung yang hilang saat Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan itu diperbarui pada tahun 2000. Jumlahnya sekitar 200-an hektare. ”Tanah ini yang diperjualbelikan dan jadi vila,” ujar Ali Maskur, Administratur Perkebunan Ciliwung. Kini, ”Hampir semua lahan eks perkebunan garapan rakyat ini telah dimiliki orang Jakarta,” katanya.
Lain desa, beda kebun, sama ceritanya. Di Tugu Selatan, yang terpisah oleh jalan raya Puncak dari perkebunan Ciliwung, vila liar juga berada di lahan bekas perkebunan teh Gunung Mas. ”Kami kehilangan 600 hektare dalam 10 tahun terakhir,” kata Rachmat Supriadi, Administratur Perkebunan Gunung Mas. Ini sepertiga dari luas lahan perkebunan itu yang mencapai 1.700 hektare. Sama seperti di Ciliwung, di lahan eks Gunung Mas itu juga jadi vila orang Jakarta.
Semua itu gara-gara biong—ini istilah buat makelar yang memperantarai petani penggarap dengan kalangan berduit yang ingin memiliki vila. Mereka bahkan menyediakan layanan one stop shopping mulai dari jual-beli sampai menyediakan penjaga. Namun, Tempo menemukan, biong bisa sugih karena aturan main tata ruang di kawasan ini amburadul.
Pangkal sengkarut itu adalah bisnis jual-beli tanah garapan milik negara yang menggiurkan. Ini pula yang membuat Haji Teteng, biong tersohor di Gunung Mas, menekuni bisnis ini. ”Bisnis ini sifatnya spekulatif saja,” ujarnya. Dengan cara ini mereka bahkan bisa membeli tanah milik di tempat lain. Soalnya, tanah negara ini dihargai tinggi. ”Bisa Rp 150 ribu per meter,” ujar Cecep, warga Tugu Utara.
Menjual tanah negara ini tidak sulit, cukup berbekal surat garapan atau oper garapan dari kepala desa. ”Di sini masyarakat dan aparat desa bisa ’bermain’,” ujar Sambas Basuni, ahli kawasan konservasi Puncak di Institut Pertanian Bogor
Haji Teteng membenarkan sinyalemen Sambas. Oper lahan garapan—arti sejatinya jual-beli—melibatkan RT, RW, kepala desa, pihak perkebunan, dan kadang-kadang notaris. Tak jelas berapa para kepala desa menerima uang pelicin agar mau mengesahkan oper garapan. Namun, jikapun penggarap harus mengeluarkan uang pelicin, keuntungan masih membuncah. Sebagian karena tanah itu didapat dengan merampasnya dari perkebunan.
Inilah itung-itungannya. Di lahan eks Gunung Mas, tanah garapan dijual Rp 2.500 sampai Rp 100 ribu per meter persegi, tergantung panoramanya. Jika tanah itu diperoleh dengan menjarah kebun, modalnya Rp 75 ribu per 400 meter persegi. Jika dijual dengan harga paling murah pun (Rp 2.500) dan sudah dipotong di sana-sini, masih ada untung setengah juta rupiah. Mengapa pembeli berani mengambil tanah itu?
Menurut Teteng, para pembeli lahan itu sejak awal juga sadar sedang berspekulasi. ”Siapa tahu nantinya surat dan IMB untuk menjadi vila bisa diurus,” katanya. Atau, siapa tahu perizinan ini bisa dicurangi. Kalau gagal, mereka sudah siap kehilangan tanah dan duit yang sudah telanjur diinvestasikan di sana.
Sebagian dari mereka toh berhasil mengakali birokrasi. Salah satu modusnya adalah dengan memasukkan izin pembangunan vila di lokasi permukiman. Setelah surat kelar, lokasi digeser ke tempat yang diinginkan (lihat pula Noktah Bernama Vila Kinta).
Jika lahan bakal vila memang berada di lokasi permukiman, izin IMB lebih gampang diakali. Dinas Cipta Karya Bogor memberikan kemudahan mendapatkan IMB untuk bangunan yang berdiri sebelum 1996. Pemilik vila bisa kongkalikong dengan lurah, untuk membuat surat keterangan palsu tentang usia bangunan.
Ada pula pemilik yang nekat: memalsukan IMB vila, bekerja sama dengan oknum pegawai Dinas Cipta Karya. ”Tahun 2002 ada empat pegawai Cipta Karya yang dipecat karena ketahuan memalsu surat ini,” ujar sumber Tempo di Cipta Karya.
Jika izin tak kunjung didapat? Teteng dengan enteng mengatakan, vila tetap bisa didirikan. ”Paling ada uang rokok untuk petugas yang datang ke lokasi,” ujarnya. Nah!

Jakarta 2013. Profesor The Houw Liong, ahli cuaca pada Departemen Fisika ITB, menengarai pada tahun itu Jakarta bisa direndam bah hebat. Saat itu panas matahari berada pada puncaknya, mengikuti siklus 11 tahunan. Jadi, matahari akan mengantarkan lebih banyak air laut ke atas kawasan Puncak.
Hujan di kawasan Puncak pun lebih lebat dari biasanya. Perlu tanah yang lebih luas agar air itu tak banyak tumpah ke Ciliwung. Jika tidak, ujar The pada awal tahun, ”Bisa terjadi banjir besar seperti pada 2002, bahkan bisa lebih hebat.” Apakah ”orang-orang Citamiang” masih perlu disebut pada 2013?

Sunday, May 20, 2007

Bung Karno Vs Tiga Besar (3)

Bung Karno Vs Tiga Besar (3)

Budiaro Shambazy
Saat membacakan Proklamasi, usia Bung Karno (BK) 44 tahun, lebih tua setahun dari Mohamad Hatta. Orang yang dituakan BK tinggal sedikit, misalnya Haji Agus Salim (61), Ki Hajar Dewantara (56), atau Tan Malaka (48).Panglima Besar Jenderal Sudirman 15 tahun lebih muda, Wakil Panglima Besar Kolonel AH Nasution 17 tahun di bawahnya. Ketika menulis Indonesia Menggugat, BK baru 27 tahun—Pak Nas masih remaja.Perbedaan usia BK yang berkuasa selama 20 tahun dengan pemimpin parpol/TNI makin tahun makin kentara. Dalam bahasa Belanda ia diledek sebagai ouwe heer alias Pak Tua.BK kesepian waktu Bung Hatta mundur dari jabatan wapres tahun 1956. Ia sibuk dengan “Konsepsi”, habis-habisan menjaga demokrasi parlementer, dirundung pemberontakan, mau dibunuh, sampai memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Ia tokoh sentral yang belum tertandingi siapa pun. BK praktis jadi pemerintah yang tak berhenti gelisah barang sedetik pun.Ia makin jarang berkunjung ke daerah, tetapi sering ke luar negeri untuk kunjungan kerja maupun pribadi. Ia mengenakan seragam lengkap dengan deretan tanda jasa di dada untuk mengingatkan TNI ia-lah sang pangti.Dalam waktu 20 tahun ia menerima 26 gelar doktor kehormatan. Buku-buku yang dilahapnya berserakan di kamar tidur, toilet, ruang tamu, atau di meja makan.BK memiliki semuanya, kecuali uang. Anda pasti tak percaya sebagian duit membangun rumah di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, berasal dari utang.Semua orang datang tak henti meminta bertemu dia. Jam tidur dia hanya 3-4 jam sehari dan itu pun sering terganggu karena ia “turba” (turun ke bawah) melihat kehidupan rakyat tanpa pengawal dengan VW Kodok warna hijau kesayangannya.Mungkin idealnya BK mengakhiri karier politiknya saat memasuki usia 60 tahun. Mungkin Pak Amien Rais benar saat menyarankan usia capres pada pilpres tahun 2009 maksimal 60 tahun.Tetapi, siapa pula yang bisa mengatur napas politik BK? Dalam periode 1960-1965 itulah BK justru menjalani tahun-tahun yang paling menentukan masa depan politiknya.Jumlah penduduk Indonesia sekitar 100 juta. Kehidupan ekonomi memprihatinkan, antara lain karena pemberontakan PRRI/Permesta, politik konfrontasi terhadap Malaysia, dan perang merebut Irian Barat dari tangan Belanda.Rencana Pembangunan Nasional tahap ketiga yang bertujuan Indonesia tinggal landas masuk tahap industrialisasi tak berjalan meski BK memimpin Kabinet Kerja I sampai IV (1959-1964). Di saat yang sama BK menjalankan politik luar negeri yang ambisius dengan menyelenggarakan Asian Games (1962), Ganefo (1963), dan membentuk Conefo (1965).Lebih dari itu, BK direcoki lawan-lawan politiknya di luar maupun dalam negeri. Ia masih jadi sasaran pembunuhan, sering digosipkan mau dikudeta lalu diasingkan ke China, dirumorkan sakit keras, bahkan mau kabur ke luar negeri.Pada saat yang sama kepemimpinan BK makin tak kenal ampun, termasuk memenjarakan rekan-rekan seperjuangan sendiri. Lima tahun sejak 1960 ia makin sering mengangkat sekaligus memecat orang, termasuk mereka yang tergabung dalam “Kabinet 100 Menteri”.BK disanjung-sanjung dengan gelar-gelar kosong, seperti “Penyambung Lidah Rakyat”, “Presiden Seumur Hidup”, atau “Pemimpin Besar Revolusi”. Ia memaksa orang menari “lenso”, menangkap Koes Bersaudara yang memainkan musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles, atau dipuja-puji lewat lagu Oentoek Paduka Jang Mulia yang dinyanyikan Lilis Suryani.Ia terperangkap ke dalam slogan-slogan karangan dia sendiri, seperti “Manipol-Usdek”, “Tahun Vivere Peri Koloso”, atau “Panca Azimat Revolusi”. Ia terlalu sering mengelu-elukan Menpangad Letjen Achmad Yani atau Ketua Umum PKI DN Aidit jadi “putra mahkota” pengganti resmi.Kekuatan Tiga Besar dalam negeri yang dihadapi BK terangkum lewat Nasakom yang menurut dia merupakan “jiwaku”. BK menegaskan yang menghalangi Nasakom akan disingkirkan karena masuk kategori “kepala batu”.BK menjaga jarak dengan PNI untuk unjuk diri sebagai “bapak” penaung semua aliran. Makin tahun ia makin memanjakan PKI dan membiarkan mereka berkali-kali mengganggu kalangan beragama, misalnya lewat isu land reform atau kampanye anti-Tuhan.Meski sering bertikai secara terbuka, BK tak beda prinsip dengan kelompok nasionalis lainnya, TNI. Mereka sejalan dalam menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, perang pembebasan Irian Barat, dan politik konfrontasi.Namun, pertentangan BK-Pak Nas sejak 1950-an jadi faktor dominan yang ikut memengaruhi pecahnya G30S tahun 1965. Pangti ouwe heer yang berumur 64 tahun berhadapan dengan sesepuh TNI AD yang baru berusia 46 tahun pas tahun 1965.Kedua-duanya sama-sama berjuang dari bawah dan selama jadi pejabat publik menerapkan pola hidup sederhana. Pak Nas pembawa panji Orde Baru yang setengah hati, BK kalah dan terkurung sampai meninggal dunia.BK sering mengatakan, “Revolusi akan memakan anaknya sendiri”. Pada detik-detik terakhir ia bisa saja melancarkan serangan balik, tetapi untuk apa kalau cuma memecah belah bangsanya sendiri?Tahun 1965 itulah akhir dari “Drama Indonesia Jilid Pertama”. Mereka yang memujanya mungkin lebih banyak daripada yang membencinya, tetapi tak ada yang tak setuju bahwa BK jadi bintang utamanya.Bagaimana dengan “Drama Indonesia Jilid Kedua”? Tunggu tanggal mainnya.

Bung Karno Vs Tiga Besar (2)

Bung Karno Vs Tiga Besar (2)
Oleh Budiarto Shambazy
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/12/utama/3499392.htm===========================
Bung Karno percaya hubungan pribadi antarpemimpin berpengaruh padapergaulan internasional. Ia pelopor Konferensi Asia-Afrika 1955 danmerasa jadi duta Gerakan Nonblok menghadapi Presiden AS DwightEisenhower (1953-1961), Sekjen PKUS Nikita Khrushchev (1953-1964), danKetua PKC Mao Zedong (1945-1976).
Setahun setelah KAA, ia diundang Eisenhower ke AS, September 1956.Setelah itu bertemu Mao di Beijing serta Khrushchev di Moskwa.
Bung Karno (BK) marah ditelantarkan 10 menit sebelum diterimaEisenhower. Hubungan mereka buruk karena Eisenhower mendukungpemberontakan PRRI/Permesta dan memerintahkan CIA membunuh BK.
Hubungan pribadi BK dengan Mao atau Khrushchev hanyalah basa-basi. Maomalah sering mengundang Ketua Umum PKI DN Aidit ke Beijing, Khrushchevlebih tertarik menumpahkan senjata untuk TNI.
Setelah PRRI/Permesta, hubungan BK-Presiden John F Kennedy (1961-1963)amat akrab. Waktu di Washington DC tahun 1961, BK merasa cocok denganJFK—beda dengan Eisenhower yang dianggap contoh ideal “the ugly America”.
JFK menghadiahi BK sebuah heli Sikorsky. Mereka bergosip tentang sexbomb seperti Gina Lollobrigida walau JFK sempat tersinggung saat BKmenawari Jacqueline Kennedy berkunjung sendirian ke RI.
Tiga Besar enggan kehilangan RI karena nilai strategisnya sama denganIndochina. Asumsi JFK, kehadiran pangkalan komunis di Jawa-Sumateramelemahkan kekuatan pakta militer SEATO (Southeast Asia TreatyOrganization).
RI yang pro-Soviet atau China akan mengisolir Australia-Selandia Barudari pengawasan Barat. Soviet dan China mengincar RI lewat strategi“Lompat Katak”: lebih mudah mengomuniskan Daratan Asia Tenggara jikaRI ada di bawah pengaruh satelit mereka.
Siapa pun yang menguasai RI mengontrol Samudra India dan Pasifik. RIibarat kolam renang besar dengan air susu yang digemari tua-muda.
Hubungan China-Soviet terganggu setelah Khrushchev menyepakatipeaceful coexitence dengan AS. Mao tersinggung kepada BK yang mengusirwarga stateless China tahun 1959-1960.
Sebagian dari senjata Soviet yang komitmennya akan mencapai lebih darisemiliar dollar AS merupakan sejumlah rudal darat-ke-darat yangbernama Kuba. Peralatan militer dari Soviet itulah yang digunakan TNIuntuk menyerbu ke Semenanjung Malaysia saat puncak Konfrontasi tahun 1964.
China tak mau kalah. Mao berjanji mengalihkan teknologi senjata nuklirjika China diizinkan melakukan uji coba senjata nuklir di bawah lautdi wilayah perairan sekitar Irian Barat atau di sekitar Pulau Mentawai.
Giliran JFK yang tak mau ketinggalan langkah. Lewat program Atom forPeace, ia meminjamkan 2,3 kg uranium untuk pengembangan reaktor nuklirmilik ITB di Bandung. Pada tahun 1965 reaktor yang bertujuan damai itusudah operasional sampai 25 persen.
JFK bermaksud BK boleh mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuanperdamaian. Reaktor itu secara rutin diperiksa IAEA, tetapi BKditengarai mempunyai agenda tersembunyi ingin menjadikan RI goingnuclear alias menjadi negara bersenjata nuklir.
Sejak 1964, BK rajin menyuplai berbagai jenis senjata ke sejumlahnegara Afrika yang memerangi rezim-rezim antek bekas negara-negarapenjajah. Di daerah Kemayoran ada Jalan Patrice Lumumba, PM Kongo yangjuga pejuang antikolonialisme Belgia yang dikudeta rekannya sendiritahun 1960.
BK mengundang latihan serdadu yang datang dari Korea Utara, Vietcong(Vietnam Utara), maupun Laos yang beruntung mendapatkan keahliantempur dari TNI. Pilot-pilot dari Kamboja dan Burma berlatihmenerbangkan pesawat tempur buatan Soviet, MiG-17, di sini.
Tahun 1965 RI menyuplai berbagai jenis MiG dan kapal-kapal peranguntuk Pakistan yang ketika itu terlibat perang melawan India. BKmemilih Pakistan karena ia berencana merekrut negeri Islam itu untukbergabung ke poros Jakarta-Hanoi-Beijing-Pyongyang.
Nah, satu-satunya pemimpin Barat yang prihatin menyaksikan BK danselalu mengulurkan tangan adalah JFK. Ia beberapa kali menekan Inggrisuntuk mengalah dari BK, terutama dalam soal rencana Inggris mendirikanpangkalan militer di Singapura.
JFK berkali-kali “menginjak kaki” Belanda dalam perundingan mengenaiIrian Barat. Bekas penjajah ini sejak 1945 jadi “tukang nébéng” yangtak rela meninggalkan RI yang kaya raya.
Dua bekas jajahan Inggris, Malaysia dan Singapura, sejak dulu mauambil untung dari RI. Seperti kata pepatah, “Rumput tetangga lebihhijau daripada rumput sendiri”.
Setelah JFK tewas, Presiden Lyndon Johnson (1963-1969) melonggarkankomitmen. Ia mengurangi keterlibatan karena berbagai alasan, terutamasukarnya menghindari risiko RI jadi komunis.
Ilmuwan Guy Paker dan Henry Brands dan mantan Kepala Stasiun CIA diJakarta Hugh Tovar membantah AS mendalangi peristiwa G30S. Walausenang PKI ditumpas, mereka kaget Orde Baru membantai ratusan ribukorban tak bersalah.
Bulu kuduk media massa AS merinding melihat amok massa itu. Partaikomunis, sosialis, dan liberal di AS idem ditto.
BK memikul beban berat mengatur bangsa yang perangainya unmanageableini. Andai ia yakin pada demokrasi dan keberagaman, dua ciri utamakedua bangsa, nasib dia bisa berbeda.
Telah terbukti AS sekutu demokratis yang terbaik, bahkan dalammenghadapi musuh-musuh dalam selimut yang masih berkeliaran. Pelajaranterpenting: tak perlu tiap sebentar histeris meneriakkan slogananti-Amerika.

Bung Karno Vs Tiga Besar

Bung Karno Vs Tiga Besar (1)

Pada awal 1960-an minyak mencakup seperempat dari total ekspor RI. Industri ini didominasi multinational corporation atau MNC yang menanam modal 400 juta dollar AS dan diperkirakan melonjak ke satu miliar dollar AS tahun 1965.
Caltex Amerika Serikat (AS) menguasai 85 persen ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 persen. Tahun 1963 total ekspor RI 94 juta barrel per tahun atau 1,7 persen dari konsumsi dunia.
Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang per tahunnya 43 juta barrel—sementara Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar adalah AS, Jepang, dan Australia.
Sejak tahun 1951, Bung Karno (BK) membekukan konsesi bagi MNC dan memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960. UU ini menegaskan, "Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara."
Sejak merdeka, MNC berpegang pada "let alone agreement". Cara ini menghindari nasionalisasi, namun juga mewajibkan MNC mempekerjakan tenaga lokal lebih banyak lagi.
Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun dan produksi terhambat. "Tiga Besar" (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi ulang.
BK menjawab, kalau MNC menolak UU No 44/1960, ia akan jual konsesi ke Jepang. Maret 1963 BK mengatakan, "Saya berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan saya akan batalkan seluruh kontrak lama jika Tuan-tuan tak mau terima tuntutan saya."
Apa tuntutan BK? Ia minta Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina. Surplus produksi yang dihasilkan Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri dan hasilnya diserahkan ke RI.
Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex juga menyediakan valuta asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang dibutuhkan Permina.
Masih kurang, BK menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri. Formula pembagian laba 60 persen untuk RI dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex dihitung dalam rupiah.
Karuan saja Caltex panik dan minta bantuan Presiden John F Kennedy. Mereka menilai tuntutan BK tak masuk akal dan bisa membuat Caltex bangkrut.
Tadinya Washington DC menganggap BK gertak sambal. Namun, waktu Presiden China Liu Shaoqi dan menteri Uni Soviet datang ke Jakarta membahas penjualan konsesi, mereka sadar BK tak main-main.
Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones pusing. "Jika Tiga Besar keluar, AS tak punya pilihan kecuali membatalkan bantuan ekonomi. Jangan mengancam, BK tak bisa ditekan," lapor Jones ke Kennedy.
Saat itu RI baru mau ikut program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy. Sehari setelah penandatanganan paket itu, BK menerbitkan "Regulasi 18" yang isinya tuntutan resmi dia.
BK tak mau paket stabilisasi dikaitkan dengan Regulasi 18. Kennedy ketar-ketir dan segera mengirimkan utusan khusus, Wilson Wyatt, ke Tokyo, "mencegat" BK yang berada di Jepang.
Lewat negosiasi alot, BK dan Wyatt menyepakati sistem "kontrak karya" yang disahkan DPR, 25 September 1963. Intinya, RI memiliki kedaulatan atas kekayaan migas sampai ke tempat penjualan (point of sale).
MNC cuma kontraktor: Stanvac untuk Permina, Caltex untuk Pertamin, dan Shell untuk Permigan. Jangka waktu dan area konsesi dibatasi dibandingkan dengan kontrak-kontrak lama.
MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu.
MNC mau menerima karena yang penting batal kehilangan konsesi. Kennedy dan Kongres langsung menyetujui paket stabilisasi IMF, yang oleh BK diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Nasional (RPN) Ketiga yang berlaku delapan tahun (1961).
Tahap pertama RPN mencapai swasembada sandang-pangan, tahap kedua memulai industrialisasi. Jangan-jangan RPN jauh lebih baik dibandingkan dengan Repelita.
Bandingkan kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde Baru yang justru antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan RI sebagai pemilik, MNC kontraktor.
Namun, pada praktiknya MNC yang mengontrol ladang yang mendatangkan laba berlipat ganda—mirip kolonialisme. PSA pernikahan ideal antara kontrak bagi hasil yang seolah menempatkan RI jadi majikan dan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang profit oriented.
RI seakan pegang kendali, padahal MNC-lah yang punya kedaulatan. "Klausul stabilisasi" PSA mengatakan UU RI tak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dan tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi—yang berlaku hukum internasional yang tak kenal kepentingan nasional.
"Cerita sukses" PSA ini yang dipakai MNC untuk menguras minyak Irak. Ironisnya BK malah dikagumi presiden yang bukan orang sini: Evo Morales.
Populasi 100 juta, 70 persen di desa dan lebih dari 50 persen GNP berasal dari pertanian—dari industri 15 persen. Utang luar negeri 2,5 miliar dollar AS walau inflasi membengkak akibat PRRI/Permesta, Konfrontasi, dan pembebasan Irian Barat.
Tingkat melék huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Sukses BK lainnya yang sering disebut orang luar negeri adalah membenahi pendidikan karena kualitas kurikulum membuat generasi muda siap bersaing di tingkat internasional.
Nah, ada pertanyaan?
Sumber:http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/05/utama/3492019.htm