Tuesday, July 03, 2007

Uang Muka Calon Gubernur

sis kesibukan Slamet Kirbiantoro, 59 tahun, sudah menurun akhir-akhir ini. Usai bertarung dalam bursa calon Gubernur DKI Jakarta, ia mengaku babak belur. Selain namanya tidak lolos sebagai calon tetap, pensiunan jenderal itu kini mengaku harus menanggung banyak utang. Tanggungan kepada pihak ketiga ini, katanya, adalah biaya pengeluaran ketika dia mencalonkan diri sebagai peserta pemilihan kepada daerah (pilkada) DKI Jakarta.

Pada bursa pemilihan calon Gubernur Jakarta yang berlangsung selama setengah tahun terakhir, pensiunan jenderal bintang dua kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, 18 Maret 1948, itu mengaku "diperas" oleh sejumlah partai politik. Agar namanya masuk sebagai calon tetap, mantan Pangdam Jaya itu telah mengeluarkan dana sejumlah Rp 2,25 milyar. Dana ini diberikan kepada pengurus partai agar dirinya lebih diperhitungkan.

Sumber Gatra yang dekat dengannya mengungkapkan, dana tersebut disetor kepada pengurus dua partai besar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Masing-masing sebesar Rp 1 milyar dan Rp 1,25 milyar. Kirby, demikian alumnus Akademi Militer tahun 1970 itu dipanggil, mengaku diberi janji manis calon tetap Gubernur atau Wakil Gubernur DKI.

Untuk itulah, mantan Komandan Satuan Intelijen Badan Intelijen ABRI (BIA) tersebut mengaku tak ragu melepas fulus. Setoran itu, katanya, diberikan langsung kepada pengurus teras partai politik bersangkutan. Penyerahannya tidak kepada bendahara atau ketua partai secara formal, melainkan diterima perorangan. Tidak pula disertai tanda terima atawa tanda bukti yang lain. Yang jelas, katanya, di antara penerimanya adalah pengurus partai yang sedang pada "posisi puncak". Dana yang digelontorkan Kirby itu disetor dalam sembilan giro bilyet dengan pecahan Rp 250 juta.

Rinciannya, lima giro diserahkan kepada pengurus partai berlambang banteng gemuk, sisanya diberikan kepada pengurus partai berlogo Ka'bah. Setoran itu mulai diberikan sejak enam bulan lalu. Intensitasnya semakin meningkat menjelang penentuan calon tetap, akhir Mei lalu.

Rupanya janji manis partai politik tak sama dengan janji prajurit. Meski sudah kadung memberi setoran, nama Kirby tak nongol sebagai calon jadi. PDIP dan PPP, yang merupakan bagian dari 16 partai yang tergabung dalam Koalisi Jakarta, malah mengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto.

Merasa tertipu, Kirby bermaksud menagih kembali dana yang telanjur disetorkannya. Sayang, itu tak mudah. Rombongan tujuh orang yang diutusnya menagih ke kantor PDIP DKI Jakarta, Kamis tiga pekan silam, berujung bentrok dengan satgas tuan rumah. Seorang penagih, Ahmad Soleh, terluka di tangan kena sabetan belati. Peristiwa ini tengah ditangani Polres Metro Tebet, Jakarta Selatan.

Beberapa calon gubernur yang namanya sempat muncul dalam bursa penjaringan pilkada mengaku diporoti partai politik. Jumlah totalnya belasan milyar rupiah. Selain Slamet Kirbiantoro, tokoh lain yang mengaku diporoti adalah Mayjen (purnawirawan) Edi Waluyo sebesar Rp 4 milyar, Mayjen (purnawirawan) Djasri Marin Rp 2,5 milyar, dan Mayjen (purnawirawan) Asril Tandjung Rp 3,7 milyar.

Selain yang memilih blak-blakan, disinyalir banyak "korban" lain yang memilih diam. Beberapa nama jenderal dan sipil sempat beredar pada babak penjaringan bakal calon gubernur. Antara lain Agum Gumelar, Bibit Waluyo, Hendro Priyono, Sjafrie Sjamsoeddin, Farial Sofyan, dan Faisal Basri.

Aliran dana itu tentu saja membuat pundi-pundi partai makin gemuk. Di pihak lain, calon yang bersangkutan merasa diperas. Padahal, untuk meraih peluang yang lebih besar, sang calon sering masuk melalui beberapa pintu partai politik. Masing-masing punya harga sendiri.

Djasri Marin, misalnya, mengaku masuk melalui berbagai pintu. Pada awal penjaringan, ia mengaku didukung delapan partai Koalisi Jakarta. Dukungan ini tentu saja tak gratis. Terang saja, kantongnya jadi kebobolan. "Duit kami dirampok, tapi mereka mendukung yang lain," kata Djasri Marin, salah satu calon yang kandas melalui pintu PPP dan PDIP. Kepada Gatra ia mengaku telah mengeluarkan dana besar, tapi ternyata cuma gula-gula politik. "Saya malas ngomong itu lagi," katanya setengah frustrasi.

Ia melihat, uang yang telah dikeluarkan bukanlah investasi politik. Karena partai tidak memberi kesempatan kepadanya bertarung dalam kancah pilkada. "Ini kan tidak fair," ujarnya. Selama masa penjaringan saja, mantan Komandan Puspom TNI itu mengaku merogoh kocek sebesar Rp 3 milyar. "Untuk mendaftar saja, mereka memungut hingga Rp 50 juta," katanya.

Sesudah itu, harus menyumbang untuk setiap kegiatan partai, misalnya musyawarah kerja atau rapat kerja khusus, bahkan acara gerak jalan. Djasri mengaku, pengeluaran sebesar itu dikucurkan kepada PDIP dan PPP.

Partai-partai besar memang dituding paling banyak menerima dana setoran. Meski hal ini bukan lagi desas-desus, PDIP memilih menutup kasus ini. "Kami sudah menutup kasus ini karena penerimaan partai tidak pernah terbukti," kata salah satu Ketua DPP PDIP, Tjahjo Kumolo, kepada Gatra.

Padahal, di awal kasus ini merebak, partai tersebut langsung memeriksa lima pengurus daerah. Mereka adalah Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Agung Imam Sumanto, Wakil Ketua Bidang Pemilu Audi I.Z. Tambunan, Wakil Ketua Bidang Organisasi Supandi, Wakil Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa Marsudi Prasetya Edi, dan Sekretaris Eriko Sotarduga.

Namun serentetan aksi partai ini terkesan hanya formalitas. Penutupnya tetap happy ending. Menurut Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDIP DKI Jakarta, Audi Tambunan, pihaknya merasa malu dengan tudingan para calon yang tak lolos itu. Ia menjelaskan, dalam bursa pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang lalu, pihaknya tidak menerapkan tarif mahar politik seperti ditudingkan selama ini. Namun ia mengakui adanya sejumlah setoran giro atau uang tunai yang diberikan beberapa calon kepada partai. "Itu dana sosialisasi," tuturnya.

Dana tersebut digunakan partai untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan kepentingan pencalonan yang bersangkutan. Hal ini, katanya, secara kelembagaan dapat dibenarkan. "Kami tidak pernah meminta uang untuk alasan yang tidak jelas," ia menambahkan. Audi mencontohkan, untuk sebuah pertemuan yang diselenggarakan antara kandidat dan kader di tingkat cabang, seluruh biaya dibebankan kepada kandidat, mulai sewa tempat, makan, minum, hingga seragam.

Biaya untuk acara seperti ini bisa cukup tinggi, terutama apabila pertemuan atau acara lain diselenggarakan di hotel atau gedung. Itu semua, tambahnya, tak lebih dari biaya politik yang wajar harus dikeluarkan. "Tak mungkin mereka mau gratis," katanya. Atas segala tudingan yang diarahkan kepadanya, ia mengaku siap memberikan jawaban. Bahkan ia siap berhadapan di depan hukum. "Daripada mengirim orang yang membuat keributan," ujar Audi.

Mujib Rahman dan Bernadetta Febriana
[Nasional, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 28 Juni 2007]

Komentar:
Mantan Jendral saja di bohongi apalagi rakyat jelata seperti kita.
Hanya masalahnya beberapa orang yang telah dibohongi termasuk kita atau rakyat lainnya mau nggak memilih partai tersebut lagi di pemilu-pemilu selanjutnya.
Hal tersebut sudah terang benderang ..

No comments: