Wednesday, July 04, 2007

Cinta Sesaat Dua Sejoli

Persaingan antarfaksi Partai Golkar semakin tampak setelah pertemuan Medan yang digalang Surya Paloh. Politikus yang dulu bersatu menghadang Akbar Tandjung kini berebut pengaruh.

JAMUAN itu digelar di ballroom Hotel Hyatt, Yogyakarta, Rabu malam pekan lalu. Tuan rumah adalah Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Tamunya: sekitar 50 orang pengurus Partai Beringin dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di meja tersaji pelbagai jenis masakan Eropa.

Hadir di situ Sri Sultan Hamengku Buwono X, Siswono Yudo Husodo, dan Hatta Mustafa. Ketiganya anggota Dewan Penasihat Golkar. Ada pula Enggartiasto Lukita, Ketua Dewan Pimpinan Pusat. ”Yang ngundang staf Pak Surya melalui SMS,” kata Gandung Pardiman, Ketua Golkar Yogyakarta.

Menurut para peserta, jamuan itu hanya komunikasi biasa antar-kader Golkar. Kebetulan, kata Siswono, Surya berada di Yogyakarta untuk meresmikan 21 puskesmas yang dibangun dari hasil penggalangan dana Metro TV, stasiun televisi miliknya.

Namun dalam ”pertemuan biasa” itu banyak pengurus daerah yang bertanya tentang silaturahmi politik Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar sepekan sebelumnya. Acara di Medan yang dinyatakan sebagai bakal koalisi itu digagas Surya dan Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP. Dalam pertemuan di Hotel Hyatt yang berlangsung hampir dua jam itu, ”Ada yang mendukung, ada pula yang menentang koalisi Medan,” kata Gandung.

Koalisi Medan adalah pangkal perdebatan politikus Beringin. Dalam rapat pleno pengurus pusat yang dipimpin Ketua Umum Jusuf Kalla, Kamis malam dua pekan lalu, sejumlah politikus mempertanyakan peran Surya pada hajatan itu. Mereka yang bersuara keras antara lain Yuddy Chrisnandi, Edison Betaubun, Ricky Rahmadi, Anton Lesiangi, Nudirman Munir, dan Yasril Ananta Baharuddin.

Yuddy, misalnya, menganggap penggalangan koalisi Golkar dengan partai lain bukan wewenang Dewan Penasihat melainkan Dewan Pimpinan Pusat. Anton Lesiangi berpendapat serupa. ”Idenya bagus, tapi salah kaprah,” katanya. Adapun Wakil Ketua Umum Agung Laksono menganggap langkah Surya Paloh membingungkan kader Golkar.

Sebaliknya, Siswono Yudo Husodo menyebut pertemuan di Medan sebagai ”komunikasi politik kolosal”. Menurut dia, pertemuan itu dilakukan atas restu pengurus pusat. Buktinya, kata Siswono, Sekretaris Jenderal Soemarsono, Ketua Fraksi Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso, serta beberapa pengurus teras partai itu hadir dalam pertemuan Medan.

l l l

SILATURAHMI Golkar dan PDIP yang digelar di Hotel Tiara Medan dihadiri oleh ribuan pendukung kedua partai. Ada yang datang dari Sumatera Utara, Aceh, juga Yogyakarta. Gambar besar Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla dipajang di panggung. Begitu pula poster Surya Paloh dan Taufiq Kiemas.

Taufiq menyatakan perlunya kedua partai bersatu agar mendulang 60 persen suara pada Pemilihan Umum 2009. ’’Jika sudah menang pemilu, baru kita tentukan siapa presidennya. Bisa dari Golkar dan bisa juga dari PDI Perjuangan,’’ kata suami Megawati Soekarnoputri itu. Surya Paloh berpidato penuh semangat. ”Kalau kekuatan ini dipertahankan, akan menjadi peluang yang besar,” katanya (lihat Tempo, 1 Juli 2007).

Tapi politikus kedua partai mengakui terlalu dini menganggap pertemuan Medan merupakan benih koalisi. Pidato menggebu tentang koalisi dalam acara itu dianggap sebagai bumbu penyedap semata. ”Itu kan pertemuan partai politik, bukan pertemuan siswa taman kanak-kanak. Tentu saja ada gagasan, pemikiran, retorika, dan dinamika,” ujar Surya Paloh.

Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP di DPR, menganggap Golkar tetaplah lawan pada Pemilu 2009. Untuk itu, ia menyatakan bahwa partainya akan tetap berhati-hati dalam membangun kerja sama dengan Beringin. ”Jadi, belum ada yang khusus,” katanya menambahkan.

Kendati begitu, kedua partai sepakat bahwa pertemuan Medan dibuat untuk ”membangun kebersamaan” dalam pembahasan paket Undang-Undang Politik. Hasilnya, pekan lalu, kedua partai berbagi ketua panitia khusus yang akan membahas undang-undang itu.

Dalam pemilihan pada Kamis pekan lalu, Ferry Mursyidan Baldan dari Golkar dipilih menjadi Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Legislatif dan Presiden. Adapun Ganjar Pranowo dari PDIP menempati kursi Ketua Panitia Khusus RUU Partai Politik dan Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Kedua partai memang memiliki kesamaan kepentingan, di antaranya memperbanyak daerah pemilihan pada pemilu legislatif.

Menurut Siswono Yudo Husodo, kedua partai juga bisa bersatu untuk pemilihan kepala daerah. Ia mengklaim, 80 persen dari calon yang diusung Golkar dan PDIP di berbagai daerah bisa menang pemilihan. Contohnya, pemilihan Gubernur Banten. ”Tapi, jika kedua partai berhadapan, yang menang calon dari partai lain,” ia menjelaskan.

Namun tak semua kader Beringin di daerah menyetujui klaim Siswono ini. Bambang Sadono, Ketua Golkar Jawa Tengah, mengatakan bahwa kerja sama di pusat tidak otomatis berjalan di daerah. ”Analoginya begini, bisa saja selaku orang tua, pengurus pusat Golkar dan PDIP berniat besanan. Namun, belum tentu pengurus daerah sebagai anak sama-sama suka,” kata Bambang bertamsil.

Yang lain menilai, pertemuan Medan adalah akibat dari kekecewaan Golkar terhadap Presiden Yudhoyono. ”Semacam sinyal dari Golkar bahwa mereka tak puas dengan jatah kekuasaan yang diberikan SBY,” kata mantan Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung.

Saat ini politikus Golkar yang menjadi anggota Kabinet Indonesia Bersatu adalah Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, Paskah Suzeta, dan Andi Matalatta. Beringin, yang memiliki kursi terbanyak di DPR, 128 kursi, menganggap jumlah itu tak cukup.

Seorang tokoh Golkar menyatakan bahwa Surya Paloh pun tak puas dengan Yudhoyono. Surya, kabarnya, sempat dijanjikan untuk menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. ”Nyatanya, jadi anggota pun tidak,” sumber itu menambahkan.

Informasi itu dibantah Surya Paloh. Ia mengatakan Golkar seharusnya puas karena ketua umumnya sudah menjadi wakil presiden. Tentang dirinya, ”Saya nggak pernah dijanjikan, tidak pernah meminta, dan tidak mau jadi apa-apa,” kata Surya.

Seorang bekas petinggi Golkar menyebutkan pertemuan Medan adalah buah dari lemahnya kendali Jusuf Kalla terhadap Beringin. Itu sebabnya, Surya Paloh bisa leluasa bermain politik membawa bendera partai. Padahal, sebagai Ketua Dewan Penasihat, tugas Surya hanya memberikan nasihat kepada pimpinan Golkar.

Surya Paloh bukan tak punya kekuatan di Golkar. Menurut sumber itu, ia kini berebut pengaruh dengan Jusuf Kalla dan Agung Laksono. Di luar mereka, masih ada faksi lain di bawah kendali Aburizal Bakrie, Ginandjar Kartasasmita, Fahmi Idris, dan Sri Sultan.

Tokoh-tokoh itu oleh Akbar Tandjung disebut ”Kekuatan Delapan Penjuru Angin”. Merekalah yang menentang Akbar dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, tiga tahun lalu. Ketika itu Akbar tersingkir dari kursi ketua umum dan Jusuf Kalla yang kala itu sudah menjadi wakil presiden menggantikannya.

Kata seorang tokoh senior Beringin, Jusuf Kalla sebenarnya hanya bisa mengendalikan sebagian kecil kepengurusan partai—umumnya yang berasal dari Makassar, daerah asal Kalla. ”Surya Paloh dan Agung Laksono justru memiliki akar lebih kuat,” kata sumber itu.

Mereka yang masuk kelompok Surya Paloh antara lain Enggartiasto Lukita, Syamsul Muarif, Yorries Raweyai, Teuku Nurlip, dan Burhanudin Napitupulu. Adapun barisan Agung Laksono adalah orang-orang Kosgoro di Golkar, serta politikus seperti Yuddy Chrisnandi.

Kekuatan kelompok Surya tampak saat penentuan pengisi kursi Ketua Bidang Keagamaan yang ditinggalkan Yahya Zaeni, Februari lalu. Menurut sumber itu, Jusuf Kalla waktu itu mencalonkan Ferry Mursyidan Baldan, sementara Surya menyokong Priyo Budi Santoso. Hasilnya: Priyo yang terpilih.

Surya kemudian juga menyokong Priyo dalam penentuan ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, menggantikan Andi Matalatta yang menjadi menteri. Jusuf Kalla, sekali lagi, menyokong Ferry Mursidan. Hasilnya idem ditto, Priyo melenggang ke kursi ketua fraksi.

Namun Surya Paloh membantah adanya faksi dalam tubuh Golkar. Menurut dia, perbedaan pandangan dalam organisasi sebesar Golkar adalah hal lazim. ”Kalla ketua umum, saya ketua dewan penasihat. Sudah pasti satu, kami saling mengisi,” katanya.

Pertemuan Golkar dan PDIP di Medan bagaimanapun telah memancing partai lain berbuat serupa. Selasa lalu, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Bintang Reformasi, Partai Damai Sejahtera, dan Partai Bintang Bulan bertemu di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta (lihat Teknik Mengunci Para Kurcaci).

Menurut penggagasnya, pertemuan itu bukan tandingan atas hajatan Golkar dan PDIP di Medan. ”Kami cuma membahas Rancangan Undang-Undang Partai Politik,” kata Zulkifli Hasan, Sekretaris Jenderal PAN. Bagi Anies Rasyid Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Mulya, ”koalisi” dua partai politik itu bersifat semu. Aliansi partai-partai kecil, kata Anies, juga tidak akan bertahan lama.


Opini

Kemesraan Banteng-Beringin

PDIP lahir dari PDI yang merupakan gabungan dari sejumlah partai politik nasionalis di awal rezim Soeharto. Golkar adalah mesin politik Orde Baru yang dipakai untuk mengebiri partai nasionalis (PDI) dan partai agama (PPP). Dalam hal tidak berafiliasi pada Islam, keduanya memang beririsan.

SIKAP serius tapi santai diperlukan dalam menanggapi pertemuan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Medan, Sumatera Utara, dua pekan lalu. Serius dalam pengertian kita boleh berharap, boleh pula cemas, terhadap implikasi peristiwa tersebut. Santai dalam pemahaman bahwa politik pada akhirnya adalah permainan. ”Koalisi” Banteng dan Beringin—kalau pertemuan Medan bisa kita sebut begitu—adalah fenomena sesaat yang kelanjutannya hanya bisa dijawab dengan mengutip selarik lagu Sophia Latjuba, ”Kita lihat saja nanti….”

Mereka yang menaruh harapan pada pertemuan Medan akan berkata, ”koalisi” ini, jika bisa dibuat permanen, akan memperjelas ideologi partai. PDIP dan Golkar menjadi duet partai nasionalis dan sisanya, partai Islam atau yang berbau Islam, akan menggumpal dalam koalisi yang lain.

Duet PDIP-Golkar juga akan melahirkan pemerintah yang kuat. Presiden yang disokong oleh kedua partai itu tak akan mudah diganggu DPR. Dalam Pemilu 2004, keduanya mendapatkan 237 kursi legislatif (43,5 persen). Ditambah sedikit dukungan dari partai lain yang ”seideologi”, mereka bisa mendapatkan suara mayoritas.

Dengan modal itu, mereka dapat memperkecil jumlah partai karena aliansi PDIP-Golkar menuntut ditingkatkannya electoral threshold—suara minimal yang diperoleh sebuah partai dalam pemilu agar partai itu bisa ikut pemilu berikutnya. Partai juga tak bisa sembarangan mengusung calon presiden. PDIP, misalnya, berkeras hanya partai atau koalisi partai yang menguasai setidaknya 20 persen kursi DPR yang bisa menyorongkan calon presiden—lima persen lebih tinggi dari yang ditetapkan undang-undang. Yang cemas bukan tak ada. Polarisasi partai nasionalis dan partai agama ditakutkan akan memunculkan konflik ideologis—sesuatu yang berbahaya jika tak dikelola dengan baik.

Pertanyaannya: mungkinkah koalisi permanen PDIP-Golkar itu terjadi? Rasanya sulit. Betul bahwa PDIP dan Golkar sama-sama partai yang dekat dengan cita-cita kaum nasionalis. PDIP lahir dari PDI yang merupakan gabungan dari sejumlah partai politik nasionalis di awal rezim Soeharto. Golkar adalah mesin politik Orde Baru yang dipakai untuk mengebiri partai nasionalis (PDI) dan partai agama (PPP). Dalam hal tidak berafiliasi pada Islam, keduanya memang beririsan.

Tapi, dalam sejarahnya, mereka tak juga setia pada cita-cita ”ideologis” itu. Menyadari bahwa pemilih Islam bisa dirangkul, Maret lalu PDIP mendirikan sayap Islam bernama Baitul Muslimin Indonesia. PDIP pulalah yang menjadi penyokong disusunnya rancangan peraturan daerah berbasis Injil di Manokwari, Papua, belum lama ini. Golkar idem ditto. Di sejumlah kabupaten dan kota, partai ini justru menjadi penyokong disahkannya peraturan bernuansa syariat Islam.

Sejarah juga menunjukkan bahwa kedua partai itu kerap kawin-cerai karena kepentingan jangka pendek. Pada 1999, misalnya, Golkar bergabung dengan kelompok Poros Tengah untuk mendukung Abdurrahman Wahid sebagai presiden, sementara PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri. Dua tahun kemudian, keduanya bersatu untuk menjatuhkan Gus Dur, yang ditengarai terlibat penyelewengan dana Badan Urusan Logistik.

Menjelang Pemilu 2004, Beringin dan Banteng kembali pisah. Golkar menyokong pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, PDIP mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Ketika Wiranto kalah, Golkar dan PDIP rujuk dengan membentuk Koalisi Kebangsaan. Aliansi itu pun tak berumur panjang. Saat Wakil Presiden Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, Partai Beringin meninggalkan Koalisi Kebangsaan dan menjadi partai pemerintah.

Kini di Medan keduanya ”rujuk” lagi. Dari pernyataan politikus kedua partai, segera tercium bahwa pemicunya lebih banyak kepentingan jangka pendek. Selain soal electoral threshold tadi, banyak yang meyakini pertemuan Medan sebagai ”sinyal kekecewaan” yang dikirim Golkar kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang perombakan kabinet belum lama ini, Golkar menyorongkan 10 nama calon menteri. Nyatanya, Yudhoyono hanya menyerap satu orang.

Golkar merasa tak lagi dipedulikan oleh Yudhoyono. Apalagi terdengar kabar Presiden kini akrab dengan Akbar Tandjung—bekas Ketua Umum Golkar dan seteru Jusuf Kalla dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali, Desember 2004. Akbar saat ini adalah Ketua Dewan Penasihat Barisan Indonesia—organisasi massa yang dibentuk oleh kalangan dekat Yudhoyono. Motivasi lain ”rujuk Medan”, seperti diakui petinggi PDIP dan Golkar, adalah keinginan kedua partai untuk bergandeng tangan memenangi pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah.

Dengan kata lain, pertemuan Medan lebih banyak diwarnai alasan pragmatis ketimbang cita-cita luhur membangun koalisi permanen. Dalam politik, kawin-cerai itu biasa. Selebihnya, mari serius tapi santai….



Budi Setyarso, Erwin Dariyanto, Sohirin (Semarang)


Komentar:

Kita lihat saja keberpihakan kepada rakyat

No comments: