Saturday, July 07, 2007

Bocah-bocah yang Membiayai Sendiri Pendidikannya

Liputan6.com, Polewali: Kemiskinan yang melanda negeri ini membuat sejumlah anak terpaksa membiayai sendiri sekolahnya. Di Desa Dharma, Polewali, Sulawesi Barat, misalnya. Beberapa anak terlihat sibuk bekerja mengumpulkan batu di tepi Sungai Andreapi untuk melawan kesulitan ekonomi yang menghimpit hidup mereka.

Dari pengamatan SCTV belum lama ini, pekerjaan tersebut biasanya dilakukan secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari sedikitnya lima anak. Setiap kubik batu yang terkumpul, akan dijual seharga Rp 75 ribu. Pendapatan setiap anak sekitar Rp 10 ribu. Sebagian anak yang masih sekolah, memanfaatkan penghasilannya untuk membiayai sekolah

Anak-anak itu rela kehilangan waktu bermain dan belajar demi membantu orang tuanya. Pekerjaan ini dilakukan seusai waktu sekolah atau saat liburan.

Mereka yang bekerja sebagai pengumpul batu memang berasal dari keluarga miskin. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang merupakan anak putus sekolah. Di usianya yang belia, anak-anak ini harus menanggung beban hidup yang tidak seharusnya mereka tanggung. Membiayai sekolah dengan keringat sendiri adalah suatu kenyataan yang mereka jalani.

Nasib tak jauh berbeda dialami Heru Andriyanto. Pelajar kelas dua sebuah sekolah dasar di Semarang, Jawa Tengah, ini bekerja sebagai pemain kuda lumping. Liburan seharusnya dimanfaatkan anak-anak sekolah melepas lelah dari rutinitas belajar, tapi itu tidak berlaku bagi Heru. Baginya hari libur adalah waktu untuk mengais rezeki.

Setelah mempersiapkan segala peralatan, Heru meninggalkan rumahnya untuk mengamen bersama kelompok kuda lumping. Dengan menggunakan becak dan sepeda, mereka menyusuri jalan-jalan di Semarang menuju kawasan Pekunden. Di tempat ini, bocah-bocah tersebut memulai atraksi. Mereka membuka dengan permainan gamelan untuk mengundang penonton.

Saat penonton cukup ramai, Heru beraksi menghibur. Sebagai pemain kuda lumping, tubuh mungil Heru kadang dilecut dengan cambuk. Sementara bocah tujuh tahun ini menari, Ceming, rekan satu permainannya berkeliling mengumpulkan uang pemberian penonton. Pendapatan inilah yang digunakan Heru membayar berbagai keperluan sekolah.

Penghasilan yang diterima Heru memang tidak banyak. Dari hasil empat sampai kali pementasan dalam sehari, setiap pemain mendapat bagian Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu.

Kendati mengamen merampas hari liburnya, Heru mengaku senang karena dapat menutup sebagian keperluan pendidikan dari hasil kerja kerasnya. Prestasi Heru di sekolah juga tidak mengecewakan. Ia menduduki peringkat dua di kelas.(RMA/Tim Liputan 6 SCTV)

Komentar:
Miris membaca cerita ini!!

Tidak Diterima Sekolah karena Cacat

Liputan6.com, Palangkaraya: Lulus seleksi penerimaan siswa baru ternyata tidak menjamin peserta dapat belajar di sekolah yang diidamkannya. Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Dwi Juli, bocah lulusan sekolah dasar ditolak masuk ke sebuah sekolah menengah pertama bukan karena tak lulus ujian tapi salah satu tangannya cacat.

Keputusan ini disampaikan utusan SMPN 2 saat menemui orangtua Dwi. Mereka meminta orangtua Dwi menandatangani surat pengunduran diri anaknya. "Menyuruh anak saya mengundurkan diri dikarenakan anak cacat," kata Samsul, ayah Dwi. Namun Dinas pendidikan setempat bersikeras Dwi tidak diterima semata karena tak lulus seleksi.

SMPN 2 adalah salah satu sekolah favorit di Palangkaraya. Wajar apabila Dwi ingin belajar di sekolah tersebut. Namun kini hasrat Dwi untuk duduk di bangku SMPN 2 sudah hilang. Bahkan jika pihak SMPN 2 mau menerimanya. "Yang ada dihina lagi," kata bocah ini. Kini, Dwi sudah diterima di SMPN 3 Palangkaraya.(JUM/Ririen Binti)


Komentar:
Siapa sih yang ingin dilahirkan kedunia dalam keadaan lain?
Kita dilahirkan sebagai laki-laki,perempuan,di Indonesia bukan kemauan kita.
Aneh kenapa harus di tolak?

Warga Mengecam Kepergian Anggota DPRD Jatim

Liputan6.com, Surabaya: Kunjungan kerja anggota Komisi A DPRD Jawa Timur ke Belanda untuk mencari data hari jadi Propinsi Jatim mendapat kecaman keras dari warga. Mereka menganggap kegiatan wakil rakyat itu hanya pemborosan dan menghambur-hamburkan uang rakyat.

Sejumlah warga yang ditemui SCTV, belum lama ini di Surabaya mengaku tidak bisa memahami pola pikir anggota Dewan. Padahal sudah banyak literatur di dalam negeri serta ada kesepakatan para pakar sejarah tentang hari jadi daerah ini.

Semalam, sebanyak 10 anggota Komisi nekat pergi ke Belanda setelah mendapat izin dari Menteri Dalam Negeri. Sebelumnya banyak kalangan yang keberatan atas rencana wakil rakyat ini. Karenanya tidak heran mereka pergi secara sembunyi-sembunyi. Ketua Komisi, Sabron Djamil Pasaribu, sempat emosional ketika rencananya diketahui wartawan.

Sejumlah sejumlah anggota LSM malah sempat berunjuk rasa menentang kunjungan kerja anggota Dewan. Mereka menilai kegiatan ini tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat dan terkesan menghambur-hamburkan uang di tengah penderitaan masyarakat [baca: Anggota DPRD Jatim Nekat ke Belanda].(IAN/Rahmat Hidayat)

Komentar:
Dari partai mana sih mereka?
Apakah masih pantas untuk di pilih lagi di pemilu selanjutnya?



Gus Dur: Saya Pernah Jadi Korban Diskriminasi

2007-07-07 11:52:00

Nurvita Indarini - detikcom

Jakarta - Diskriminasi bukan hanya menimpa rakyat jelata. Tokoh bangsa pun pernah mengalaminya. Tak terkecuali mantan Presiden Gus Dur.

"Saya korban diskriminasi KPU. Saya sempat dilarang jadi presiden pada 2004," kata Gus Dur dalam acara 'Kongkow Bareng Gus Dur' di Kedai Tempo Jl Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu (7/7/2007).

Gus Dur yang juga Ketua Dewan Syuro PKB itu mengungkapkan, dirinya dilarang menjadi presiden karena buta. Padahal, seseorang yang tidak bisa melihat bukan berarti sakit.

"Mereka (KPU) tidak mau tahu. Mungkin mereka pikir kalau ada saya jadi geger," ujar Gus Dur.

Terkait Pilpres 2009 yang menyisakan 1,5 tahun lagi, Gus Dur menyatakan, kalau ada peritah dari orang-orang tua untuk menjadi presiden, maka dia akan menjalaninya.

"Dulu saya jadi presiden karena diperintahkan orang-orang tua, dan saya maju jadi capres tanpa timses (tim sukses). Kalau diperintah lagi, ya akan saja jalani," tukasnya. (irw/sss)

(news from cache) - Reload from Original

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/07/time/115257/idnews/802192/idkanal/10

Badan Kehormatan Gagal Putuskan Sanksi




Jum'at, 06 Juli 2007 | 21:19 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Rapat Badan Kehormatan DPR yang digelar Kamis sore (6/7) tadi gagal memutuskan penetapan sanksi bagi para anggota Dewan yang diduga menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan. Rapat tertutup yang berlangsung tiga setengah jam itu baru bisa menyelesaikan dua dari lima kasus yang rencananya akan diperiksa.

"Tiga kasus lagi akan kami lanjutkan Senin malam (pekan depan)," kata Wakil Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun. Menurutnya, para anggota Badan Kehormatan masih berbeda pendapat dalam menetapkan landasan pemberian sanksi.

“Sebagian mengatakan pengakuan anggota Dewan sudah bisa dijadikan dasar utama untuk menetapkan sanksi,” katanya. Tetapi ada anggota yang berpendapat sanksi sebaiknya diberikan setelah ada proses hukum.

Untuk itu, katanya, Badan Kehormatan memutuskan menyediakan waktu bagi masing-masing anggota untuk merumuskan selama dua hari. Gayus membantah perbedaan pendapat mengenai sanksi ini terjadi karena masing-masing anggota Badan membela rekannya sesama fraksi yang terlibat dalam kasus dana mantan Menteri Rokhmin Dahuri itu.

Berdasarkan Tata Tertib DPR dan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Lembaga Perwakilan, Gayus menerangkan, terdapat tiga jenis sanksi yang bisa dikenakan. “Bisa teguran tertulis, pemindahan jabatan dari alat kelengkapan Dewan, dan pemberhentian sebagai wakil rakyat.”

Anggota Badan Kehormatan Markus Silano mengatakan anggota Dewan yang hanya menerima uang dari Rokhmin sebagai titipan tidak dapat dikatakan bersalah. "Kalau ia (anggota Dewan) memberikan lagi kepada orang lain, apa bersalah?" katanya.

Awal Mei lalu, lima anggota Dewan dilaporkan Indonesian Corruption Watch karena diduga menerima dana Departemen Kelautan dan Perikanan semasa Rokhmin Dahuri. Mereka adalah AM Fatwa dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Endin A.J. Soefihara dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Awal Kusumah dan Slamet Effendy Yusuf dari Fraksi Partai Golkar, serta Fachri Hamzah dari Fraksi Keadilan Sejahtera. Aqida Swamurti, Nur Rochmi

Komentar:

Dulu Azidin dipecat tanpa ada proses hukum dulu.

Apakah hal ini karena melibatkan partai besar: Golkar,PPP,PKS dan PAN?Terlebih ketua BK sendiri ikut menerima?






Anggota DPRD Jatim Nekat ke Belanda

Liputan6.com, Surabaya: Kendati mendapat sorotan publik, 10 anggota Komisi A DPRD Jawa Timur nekat berangkat ke Belanda. Khawatir dengan sweeping yang dilakukan organisasi kepemudaan serta lembaga swadaya masyarakat, keberangkatan wakil rakyat ini terkesan disembunyikan. Rombongan berangkat melalui Bandar Udara Juanda, Surabaya, Jatim, dengan pesawat Silk Air untuk kemudian transit di Singapura, Jumat (6/7) petang.

Para anggota Dewan ini berdalih, kunjungan kerja mereka bermaksud menelusuri tahun kelahiran Provinsi Jatim. Namun, Ketua Komisi A DPRD Jatim, Sabron Jamil Pasaribu, menolak memberikan komentar, bahkan sempat mengusir wartawan.

Sebelumnya, sejumlah anggota LSM berunjuk rasa menentang kunjungan kerja anggota Dewan. Mereka menilai kegiatan ini tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat dan terkesan menghambur-hamburkan uang di tengah penderitaan masyarakat. Bahkan, sejarawan Dukut Imam Widodo beberapa waktu lalu mengatakan, orang yang tepat untuk menelusuri tahun kelahiran Provinsi Jatim adalah sejarawan.

Data Parliament Wacth Jatim menyebutkan, anggaran perjalanan dinas DPRD Jatim sejak 2004 terus meningkat. Dari sekitar Rp 68 miliar menjadi sekitar Rp 94 miliar di tahun 2006.(ADO/Eko Yudho)

Komentar:
Seharusnya SCTV memasang jelas foto-foto wajah Komisi A DPRD Jatim tersebut, nama, alamat dan asala fraksi/partai.

Sehingga mudah-mudahan ( walaupun kecil kemungkinan), masyarakat akan tahu dan menentukan pilihan di pemilu berikutnya apakah akan memilih kembali orang tersebut dengan partainya atau tidak. Ini sebagai hukuman dan tindakan yang mungkin dilakukan.

Kenapa harus 10 orang?
Kenapa bukan sejarawan yang dipilih?

Bukankah di Jatim masih banyak sekolah yang rusak?

Thursday, July 05, 2007

Kopi Langka dari Hewan Langka

Liputan6.com, Denpasar: Jangan mengaku sebagai penikmat minuman kopi bila belum merasakan kopi luwak. Kopi luwak memang bukan kopi sembarangan. Jenis kopi ini merupakan hasil pemisahan antara biji kopi yang dimakan hewan luwak atau sejenis musang jawa dengan kotorannya. Kopi yang jarang diperoleh ini juga harus disajikan dengan spesial.

Kopi langka ini salah satunya dapat dinikmati di Bali. Tepatnya di sebuah kedai kopi di Sanur, Denpasar, Bali. Ketika dikunjungi SCTV belum lama ini, sang pemilik kedai bernama Wirawan Jayadi menuturkan cara penyajian kopi luwak. Pertama, biji kopi diletakkan di bagian tengah teko aluminium bertekanan. Air mineral kemudian direbus dalam suhu 89 derajat Celsius. Nah, uap yang menekan kopi akan keluar di bagian atas sehingga menjadi kopi cair. Dan siaplah secangkir kopi untuk dinikmati.

Namun, bukan hal yang mudah untuk mencari biji kopi dari fases luwak. Apalagi, panen kopi luwak hanya 30 kilogram setahun di Indonesia. Lantaran itulah, jangan terkejut bila Anda disodori tagihan Rp 200 ribu per cangkir kopi.(ANS/Frans Ambudi dan Agus Ginanjar)

Anggota DPRD Bali Pelaku Illegal Logging Divonis 8 Bulan

2007-07-05 17:54:00

Gede Suardana - detikcom

Denpasar - Anggota DPRD Bali Dewa Nyoman Rai Adi divonis delapan bulan penjara karena terbukti melakukan illegal logging. Namun, tiga hari di dalam sel tahanan, ia mendadak jatuh sakit.

Rai yang tersangkut kasus illegal logging pada 2002 mendekam di LP Singaraja sejak Senin (2/07/2007). Putusan tersebut dikeluarkan Makamah Agung (MA) setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi ke MA. Sebelumnya, PN Singaraja membebaskannya dari jeratan hukum.

Rai hanya mendekam di penjara selama tiga hari. Anggota DPRD dari PDIP ini dilarikan ke RSUP Sanglah, Denpasar dengan alasan sakit.

"Kalapas memberikan izin kepada yang bersangkutan untuk dirawat," kata Nyoman Dita, salah satu petugas LP Singaraja, di LP Singaraja, jalan Veteran, Singaraja, Kamis (5/07/2007).

Meskipun dinyatakan dirawat di RSUP Sanglah, namun Rai tidak nampak di rumah sakit tersebut. Bahkan, namanya pun tidak tertera di daftar nama pasien. "Kami sudah cek ke semua daftar catatan pasien tetapi yang bersangkutan tidak terdaftar," ujar seorang petugas RSUP Sanglah bagian informasi.

Terkait kasus tersebut, Rai terancam sanksi dari partai karena dianggap melanggar AD/ART partai. "Kemungkinan akan dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW)," kata Cok Rat. (djo/djo)
Komentar:
Tanggung jawab siapa nih? kalau lari..seperti buronan BLBI?

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/05/time/175448/idnews/801744/idkanal/10

Anak Buah Ba'asyir Gabung Jihad Melawan Pengemplang BLBI

2007-07-05 14:00:00

M. Rizal Maslan - detikcom

Jakarta - Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sepakat bergabung dengan jihad gaya baru, yakni melawan obligor atau pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melarikan diri. MMI menjadi ormas Islam ke-15 yang mengumandangkan jihad gaya baru ini.

"Ormas-ormas Islam geregetan melihat kasus ini. Kita juga imbau hal serupa untuk melakukan jihad terhadap mereka. Supaya mereka mengembalikan dana pinjaman," cetus Sekjen MMI Fauzan Al Anshori kepada detikcom di sela-sela acara President Islamic di Gedung GPI, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Kamis (5/7/2007).

MMI yang dipimpin alumni narapidana makar Abu Bakar Ba'asyir menilai, aset milik obligor tersebut harus diambil untuk kepentingan rakyat. Kemudian dipakai untuk subsidi pendidikan, kesehatan, korban bencana alam dan korban lumpur Lapindo.

Menurut Fauzan, pengambilalihan aset obligor BLBI harus segera dilakukan. Para obligor dianggap telah menipu negara dan rakyat, menggunakan dana pinjaman untuk dibawa lari ke luar negeri.

"Kalau ini diambil untuk rakyat, kan bagus. Tidak perlu cabut subsidi BBM. Bisa untuk ganti rugi korban lumpur Lapindo. Kita selama ini kan ditipu mereka," kata Fauzan.

Kalau mereka tidak bisa melunasi secara langsung, bisa mencicil. Misalnya dengan membangun rumah bagi korban bencana alam dan lumpur Lapindo. Pemerintahan SBY seharusnya bisa melakukan ini.

"Ini kan problemnya, ada saja orang-orang atau oknum pejabat kita yang melindungi mereka. Tapi ini harus dilakukan, karena rasa keadilan masyarakat sudah tersayat-sayat," tandas Fauzan.

KPK Gagal

Dalam kesempatan itu, Fauzan juga menyinggung kegagalan KPK memberantas korupsi. Menurut Fauzan, dengan anggaran Rp 600 miliar per tahun, KPK hanya bisa mengembalikan aset negara Rp 20 miliar.

"Sekarang ini ada pergantian (pimpinan) KPK. Mestinya yang dibutuhkan adalah mahkamah syariah, yang bisa memberikan sanksi hukum lebih berat kepada obligor. Seperti zinah yang dipotong tangan, harusnya korupsi dihukum mati," tandas Fauzan. (aba/sss)

Komentar:
1.Partai politik pada kemana yang mengaku nasionalis, wong cilik, pembela rakyat

2.Kita tunggu tanggal main dari jihad ini dan dukung penuh...

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/05/time/140015/idnews/801582/idkanal/10

Golkar Pertimbangkan Gelar Konvensi Capres

Bila digelar Akbar Tanjung siap ikut konvensi.

JAKARTA -- Konvensi Partai Golkar yang akan membahas mekanisme dan proses penentuan calon presiden (capres) 2009 akan dibahas dan diputuskan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar sekitar Oktober-November 2007. Konvensi ini diharapkan bisa memberi ruang dan kesempatan kepada tokoh bangsa di luar Golkar untuk menjadi capres.

''Setelah diputuskan ada konvensi, tentunya akan dibentuk kepanitiaan tersendiri untuk menangani mekanisme konvensi tersebut. Itu nanti ada panitianya sendiri,'' ujar Ketua DPP Partai Golkar, Theo L Sambuaga, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (28/7) Namun demikian, kata Theo, pembahasan konvensi itu dalam Rapimnas Golkar tentu akan melalui proses yang panjang. Karena memang tidak mudah untuk membuat proses konvensi. ''Tentu Golkar memikirkan masak-masak setiap hasil keputusan yang diambil.''

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Akil Mochtar, menyatakan, konvensi capres dari Partai Golkar tetap perlu dilakukan. Jika tidak digelar, lanjutnya, hanya akan memperburuk citra partai pemenang Pemilu 2004 itu. ''Saya pikir harus tetap ada, apa pun namanya.'' Menurut Akil, yang penting adalah partai membuka ruang bagi kader untuk memilih capres dan memberikan kesempatan bagi tokoh bangsa lainnya untuk menjadi capres dari Golkar. ''Konvensi ini akan menjadi tradisi baik yang pertama kali dilakukan oleh Golkar. Kalau tidak dilakukan citra Golkar akan buruk.''

Berbeda dengan Akil, Ketua DPP Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu menyatakan sejak dulu Partai Golkar mengambil keputusan strategis melalui musyawarah nasional dan tidak mengenal bentuk konvensi, seperti yang pernah dilakukan di era Akbar Tandjung. ''Tapi bukan berarti kami ingin mengganjal calon di luar Partai Golkar. Kami tidak pernah punya niat untuk mengganjal siapapun. Ini harus dikaji lebih mendalam lagi,'' ujarnya.

Sedangkan, pengamat politik dari CSIS, Indra J Piliang, menilai, jika konvensi Partai Golkar dilakukan kembali, maka nantinya harus bisa menampilkan sosok capres yang mampu dipercaya publik. Jika itu tak terjadi, maka risiko politik akan ditanggung Golkar. ''Jika konvensi dilakukan lagi, Partai Golkar harus sudah memikirkan risiko-risiko yang dihadapinya. Jadi yang terlebih penting sekarang adalah menghitung seberapa besar risikonya. Konvensi Golkar sebaiknya memperkukuh platform partai,'' katanya.

Akbar siap ikut
Sementara itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, mendesak agar partai berlambang pohon beringin itu segera melakukan konvensi dalam menghadapi Pilpres 2009. ''Dulu kita melakukan konvensi pada Juli 2003. Jika Golkar tidak melakukan konvensi pada pilpres mendatang, maka Golkar mengalami kemunduran,'' katanya.

Menurut Akbar, waktu yang ideal untuk menggelar konvensi adalah sekitar satu-satu setengah tahun sebelum pelaksanaan pilpres. ''Tahun 2003, dimulai sekitar bulan Juli dan berakhir April 2004,'' ujarnya. Akbar mengatakan, jika konvensi ditetapkan berdasarkan obyektivitas, maka saya akan mempertimbangkan untuk ikut dalam konvensi itu.

''Saya masih cukup fit untuk mengikuti proses kompetisi dalam penetapan calon presiden dan wakil presiden,'' katanya. Akbar menjelaskan, pertimbangan dirinya ikut dalam konvensi karena ia merasa masih sangat potensial untuk menduduki jabatan presiden atau wakil presiden dengan pengalaman yang ia miliki. ''Saya memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang pemerintahan, bidang politik, dalam bidang kemasyarakatan. Saya pernah menjabat sebagai menteri beberapa kali, Ketua DPR, Ketua Umum Partai Golkar, serta jabatan organisasi lainnya sejak mahasiswa,'' ujarnya.

Menyinggung status yang dipakai bila mengikuti ajang konvensi itu, Akbar menyatakan ia akan memposisikan diri sebagai orang Golkar.''Jadi konvensi ini adalah peluang untuk saya. Kalau ada yang menawarkan. Tapi sekarang memang belum ada komunikasi dengan Partai Golkar mengenai soal konvensi itu.'' eye/ant

( )
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=298306&kat_id=43

Komentar:
Ya mudah-mudahan bisa lolos konvensi dan rakyat memilihnya, hanya saya tidak akan memilihnya.

Wednesday, July 04, 2007

Yang Galak Silakan Datang


Edisi. 19/XXXIIIIII/02 - 8 Juli 2007
Hukum

Yang Galak Silakan Datang

Pendaftaran calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi sepi peminat. Ogah menghadapi uji kelayakan di parlemen.

Sebuah ruang di gedung Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara tiba-tiba menjadi ingar-bingar. Jumat sore pekan lalu, aktivis sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang dimotori Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (Gerak) menggeruduk kementerian yang berada di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, itu.

Gerak datang bukan untuk unjuk rasa. Mereka hadir untuk menyodorkan nama-nama tokoh yang mereka sebut layak memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Di kementerian itulah panitia seleksi yang diketuai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi mendaftar calon pemimpin KPK sejak 14 Juni lalu. Selasa pekan ini, pendaftaran akan ditutup.

Figur-figur yang diusung Gerak selama ini dikenal garang memerangi korupsi. Di antaranya Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis, dan praktisi hukum Bambang Widjojanto. Nama lain yang diajukan adalah Rudy Satryo, Arief Surowidjojo, Hamid Chalid, dan Mochtar Pabottingi.

Harlan M. Fachra, salah satu pengurus Gerak, meminta tokoh-tokoh itu tak lagi berteriak soal pemberantasan korupsi dari luar. ”Mereka harus masuk KPK,” ujarnya.

Para aktivis Gerak punya alasan kenapa ngotot mendaftarkan tokoh-tokoh itu. Jika model seleksi dilakukan seperti sekarang, hanya menunggu pelamar, mereka khawatir orang-orang terbaik yang diharapkan tak akan mencalonkan diri. ”Harus ada yang mendorong mereka yang terbaik untuk mendaftar,” kata Harlan.

Sampai Jumat pekan lalu, baru sekitar seratus orang menyodorkan diri jadi calon pemimpin KPK. Angka ini kecil. Panitia sebelumnya menargetkan sekitar seribu orang bakal mendaftar. Para tokoh yang diusung Gerak itu pun belum tentu masuk jika mereka sendiri tidak bersedia meneken surat lamaran.

Sebagian besar pendaftar adalah pensiunan, dari bekas anggota TNI, hakim, jaksa, pegawai bank, hingga karyawan perkebunan. Ada pula sejumlah pengacara dan anggota TNI aktif yang ikut melamar. Salah satu pelamar dari TNI aktif adalah Mayor Lufsiana, yang kini menjabat Kepala Dinas Penegakan Hukum di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Makassar. ”Saya khusus ke Jakarta mau melamar jadi anggota KPK walau komandan belum memberikan lampu hijau,” ujar doktor ilmu pemerintahan lulusan Universitas Airlangga ini kepada Tempo.

Bejibunnya pensiunan itulah yang membuat prihatin Teten Masduki. ”Mereka ini belum layak,” ujarnya. Menurut dia, yang membuat orang-orang berintegritas tinggi enggan mendaftar adalah seleksi di DPR yang sarat politisasi. ”Pertanyaan anggota DPR juga sering ngawur,” katanya. Karena itu, ia mengusulkan sistem seleksi diubah. ”Misalnya dengan melibatkan orang luar, rektor-rektor perguruan tinggi, dan kemudian skor calon-calon itu diumumkan terbuka,” ujar Teten lagi.

Ada juga kesalahan yang dilakukan panitia seleksi sehingga pelamarnya sedikit. Menurut Teten, panitia pasif dan tak melakukan ”jemput bola”. Sejak pembukaan pendaftaran, mereka lebih banyak duduk di belakang meja. Baru Rabu pekan lalu, panitia mengunjungi sejumlah kampus, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Diponegoro, untuk berkampanye agar orang melamar menjadi pemimpin KPK.

Kendati telat, langkah panitia seleksi itu disambut gembira oleh Todung Mulya Lubis. Menurut dia, orang terbaik biasanya tidak mau melamar, tapi dilamar. Yang melamar pun seharusnya bukan panitia seleksi, melainkan Presiden. ”Kalau Presiden yang melamar, mereka akan merasa terhormat,” ujarnya.

Todung mengamati pula, sebagian besar pelamar adalah orang yang sekadar mencari pekerjaan. Keadaannya sama dengan proses seleksi anggota Komisi Yudisial atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia—yang juga sepi peminat. ”Dulu panitia seleksi anggota lembaga itu juga tidak mampu menggaet calon-calon terbaik,” katanya.

Senada dengan pendapat Teten, Todung pun membenarkan bahwa banyak orang enggan mendaftarkan diri lantaran khawatir terhadap proses seleksi di parlemen yang sarat dengan politik dagang sapi. Hal itu pula yang membuatnya kurang berminat jadi pemimpin KPK. ”Di DPR terlalu banyak faktor politiknya,” ujarnya.

Tapi soal tudingan sekadar cari kerja dibantah Eggy Sudjana, pengacara yang juga ikut mendaftar. Kalau terpilih jadi pemimpin KPK, ia justru akan meninggalkan kantor firma hukumnya, yang selama ini melimpahkan banyak rezeki. ”Penghasilan sebagai pengacara lebih besar ketimbang gaji pemimpin KPK,” ujarnya. Eggy menegaskan ingin memperbaiki kinerja komisi ini. ”Selama ini, KPK tidak banyak hasilnya,” ujar pengacara yang dulu dikenal rajin memimpin unjuk rasa itu.

Penilaian bahwa kualitas mereka yang mendaftar tak meyakinkan juga dibantah sekretaris panitia seleksi calon pemimpin KPK, Gunawan Hadisusilo. Menurut dia, pendapat itu terlalu dini karena seleksi belum selesai. Ada sejumlah tahap yang harus dilalui pelamar. Setelah pendaftaran ditutup, panitia seleksi yang antara lain terdiri atas Syafi’i Ma’arif, Adi Andojo, dan Komaruddin Hidayat itu akan memeriksa administrasi para pelamar. Nama-nama yang lolos akan diumumkan di media massa pada 12 Juli. ”Setelah itu, akan ada tes psikologi,” kata Gunawan, yang juga menjabat sebagai Deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Bidang Pengawasan.

Lolos dari tes psikologi, para calon kemudian mengikuti tes visi-misi, tes penilaian profil, dan terakhir wawancara. Dari sini, dijaring sepuluh nama yang kemudian dikirim ke Presiden. Setelah disetujui Presiden, kesepuluh nama itu akan diserahkan ke parlemen untuk uji kelayakan. ”Proses di DPR dari awal September hingga awal Desember,” ujar Gunawan.

Dari sepuluh nama itu, parlemen akan ”memerasnya” menjadi lima. Menurut Ketua Komisi Hukum DPR Trimedya Panjaitan, pemilihan akan berlangsung terbuka. ”Kalau ada yang menganggap seleksi di parlemen terlalu banyak dipolitisasi, itu pikiran kekanak-kanakan,” katanya.

Kendati yang melamar tak sebanyak yang diharapkan, Gunawan optimistis di hari-hari terakhir orang-orang terbaik bakal mendaftarkan diri. ”Karena kami telah proaktif dan mengajak LSM ikut menjaring calon-calon terbaik,” katanya. ”Kami harap yang galak-galak dalam pemberantasan korupsi mau mendaftarkan diri.”

Selain Gerak, sejumlah LSM di Yogyakarta sedang beraksi. Mereka mendorong bekas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang kini memimpin Ombudsman Yogyakarta, Salman Luthan, melamar jadi pemimpin KPK. ”Kami memang mendorong dia. Integritas, moral, dan keberaniannya tidak diragukan,” kata pengacara senior di Yogya, Kamal Firdaus.

LRB/Dimas Adityo



KPK, Setelah Empat Tahun...

Dibentuk berdasar UU No. 30/2002 di era Presiden Megawati Soekarnoputri.Lembaga ini memiliki wewenang luar biasa dalam memberantas korupsi. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, ia berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga ke penuntutan kasus tindak pidana korupsi. KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani lembaga lain.

Pada 26 Desember 2003 Presiden Megawati menetapkan lima pimpinan KPK. Kelimanya hasil pilihan Komisi Hukum DPR yang disahkan Sidang Paripurna DPR pada 19 Desember 2003. Pimpinan komisi ini dilantik Presiden pada 29 Desember 2003 dan masa tugasnya berakhir pada 29 Desember 2007.

Pimpinan KPK

Taufiequrachman Ruki (Ketua)
Pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri.

Amien Sunaryadi (Wakil Ketua)
Bekas Ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia.

Sjahruddin Rasul
Bekas auditor

Tumpak Hatorangan Panggabean
Mantan Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

Erry Riyana Hardjapamekas
Bekas Direktur Utama PT Timah dan mantan Komisaris Utama PT Bursa Efek Jakarta.

Kasus yang sudah ditangani

KPK telah menyelesaikan 59 kasus korupsi yang telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semua terdakwa yang dibawa ke pengadilan itu divonis bersalah dengan rata-rata hukuman: 4 tahun 4 bulan penjara. Mereka antara lain:

Daan Dimara (Anggota KPU)
Tuntutan jaksa: 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 300 juta.
Vonis: 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta

Untung Sastrawijaya, Direktur PT Royal Standard (rekanan KPU)
Tuntutan jaksa: 10 tahun 6 bulan penjara, Rp 500 juta.
Vonis: 5 tahun, denda Rp 250 juta

Abdullah Puteh (mantan Gubernur Aceh)
Dituduh melakukan korupsi dalam pembelian helikopter.
Tuntutan jaksa: 8 tahun penjara, denda Rp 500 juta, uang pengganti Rp 10,08 miliar.
Vonis: 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta, uang pengganti Rp 3,687 miliar.

Digerogoti Sana-sini

Kewenangan KPK ”digerogoti” lewat jalur Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pihak, termasuk beberapa anggota KPU Pusat, meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi UU tentang KPK.

Yang digugat:

  • Kewenangan KPK melakukan penyadapan —-> Ditolak Mahkamah Konstitusi (MK)
  • Tidak adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) ——> Ditolak MK
  • Dibubarkannya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi——>Diterima.

    Mahkamah Konstitusi menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diatur Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah diberi waktu tiga tahun untuk membuat undang-undang khusus pengadilan korupsi.

    Antara anggaran dan hasil
    Keberhasilan KPK mengembalikan uang negara yang dikorupsi dinilai terlalu kecil ketimbang anggaran negara yang dikeluarkan untuk lembaga ini. Dalam tiga tahun (2003-2006), uang negara yang dapat dikembalikan KPK dari para koruptor Rp 50,04 miliar, sedangkan anggaran yang dihabiskan Rp 247,68 miliar.

    Dimas Adityo. Sumber: riset, laporan ICW.

  • Cinta Sesaat Dua Sejoli

    Persaingan antarfaksi Partai Golkar semakin tampak setelah pertemuan Medan yang digalang Surya Paloh. Politikus yang dulu bersatu menghadang Akbar Tandjung kini berebut pengaruh.

    JAMUAN itu digelar di ballroom Hotel Hyatt, Yogyakarta, Rabu malam pekan lalu. Tuan rumah adalah Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Tamunya: sekitar 50 orang pengurus Partai Beringin dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di meja tersaji pelbagai jenis masakan Eropa.

    Hadir di situ Sri Sultan Hamengku Buwono X, Siswono Yudo Husodo, dan Hatta Mustafa. Ketiganya anggota Dewan Penasihat Golkar. Ada pula Enggartiasto Lukita, Ketua Dewan Pimpinan Pusat. ”Yang ngundang staf Pak Surya melalui SMS,” kata Gandung Pardiman, Ketua Golkar Yogyakarta.

    Menurut para peserta, jamuan itu hanya komunikasi biasa antar-kader Golkar. Kebetulan, kata Siswono, Surya berada di Yogyakarta untuk meresmikan 21 puskesmas yang dibangun dari hasil penggalangan dana Metro TV, stasiun televisi miliknya.

    Namun dalam ”pertemuan biasa” itu banyak pengurus daerah yang bertanya tentang silaturahmi politik Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar sepekan sebelumnya. Acara di Medan yang dinyatakan sebagai bakal koalisi itu digagas Surya dan Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP. Dalam pertemuan di Hotel Hyatt yang berlangsung hampir dua jam itu, ”Ada yang mendukung, ada pula yang menentang koalisi Medan,” kata Gandung.

    Koalisi Medan adalah pangkal perdebatan politikus Beringin. Dalam rapat pleno pengurus pusat yang dipimpin Ketua Umum Jusuf Kalla, Kamis malam dua pekan lalu, sejumlah politikus mempertanyakan peran Surya pada hajatan itu. Mereka yang bersuara keras antara lain Yuddy Chrisnandi, Edison Betaubun, Ricky Rahmadi, Anton Lesiangi, Nudirman Munir, dan Yasril Ananta Baharuddin.

    Yuddy, misalnya, menganggap penggalangan koalisi Golkar dengan partai lain bukan wewenang Dewan Penasihat melainkan Dewan Pimpinan Pusat. Anton Lesiangi berpendapat serupa. ”Idenya bagus, tapi salah kaprah,” katanya. Adapun Wakil Ketua Umum Agung Laksono menganggap langkah Surya Paloh membingungkan kader Golkar.

    Sebaliknya, Siswono Yudo Husodo menyebut pertemuan di Medan sebagai ”komunikasi politik kolosal”. Menurut dia, pertemuan itu dilakukan atas restu pengurus pusat. Buktinya, kata Siswono, Sekretaris Jenderal Soemarsono, Ketua Fraksi Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso, serta beberapa pengurus teras partai itu hadir dalam pertemuan Medan.

    l l l

    SILATURAHMI Golkar dan PDIP yang digelar di Hotel Tiara Medan dihadiri oleh ribuan pendukung kedua partai. Ada yang datang dari Sumatera Utara, Aceh, juga Yogyakarta. Gambar besar Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla dipajang di panggung. Begitu pula poster Surya Paloh dan Taufiq Kiemas.

    Taufiq menyatakan perlunya kedua partai bersatu agar mendulang 60 persen suara pada Pemilihan Umum 2009. ’’Jika sudah menang pemilu, baru kita tentukan siapa presidennya. Bisa dari Golkar dan bisa juga dari PDI Perjuangan,’’ kata suami Megawati Soekarnoputri itu. Surya Paloh berpidato penuh semangat. ”Kalau kekuatan ini dipertahankan, akan menjadi peluang yang besar,” katanya (lihat Tempo, 1 Juli 2007).

    Tapi politikus kedua partai mengakui terlalu dini menganggap pertemuan Medan merupakan benih koalisi. Pidato menggebu tentang koalisi dalam acara itu dianggap sebagai bumbu penyedap semata. ”Itu kan pertemuan partai politik, bukan pertemuan siswa taman kanak-kanak. Tentu saja ada gagasan, pemikiran, retorika, dan dinamika,” ujar Surya Paloh.

    Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP di DPR, menganggap Golkar tetaplah lawan pada Pemilu 2009. Untuk itu, ia menyatakan bahwa partainya akan tetap berhati-hati dalam membangun kerja sama dengan Beringin. ”Jadi, belum ada yang khusus,” katanya menambahkan.

    Kendati begitu, kedua partai sepakat bahwa pertemuan Medan dibuat untuk ”membangun kebersamaan” dalam pembahasan paket Undang-Undang Politik. Hasilnya, pekan lalu, kedua partai berbagi ketua panitia khusus yang akan membahas undang-undang itu.

    Dalam pemilihan pada Kamis pekan lalu, Ferry Mursyidan Baldan dari Golkar dipilih menjadi Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Legislatif dan Presiden. Adapun Ganjar Pranowo dari PDIP menempati kursi Ketua Panitia Khusus RUU Partai Politik dan Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Kedua partai memang memiliki kesamaan kepentingan, di antaranya memperbanyak daerah pemilihan pada pemilu legislatif.

    Menurut Siswono Yudo Husodo, kedua partai juga bisa bersatu untuk pemilihan kepala daerah. Ia mengklaim, 80 persen dari calon yang diusung Golkar dan PDIP di berbagai daerah bisa menang pemilihan. Contohnya, pemilihan Gubernur Banten. ”Tapi, jika kedua partai berhadapan, yang menang calon dari partai lain,” ia menjelaskan.

    Namun tak semua kader Beringin di daerah menyetujui klaim Siswono ini. Bambang Sadono, Ketua Golkar Jawa Tengah, mengatakan bahwa kerja sama di pusat tidak otomatis berjalan di daerah. ”Analoginya begini, bisa saja selaku orang tua, pengurus pusat Golkar dan PDIP berniat besanan. Namun, belum tentu pengurus daerah sebagai anak sama-sama suka,” kata Bambang bertamsil.

    Yang lain menilai, pertemuan Medan adalah akibat dari kekecewaan Golkar terhadap Presiden Yudhoyono. ”Semacam sinyal dari Golkar bahwa mereka tak puas dengan jatah kekuasaan yang diberikan SBY,” kata mantan Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung.

    Saat ini politikus Golkar yang menjadi anggota Kabinet Indonesia Bersatu adalah Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, Paskah Suzeta, dan Andi Matalatta. Beringin, yang memiliki kursi terbanyak di DPR, 128 kursi, menganggap jumlah itu tak cukup.

    Seorang tokoh Golkar menyatakan bahwa Surya Paloh pun tak puas dengan Yudhoyono. Surya, kabarnya, sempat dijanjikan untuk menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. ”Nyatanya, jadi anggota pun tidak,” sumber itu menambahkan.

    Informasi itu dibantah Surya Paloh. Ia mengatakan Golkar seharusnya puas karena ketua umumnya sudah menjadi wakil presiden. Tentang dirinya, ”Saya nggak pernah dijanjikan, tidak pernah meminta, dan tidak mau jadi apa-apa,” kata Surya.

    Seorang bekas petinggi Golkar menyebutkan pertemuan Medan adalah buah dari lemahnya kendali Jusuf Kalla terhadap Beringin. Itu sebabnya, Surya Paloh bisa leluasa bermain politik membawa bendera partai. Padahal, sebagai Ketua Dewan Penasihat, tugas Surya hanya memberikan nasihat kepada pimpinan Golkar.

    Surya Paloh bukan tak punya kekuatan di Golkar. Menurut sumber itu, ia kini berebut pengaruh dengan Jusuf Kalla dan Agung Laksono. Di luar mereka, masih ada faksi lain di bawah kendali Aburizal Bakrie, Ginandjar Kartasasmita, Fahmi Idris, dan Sri Sultan.

    Tokoh-tokoh itu oleh Akbar Tandjung disebut ”Kekuatan Delapan Penjuru Angin”. Merekalah yang menentang Akbar dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, tiga tahun lalu. Ketika itu Akbar tersingkir dari kursi ketua umum dan Jusuf Kalla yang kala itu sudah menjadi wakil presiden menggantikannya.

    Kata seorang tokoh senior Beringin, Jusuf Kalla sebenarnya hanya bisa mengendalikan sebagian kecil kepengurusan partai—umumnya yang berasal dari Makassar, daerah asal Kalla. ”Surya Paloh dan Agung Laksono justru memiliki akar lebih kuat,” kata sumber itu.

    Mereka yang masuk kelompok Surya Paloh antara lain Enggartiasto Lukita, Syamsul Muarif, Yorries Raweyai, Teuku Nurlip, dan Burhanudin Napitupulu. Adapun barisan Agung Laksono adalah orang-orang Kosgoro di Golkar, serta politikus seperti Yuddy Chrisnandi.

    Kekuatan kelompok Surya tampak saat penentuan pengisi kursi Ketua Bidang Keagamaan yang ditinggalkan Yahya Zaeni, Februari lalu. Menurut sumber itu, Jusuf Kalla waktu itu mencalonkan Ferry Mursyidan Baldan, sementara Surya menyokong Priyo Budi Santoso. Hasilnya: Priyo yang terpilih.

    Surya kemudian juga menyokong Priyo dalam penentuan ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, menggantikan Andi Matalatta yang menjadi menteri. Jusuf Kalla, sekali lagi, menyokong Ferry Mursidan. Hasilnya idem ditto, Priyo melenggang ke kursi ketua fraksi.

    Namun Surya Paloh membantah adanya faksi dalam tubuh Golkar. Menurut dia, perbedaan pandangan dalam organisasi sebesar Golkar adalah hal lazim. ”Kalla ketua umum, saya ketua dewan penasihat. Sudah pasti satu, kami saling mengisi,” katanya.

    Pertemuan Golkar dan PDIP di Medan bagaimanapun telah memancing partai lain berbuat serupa. Selasa lalu, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Bintang Reformasi, Partai Damai Sejahtera, dan Partai Bintang Bulan bertemu di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta (lihat Teknik Mengunci Para Kurcaci).

    Menurut penggagasnya, pertemuan itu bukan tandingan atas hajatan Golkar dan PDIP di Medan. ”Kami cuma membahas Rancangan Undang-Undang Partai Politik,” kata Zulkifli Hasan, Sekretaris Jenderal PAN. Bagi Anies Rasyid Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Mulya, ”koalisi” dua partai politik itu bersifat semu. Aliansi partai-partai kecil, kata Anies, juga tidak akan bertahan lama.


    Opini

    Kemesraan Banteng-Beringin

    PDIP lahir dari PDI yang merupakan gabungan dari sejumlah partai politik nasionalis di awal rezim Soeharto. Golkar adalah mesin politik Orde Baru yang dipakai untuk mengebiri partai nasionalis (PDI) dan partai agama (PPP). Dalam hal tidak berafiliasi pada Islam, keduanya memang beririsan.

    SIKAP serius tapi santai diperlukan dalam menanggapi pertemuan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Medan, Sumatera Utara, dua pekan lalu. Serius dalam pengertian kita boleh berharap, boleh pula cemas, terhadap implikasi peristiwa tersebut. Santai dalam pemahaman bahwa politik pada akhirnya adalah permainan. ”Koalisi” Banteng dan Beringin—kalau pertemuan Medan bisa kita sebut begitu—adalah fenomena sesaat yang kelanjutannya hanya bisa dijawab dengan mengutip selarik lagu Sophia Latjuba, ”Kita lihat saja nanti….”

    Mereka yang menaruh harapan pada pertemuan Medan akan berkata, ”koalisi” ini, jika bisa dibuat permanen, akan memperjelas ideologi partai. PDIP dan Golkar menjadi duet partai nasionalis dan sisanya, partai Islam atau yang berbau Islam, akan menggumpal dalam koalisi yang lain.

    Duet PDIP-Golkar juga akan melahirkan pemerintah yang kuat. Presiden yang disokong oleh kedua partai itu tak akan mudah diganggu DPR. Dalam Pemilu 2004, keduanya mendapatkan 237 kursi legislatif (43,5 persen). Ditambah sedikit dukungan dari partai lain yang ”seideologi”, mereka bisa mendapatkan suara mayoritas.

    Dengan modal itu, mereka dapat memperkecil jumlah partai karena aliansi PDIP-Golkar menuntut ditingkatkannya electoral threshold—suara minimal yang diperoleh sebuah partai dalam pemilu agar partai itu bisa ikut pemilu berikutnya. Partai juga tak bisa sembarangan mengusung calon presiden. PDIP, misalnya, berkeras hanya partai atau koalisi partai yang menguasai setidaknya 20 persen kursi DPR yang bisa menyorongkan calon presiden—lima persen lebih tinggi dari yang ditetapkan undang-undang. Yang cemas bukan tak ada. Polarisasi partai nasionalis dan partai agama ditakutkan akan memunculkan konflik ideologis—sesuatu yang berbahaya jika tak dikelola dengan baik.

    Pertanyaannya: mungkinkah koalisi permanen PDIP-Golkar itu terjadi? Rasanya sulit. Betul bahwa PDIP dan Golkar sama-sama partai yang dekat dengan cita-cita kaum nasionalis. PDIP lahir dari PDI yang merupakan gabungan dari sejumlah partai politik nasionalis di awal rezim Soeharto. Golkar adalah mesin politik Orde Baru yang dipakai untuk mengebiri partai nasionalis (PDI) dan partai agama (PPP). Dalam hal tidak berafiliasi pada Islam, keduanya memang beririsan.

    Tapi, dalam sejarahnya, mereka tak juga setia pada cita-cita ”ideologis” itu. Menyadari bahwa pemilih Islam bisa dirangkul, Maret lalu PDIP mendirikan sayap Islam bernama Baitul Muslimin Indonesia. PDIP pulalah yang menjadi penyokong disusunnya rancangan peraturan daerah berbasis Injil di Manokwari, Papua, belum lama ini. Golkar idem ditto. Di sejumlah kabupaten dan kota, partai ini justru menjadi penyokong disahkannya peraturan bernuansa syariat Islam.

    Sejarah juga menunjukkan bahwa kedua partai itu kerap kawin-cerai karena kepentingan jangka pendek. Pada 1999, misalnya, Golkar bergabung dengan kelompok Poros Tengah untuk mendukung Abdurrahman Wahid sebagai presiden, sementara PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri. Dua tahun kemudian, keduanya bersatu untuk menjatuhkan Gus Dur, yang ditengarai terlibat penyelewengan dana Badan Urusan Logistik.

    Menjelang Pemilu 2004, Beringin dan Banteng kembali pisah. Golkar menyokong pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, PDIP mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Ketika Wiranto kalah, Golkar dan PDIP rujuk dengan membentuk Koalisi Kebangsaan. Aliansi itu pun tak berumur panjang. Saat Wakil Presiden Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, Partai Beringin meninggalkan Koalisi Kebangsaan dan menjadi partai pemerintah.

    Kini di Medan keduanya ”rujuk” lagi. Dari pernyataan politikus kedua partai, segera tercium bahwa pemicunya lebih banyak kepentingan jangka pendek. Selain soal electoral threshold tadi, banyak yang meyakini pertemuan Medan sebagai ”sinyal kekecewaan” yang dikirim Golkar kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang perombakan kabinet belum lama ini, Golkar menyorongkan 10 nama calon menteri. Nyatanya, Yudhoyono hanya menyerap satu orang.

    Golkar merasa tak lagi dipedulikan oleh Yudhoyono. Apalagi terdengar kabar Presiden kini akrab dengan Akbar Tandjung—bekas Ketua Umum Golkar dan seteru Jusuf Kalla dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, Desember 2004. Akbar saat ini adalah Ketua Dewan Penasihat Barisan Indonesia—organisasi massa yang dibentuk oleh kalangan dekat Yudhoyono. Motivasi lain ”rujuk Medan”, seperti diakui petinggi PDIP dan Golkar, adalah keinginan kedua partai untuk bergandeng tangan memenangi pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah.

    Dengan kata lain, pertemuan Medan lebih banyak diwarnai alasan pragmatis ketimbang cita-cita luhur membangun koalisi permanen. Dalam politik, kawin-cerai itu biasa. Selebihnya, mari serius tapi santai….



    Budi Setyarso, Erwin Dariyanto, Sohirin (Semarang)


    Komentar:

    Kita lihat saja keberpihakan kepada rakyat

    Tuesday, July 03, 2007

    Fahri Bawa Daftar Aliran Dana DKP di Era Freddy ke KPK

    2007-07-03 17:25:00

    Arfi Bambani Amri - detikcom Jakarta - Anggota FPKS Fahri Hamzah tidak asal kecap mendesak KPK mengusut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi. Fahri membawa daftar aliran dana nonbujeter DKP yang masuk ke DPR di era Freddy memimpin.

    "Ini daftar aliran dananya. Tapi hanya dilihat saja ya," kata Fahri kemudian mengeluarkan beberapa helai kertas berisi daftar itu, usai menemui penyidik KPK, di Kantor KPK, Jl Veteran III, Jakarta, Selasa (3/7/2007).

    Judul daftar tersebut adalah 'Dana Aliran Masuk di Era Freddy Numberi'. Terlihat beberapa transaksi seperti kunjungan kerja, uang saku dan lain-lain. Namun dalam ratusan transaksi tersebut tidak terlihat nama-nama anggota DPR.

    Total dana yang dikumpulkan Freddy, menurut daftar tersebut, adalah Rp 5,5 miliar. Dari jumlah itu, yang mengalir ke DPR sebanyak Rp 710.615.000.

    Siapa saja anggota DPR yang menerima dana itu? Seperti diungkapkan Badan Kehormatan DPR, Fahri menyebut ada 30 orang. Ada anggota PKS yang menerima? "Tidak ada dong," jawab Fahri.

    "Tapi saya bukan buka-bukaan lho ini. Saya hanya meminta keadilan saja. Kalau Rokhmin (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri) dihukum, maka Freddy juga harus dihukum dong," tandas Fahri. (aba/asy)

    http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/03/time/172525/idnews/800697/idkanal/10
    Komentar:

    1.Kalau benar anggota PKS tidak menerima saya ucapkan terimakasih
    2.Anggota partai yang lainnya kok mau sih menerima dana DKP ngakunya: partai wong cilik, nasinalis, cinta rakyat dlln,berazaskan Islam/agama, padahal gajinya kan sudah besar?
    3.Sekarang siapa yang mau milih dia lagi ( anggota DPR yang menerima dana DKP)?
    4.Kenapa anggota DPR yang menerima dana DKP kok tidak mundur?

    Bela AS, Menhan Jepang Mundur

    2007-07-03 16:36:00

    Shinta Shinaga - detikcom

    Tokyo - Bagaimana warga Jepang tidak sakit hati. Sudah menanggung derita akibat bom nuklir Hiroshima dan Nagasaki, eh Menhannya malah membela si pengebom.

    Namun sang Menhan, Fumio Kyuma, rupanya tahu diri. Dia merespons amarah warga Jepang dengan mengundurkan diri. Demikian dilaporkan AFP, Selasa (3/7/2007).

    Kyuma menyebut AS tidak bisa disalahkan atas aksinya menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. Bom itu justru membuat Perang Dunia II berhenti.

    Kyuma merupakan menteri ketiga kabinet PM Shinzo Abe yang 'menghilang'. Pada Desember 2006, Menteri Reformasi Administrasi Genichiro Sata mundur gara-gara tersangkut skandal pendanaan politik.

    Lalu Mei 2007, Menteri Pertanian Toshikatsu Matsuoka bunuh diri karena dikaitkan dengan kasus dugaan kontrak pengadaan alat pekerjaan umum. (sss/ana)
    http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/03/time/163634/idnews/800672/idkanal/10

    Komentar:
    1.Masyarakat Jepang mayoritas tidak beragama, tetapi kenapa seseorang yang baru di beritakan ada indikasi tidak wajar dalam laporan keuangan langsung bunuh diri? Kenapa Indonesia yang mayoritas beragama kok sudah jelas di vonis pun masih ngaku gak bersalah.

    2.Lolosnya tarian cakalele oleh RMS sampai saat ini tidak ada yang mengudurkan diri?

    3.Kasus BLBI, dari yang mulai mengeluarkan, memberi R dan D, yang mengijinkan tersangka berobat keluar negeri kok tidak ada yang bunuh diri, minta maaf atau mundur ( padahal mereka mengaku nasionalis, beragama dlln).



    Takut Dianiaya, Faisal Basri Tidak Daftar ke Pansel KPK

    2007-07-03 14:19:00

    Andi Saputra - detikcom

    Jakarta - Ekonom Faisal Basri merupakan 1 dari 29 tokoh antikorupsi yang dinominasikan Gerakan Rakyat Antikorupsi (Gerak) menjadi pimpinan KPK. Namun dia enggan mendaftar lantaran takut dianiaya.

    "Saya amat sangat tidak bersedia karena nantinya hasil panitia seleksi (pansel) KPK ini diajukan ke DPR. Seleksi di DPR sangat tidak bermutu. Saya tidak ingin dianiaya," ujar Faisal saat dihubungi wartawan melalui telepon, Selasa (3/7/2007).

    Dia menambahkan, saat seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan anggota Komnas HAM, proses seleksi di DPR seperti dagang sapi. Selain itu, Tim Pansel yang diketuai Menneg PAN Taufiq Effendi diangap tidak relevan. Karena KPK yang akan mengaudit uang pemerintah.

    "Masak yang menyeleksi KPK pemerintah sendiri," cetus Faisal.

    Proses seleksi pendaftaran calon pimpinan KPK akan ditutup pukul 16.00 WIB. Meski demikian, bagi yang masih antre diberi waktu hingga malam nanti. Sedangkan bagi yang belum sempat datang ke tempat pendaftaran (Gedung Kementerian PAN), berkasnya bisa dikirim melalui faks.

    "Hingga pukul 12.00 WIB yang mendaftar total 480 orang, hari ini ada 58 yang mendaftar," kata Sekretaris Tim Pansel KPK Gunawan Hadi Susilo. (nvt/sss)

    Komentar:
    Wah kalau seleksi di DPR tidak bermutu bagaimana mutu dari anggota DPR ?

    http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/03/time/141953/idnews/800579/idkanal/10

    Menhut Rebutan Mikrofon dengan Ratusan Demonstran Walhi

    2007-07-03 13:15:00

    Indra Shalihin - detikcom

    Jakarta - Kritikan pedas aktivis Walhi yang menuding Menteri Kehutanan MS Kaban sebagai biang keladi kerusakan hutan di Indonesia membuat panas kuping sang menteri. Mikrofon dari mobil pendemo pun jadi rebutan.

    Kejadian itu berlangsung sekitar pukul 12.30 WIB, Selasa (3/7/2007). Ketika 500 demonstran dari Walhi akan meninggalkan gedung Kantor Dephut di Jl Gatot Subroto, Jakarta, secara tiba-tiba MS Kaban meloncat naik ke atas mobil sound yang dibawa demonstran.

    Kaban berniat mengklarifikasi tudingan Walhi dengan menjawab langsung melalui orasi. Namun niat Kaban tidak kesampaian. Massa yang sudah berbalik arah tak menghiraukannya. Sambil melambaikan tangan ke arah Kaban mereka berteriak, "Bohong... bohong... bohong..."

    Kaban pun semakin panas, dengan nada tinggi dia menghardik para demonstran, "Hei kalian jangan pengecut. Kita sama-sama demonstran," teriaknya.

    Namun teriakan Kaban dianggap angin lalu. Para demonstran melenggang pergi untuk melanjutkan perjalanan ke Departemen ESDM di Jl Medan Merdeka Selatan.

    Melihat hal itu Kaban semakin ngotot. Dia meminta mobil sound tidak pergi sebelum dia berorasi. Namun seorang orator yang berada di atas mobil mengatakan, kedatangan Walhi ke Dephut tidak untuk membuka dialog.

    "Kita Walhi berdemonstrasi disini tidak membuka dialog dengan siapa pun. Jadi Anda tidak perlu menjelaskan kepada kami," ujarnya.

    Tarik-menarik pun terjadi, Kaban tetap ngotot ingin berorasi. Karena situasi semakin panas, orator dari Walhi tersebut meminta Kaban untuk turun dari mobil. "Pak Kaban, Pak Polisi, kami datang baik-baik ke sini. Kami tidak ingin memancing emosi massa. Silakan turun kami ingin melanjutkan perjalanan. Terima kasih."

    Dengan terlihat keki, Kaban pun menurut. Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu turun dari mobil truk dan membiarkan demonstran pergi. (bal/nrl)

    http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/03/time/131532/idnews/800532/idkanal/10
    Komentar:
    Keruskan hutan di Indonesia Rp.4o Trilyun/pertahun.
    Memang sindikat yang menggurita.Padahal penjarahan hutan secara kasat mata di jarah, sekarang memang ada perbaikan tapi masih kurang karena: dephut,jaksa,hakim,polisi masih bisa disuap.



    Uang Muka Calon Gubernur

    sis kesibukan Slamet Kirbiantoro, 59 tahun, sudah menurun akhir-akhir ini. Usai bertarung dalam bursa calon Gubernur DKI Jakarta, ia mengaku babak belur. Selain namanya tidak lolos sebagai calon tetap, pensiunan jenderal itu kini mengaku harus menanggung banyak utang. Tanggungan kepada pihak ketiga ini, katanya, adalah biaya pengeluaran ketika dia mencalonkan diri sebagai peserta pemilihan kepada daerah (pilkada) DKI Jakarta.

    Pada bursa pemilihan calon Gubernur Jakarta yang berlangsung selama setengah tahun terakhir, pensiunan jenderal bintang dua kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, 18 Maret 1948, itu mengaku "diperas" oleh sejumlah partai politik. Agar namanya masuk sebagai calon tetap, mantan Pangdam Jaya itu telah mengeluarkan dana sejumlah Rp 2,25 milyar. Dana ini diberikan kepada pengurus partai agar dirinya lebih diperhitungkan.

    Sumber Gatra yang dekat dengannya mengungkapkan, dana tersebut disetor kepada pengurus dua partai besar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Masing-masing sebesar Rp 1 milyar dan Rp 1,25 milyar. Kirby, demikian alumnus Akademi Militer tahun 1970 itu dipanggil, mengaku diberi janji manis calon tetap Gubernur atau Wakil Gubernur DKI.

    Untuk itulah, mantan Komandan Satuan Intelijen Badan Intelijen ABRI (BIA) tersebut mengaku tak ragu melepas fulus. Setoran itu, katanya, diberikan langsung kepada pengurus teras partai politik bersangkutan. Penyerahannya tidak kepada bendahara atau ketua partai secara formal, melainkan diterima perorangan. Tidak pula disertai tanda terima atawa tanda bukti yang lain. Yang jelas, katanya, di antara penerimanya adalah pengurus partai yang sedang pada "posisi puncak". Dana yang digelontorkan Kirby itu disetor dalam sembilan giro bilyet dengan pecahan Rp 250 juta.

    Rinciannya, lima giro diserahkan kepada pengurus partai berlambang banteng gemuk, sisanya diberikan kepada pengurus partai berlogo Ka'bah. Setoran itu mulai diberikan sejak enam bulan lalu. Intensitasnya semakin meningkat menjelang penentuan calon tetap, akhir Mei lalu.

    Rupanya janji manis partai politik tak sama dengan janji prajurit. Meski sudah kadung memberi setoran, nama Kirby tak nongol sebagai calon jadi. PDIP dan PPP, yang merupakan bagian dari 16 partai yang tergabung dalam Koalisi Jakarta, malah mengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto.

    Merasa tertipu, Kirby bermaksud menagih kembali dana yang telanjur disetorkannya. Sayang, itu tak mudah. Rombongan tujuh orang yang diutusnya menagih ke kantor PDIP DKI Jakarta, Kamis tiga pekan silam, berujung bentrok dengan satgas tuan rumah. Seorang penagih, Ahmad Soleh, terluka di tangan kena sabetan belati. Peristiwa ini tengah ditangani Polres Metro Tebet, Jakarta Selatan.

    Beberapa calon gubernur yang namanya sempat muncul dalam bursa penjaringan pilkada mengaku diporoti partai politik. Jumlah totalnya belasan milyar rupiah. Selain Slamet Kirbiantoro, tokoh lain yang mengaku diporoti adalah Mayjen (purnawirawan) Edi Waluyo sebesar Rp 4 milyar, Mayjen (purnawirawan) Djasri Marin Rp 2,5 milyar, dan Mayjen (purnawirawan) Asril Tandjung Rp 3,7 milyar.

    Selain yang memilih blak-blakan, disinyalir banyak "korban" lain yang memilih diam. Beberapa nama jenderal dan sipil sempat beredar pada babak penjaringan bakal calon gubernur. Antara lain Agum Gumelar, Bibit Waluyo, Hendro Priyono, Sjafrie Sjamsoeddin, Farial Sofyan, dan Faisal Basri.

    Aliran dana itu tentu saja membuat pundi-pundi partai makin gemuk. Di pihak lain, calon yang bersangkutan merasa diperas. Padahal, untuk meraih peluang yang lebih besar, sang calon sering masuk melalui beberapa pintu partai politik. Masing-masing punya harga sendiri.

    Djasri Marin, misalnya, mengaku masuk melalui berbagai pintu. Pada awal penjaringan, ia mengaku didukung delapan partai Koalisi Jakarta. Dukungan ini tentu saja tak gratis. Terang saja, kantongnya jadi kebobolan. "Duit kami dirampok, tapi mereka mendukung yang lain," kata Djasri Marin, salah satu calon yang kandas melalui pintu PPP dan PDIP. Kepada Gatra ia mengaku telah mengeluarkan dana besar, tapi ternyata cuma gula-gula politik. "Saya malas ngomong itu lagi," katanya setengah frustrasi.

    Ia melihat, uang yang telah dikeluarkan bukanlah investasi politik. Karena partai tidak memberi kesempatan kepadanya bertarung dalam kancah pilkada. "Ini kan tidak fair," ujarnya. Selama masa penjaringan saja, mantan Komandan Puspom TNI itu mengaku merogoh kocek sebesar Rp 3 milyar. "Untuk mendaftar saja, mereka memungut hingga Rp 50 juta," katanya.

    Sesudah itu, harus menyumbang untuk setiap kegiatan partai, misalnya musyawarah kerja atau rapat kerja khusus, bahkan acara gerak jalan. Djasri mengaku, pengeluaran sebesar itu dikucurkan kepada PDIP dan PPP.

    Partai-partai besar memang dituding paling banyak menerima dana setoran. Meski hal ini bukan lagi desas-desus, PDIP memilih menutup kasus ini. "Kami sudah menutup kasus ini karena penerimaan partai tidak pernah terbukti," kata salah satu Ketua DPP PDIP, Tjahjo Kumolo, kepada Gatra.

    Padahal, di awal kasus ini merebak, partai tersebut langsung memeriksa lima pengurus daerah. Mereka adalah Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Agung Imam Sumanto, Wakil Ketua Bidang Pemilu Audi I.Z. Tambunan, Wakil Ketua Bidang Organisasi Supandi, Wakil Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa Marsudi Prasetya Edi, dan Sekretaris Eriko Sotarduga.

    Namun serentetan aksi partai ini terkesan hanya formalitas. Penutupnya tetap happy ending. Menurut Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDIP DKI Jakarta, Audi Tambunan, pihaknya merasa malu dengan tudingan para calon yang tak lolos itu. Ia menjelaskan, dalam bursa pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang lalu, pihaknya tidak menerapkan tarif mahar politik seperti ditudingkan selama ini. Namun ia mengakui adanya sejumlah setoran giro atau uang tunai yang diberikan beberapa calon kepada partai. "Itu dana sosialisasi," tuturnya.

    Dana tersebut digunakan partai untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan kepentingan pencalonan yang bersangkutan. Hal ini, katanya, secara kelembagaan dapat dibenarkan. "Kami tidak pernah meminta uang untuk alasan yang tidak jelas," ia menambahkan. Audi mencontohkan, untuk sebuah pertemuan yang diselenggarakan antara kandidat dan kader di tingkat cabang, seluruh biaya dibebankan kepada kandidat, mulai sewa tempat, makan, minum, hingga seragam.

    Biaya untuk acara seperti ini bisa cukup tinggi, terutama apabila pertemuan atau acara lain diselenggarakan di hotel atau gedung. Itu semua, tambahnya, tak lebih dari biaya politik yang wajar harus dikeluarkan. "Tak mungkin mereka mau gratis," katanya. Atas segala tudingan yang diarahkan kepadanya, ia mengaku siap memberikan jawaban. Bahkan ia siap berhadapan di depan hukum. "Daripada mengirim orang yang membuat keributan," ujar Audi.

    Mujib Rahman dan Bernadetta Febriana
    [Nasional, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 28 Juni 2007]

    Komentar:
    Mantan Jendral saja di bohongi apalagi rakyat jelata seperti kita.
    Hanya masalahnya beberapa orang yang telah dibohongi termasuk kita atau rakyat lainnya mau nggak memilih partai tersebut lagi di pemilu-pemilu selanjutnya.
    Hal tersebut sudah terang benderang ..