Wednesday, July 04, 2007

Yang Galak Silakan Datang


Edisi. 19/XXXIIIIII/02 - 8 Juli 2007
Hukum

Yang Galak Silakan Datang

Pendaftaran calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi sepi peminat. Ogah menghadapi uji kelayakan di parlemen.

Sebuah ruang di gedung Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara tiba-tiba menjadi ingar-bingar. Jumat sore pekan lalu, aktivis sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang dimotori Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (Gerak) menggeruduk kementerian yang berada di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, itu.

Gerak datang bukan untuk unjuk rasa. Mereka hadir untuk menyodorkan nama-nama tokoh yang mereka sebut layak memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Di kementerian itulah panitia seleksi yang diketuai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi mendaftar calon pemimpin KPK sejak 14 Juni lalu. Selasa pekan ini, pendaftaran akan ditutup.

Figur-figur yang diusung Gerak selama ini dikenal garang memerangi korupsi. Di antaranya Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis, dan praktisi hukum Bambang Widjojanto. Nama lain yang diajukan adalah Rudy Satryo, Arief Surowidjojo, Hamid Chalid, dan Mochtar Pabottingi.

Harlan M. Fachra, salah satu pengurus Gerak, meminta tokoh-tokoh itu tak lagi berteriak soal pemberantasan korupsi dari luar. ”Mereka harus masuk KPK,” ujarnya.

Para aktivis Gerak punya alasan kenapa ngotot mendaftarkan tokoh-tokoh itu. Jika model seleksi dilakukan seperti sekarang, hanya menunggu pelamar, mereka khawatir orang-orang terbaik yang diharapkan tak akan mencalonkan diri. ”Harus ada yang mendorong mereka yang terbaik untuk mendaftar,” kata Harlan.

Sampai Jumat pekan lalu, baru sekitar seratus orang menyodorkan diri jadi calon pemimpin KPK. Angka ini kecil. Panitia sebelumnya menargetkan sekitar seribu orang bakal mendaftar. Para tokoh yang diusung Gerak itu pun belum tentu masuk jika mereka sendiri tidak bersedia meneken surat lamaran.

Sebagian besar pendaftar adalah pensiunan, dari bekas anggota TNI, hakim, jaksa, pegawai bank, hingga karyawan perkebunan. Ada pula sejumlah pengacara dan anggota TNI aktif yang ikut melamar. Salah satu pelamar dari TNI aktif adalah Mayor Lufsiana, yang kini menjabat Kepala Dinas Penegakan Hukum di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Makassar. ”Saya khusus ke Jakarta mau melamar jadi anggota KPK walau komandan belum memberikan lampu hijau,” ujar doktor ilmu pemerintahan lulusan Universitas Airlangga ini kepada Tempo.

Bejibunnya pensiunan itulah yang membuat prihatin Teten Masduki. ”Mereka ini belum layak,” ujarnya. Menurut dia, yang membuat orang-orang berintegritas tinggi enggan mendaftar adalah seleksi di DPR yang sarat politisasi. ”Pertanyaan anggota DPR juga sering ngawur,” katanya. Karena itu, ia mengusulkan sistem seleksi diubah. ”Misalnya dengan melibatkan orang luar, rektor-rektor perguruan tinggi, dan kemudian skor calon-calon itu diumumkan terbuka,” ujar Teten lagi.

Ada juga kesalahan yang dilakukan panitia seleksi sehingga pelamarnya sedikit. Menurut Teten, panitia pasif dan tak melakukan ”jemput bola”. Sejak pembukaan pendaftaran, mereka lebih banyak duduk di belakang meja. Baru Rabu pekan lalu, panitia mengunjungi sejumlah kampus, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Diponegoro, untuk berkampanye agar orang melamar menjadi pemimpin KPK.

Kendati telat, langkah panitia seleksi itu disambut gembira oleh Todung Mulya Lubis. Menurut dia, orang terbaik biasanya tidak mau melamar, tapi dilamar. Yang melamar pun seharusnya bukan panitia seleksi, melainkan Presiden. ”Kalau Presiden yang melamar, mereka akan merasa terhormat,” ujarnya.

Todung mengamati pula, sebagian besar pelamar adalah orang yang sekadar mencari pekerjaan. Keadaannya sama dengan proses seleksi anggota Komisi Yudisial atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia—yang juga sepi peminat. ”Dulu panitia seleksi anggota lembaga itu juga tidak mampu menggaet calon-calon terbaik,” katanya.

Senada dengan pendapat Teten, Todung pun membenarkan bahwa banyak orang enggan mendaftarkan diri lantaran khawatir terhadap proses seleksi di parlemen yang sarat dengan politik dagang sapi. Hal itu pula yang membuatnya kurang berminat jadi pemimpin KPK. ”Di DPR terlalu banyak faktor politiknya,” ujarnya.

Tapi soal tudingan sekadar cari kerja dibantah Eggy Sudjana, pengacara yang juga ikut mendaftar. Kalau terpilih jadi pemimpin KPK, ia justru akan meninggalkan kantor firma hukumnya, yang selama ini melimpahkan banyak rezeki. ”Penghasilan sebagai pengacara lebih besar ketimbang gaji pemimpin KPK,” ujarnya. Eggy menegaskan ingin memperbaiki kinerja komisi ini. ”Selama ini, KPK tidak banyak hasilnya,” ujar pengacara yang dulu dikenal rajin memimpin unjuk rasa itu.

Penilaian bahwa kualitas mereka yang mendaftar tak meyakinkan juga dibantah sekretaris panitia seleksi calon pemimpin KPK, Gunawan Hadisusilo. Menurut dia, pendapat itu terlalu dini karena seleksi belum selesai. Ada sejumlah tahap yang harus dilalui pelamar. Setelah pendaftaran ditutup, panitia seleksi yang antara lain terdiri atas Syafi’i Ma’arif, Adi Andojo, dan Komaruddin Hidayat itu akan memeriksa administrasi para pelamar. Nama-nama yang lolos akan diumumkan di media massa pada 12 Juli. ”Setelah itu, akan ada tes psikologi,” kata Gunawan, yang juga menjabat sebagai Deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Bidang Pengawasan.

Lolos dari tes psikologi, para calon kemudian mengikuti tes visi-misi, tes penilaian profil, dan terakhir wawancara. Dari sini, dijaring sepuluh nama yang kemudian dikirim ke Presiden. Setelah disetujui Presiden, kesepuluh nama itu akan diserahkan ke parlemen untuk uji kelayakan. ”Proses di DPR dari awal September hingga awal Desember,” ujar Gunawan.

Dari sepuluh nama itu, parlemen akan ”memerasnya” menjadi lima. Menurut Ketua Komisi Hukum DPR Trimedya Panjaitan, pemilihan akan berlangsung terbuka. ”Kalau ada yang menganggap seleksi di parlemen terlalu banyak dipolitisasi, itu pikiran kekanak-kanakan,” katanya.

Kendati yang melamar tak sebanyak yang diharapkan, Gunawan optimistis di hari-hari terakhir orang-orang terbaik bakal mendaftarkan diri. ”Karena kami telah proaktif dan mengajak LSM ikut menjaring calon-calon terbaik,” katanya. ”Kami harap yang galak-galak dalam pemberantasan korupsi mau mendaftarkan diri.”

Selain Gerak, sejumlah LSM di Yogyakarta sedang beraksi. Mereka mendorong bekas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang kini memimpin Ombudsman Yogyakarta, Salman Luthan, melamar jadi pemimpin KPK. ”Kami memang mendorong dia. Integritas, moral, dan keberaniannya tidak diragukan,” kata pengacara senior di Yogya, Kamal Firdaus.

LRB/Dimas Adityo



KPK, Setelah Empat Tahun...

Dibentuk berdasar UU No. 30/2002 di era Presiden Megawati Soekarnoputri.Lembaga ini memiliki wewenang luar biasa dalam memberantas korupsi. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, ia berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga ke penuntutan kasus tindak pidana korupsi. KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani lembaga lain.

Pada 26 Desember 2003 Presiden Megawati menetapkan lima pimpinan KPK. Kelimanya hasil pilihan Komisi Hukum DPR yang disahkan Sidang Paripurna DPR pada 19 Desember 2003. Pimpinan komisi ini dilantik Presiden pada 29 Desember 2003 dan masa tugasnya berakhir pada 29 Desember 2007.

Pimpinan KPK

Taufiequrachman Ruki (Ketua)
Pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri.

Amien Sunaryadi (Wakil Ketua)
Bekas Ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia.

Sjahruddin Rasul
Bekas auditor

Tumpak Hatorangan Panggabean
Mantan Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

Erry Riyana Hardjapamekas
Bekas Direktur Utama PT Timah dan mantan Komisaris Utama PT Bursa Efek Jakarta.

Kasus yang sudah ditangani

KPK telah menyelesaikan 59 kasus korupsi yang telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semua terdakwa yang dibawa ke pengadilan itu divonis bersalah dengan rata-rata hukuman: 4 tahun 4 bulan penjara. Mereka antara lain:

Daan Dimara (Anggota KPU)
Tuntutan jaksa: 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 300 juta.
Vonis: 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta

Untung Sastrawijaya, Direktur PT Royal Standard (rekanan KPU)
Tuntutan jaksa: 10 tahun 6 bulan penjara, Rp 500 juta.
Vonis: 5 tahun, denda Rp 250 juta

Abdullah Puteh (mantan Gubernur Aceh)
Dituduh melakukan korupsi dalam pembelian helikopter.
Tuntutan jaksa: 8 tahun penjara, denda Rp 500 juta, uang pengganti Rp 10,08 miliar.
Vonis: 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta, uang pengganti Rp 3,687 miliar.

Digerogoti Sana-sini

Kewenangan KPK ”digerogoti” lewat jalur Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pihak, termasuk beberapa anggota KPU Pusat, meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi UU tentang KPK.

Yang digugat:

  • Kewenangan KPK melakukan penyadapan —-> Ditolak Mahkamah Konstitusi (MK)
  • Tidak adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) ——> Ditolak MK
  • Dibubarkannya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi——>Diterima.

    Mahkamah Konstitusi menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diatur Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah diberi waktu tiga tahun untuk membuat undang-undang khusus pengadilan korupsi.

    Antara anggaran dan hasil
    Keberhasilan KPK mengembalikan uang negara yang dikorupsi dinilai terlalu kecil ketimbang anggaran negara yang dikeluarkan untuk lembaga ini. Dalam tiga tahun (2003-2006), uang negara yang dapat dikembalikan KPK dari para koruptor Rp 50,04 miliar, sedangkan anggaran yang dihabiskan Rp 247,68 miliar.

    Dimas Adityo. Sumber: riset, laporan ICW.

  • No comments: