Thursday, September 20, 2007

Soeharto Pencuri Kekayaan Negara Nomor Satu di Dunia.

Perserikatan Bangsa Bangsa (Senin, 17 September 2007), Soeharto Pencuri Kekayaan Negara Nomor Satu di Dunia.

“Soeharto, pencuri harta negara nomor satu di dunia.” Begitulah kesimpulan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam peluncuran “Stolen Asset Recovery Initiative,” di Markas Besar PBB, New York, pada hari Senin (17 September 2007). Artinya, menurut PBB Soeharto Inc., adalah “keluarga pencuri nomor satu di dunia.” Buku panduan ini dikeluarkan PBB dan Bank Dunia, peluncurannya dihadiri Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick, dan Antonio Maria Costa Direktur Eksekutif U.N. Office on Drugs and Crime (UNODC), Badan PBB yang bertanggungjawab untuk inisiatif ini. Termasuk Adiyatwidi Adiwoso, Deputi Perwakilan Tetap RI untuk PBB, dan Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Internasional Deplu RI, serta para pejabat tinggi sejumlah negara anggota PBB.

Berapa harta Negara yang dicuri Soeharto menurut PBB? Sejak berkuasa pada 1967-1998 harta curian tersebut bernilai 15-35 miliar dolar AS. Adapun daftar lengkapnya yang dipersiapkan oleh Transparency International (TI) dan Bank Dunia berbunyi, “Daftar Perkiraan Dana yang Kemungkinan Dicuri dari Sembilan Negara” adalah :

(1) Soeharto, Indonesia, (1967-1998) senilai 15-35 miliar dolar AS;

(2) Ferdinand E. Marcos, Filipina, (1972-1986) senilai 5-10 miliar dolar AS;

(3) Mobutu Sese Seko, Kongo, (1965-1997) senilai 2-5 miliar dolar AS;

(4) Sani Abacha, Nigeria, (1993-1998), senilai 2-5 miliar dolar AS;

(5) Slobodan Milosevic, Serbia/Yugoslavia, (1989-2000) senilai satu miliar dolar AS;

(6) Jean-Claude Duvalier, Haiti, (1971-1986) senilai 300-800 juta dolar AS;

(7) Alberto Fujimori, Peru (1990-2000), senilai 600 juta dolar AS;

(8) Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996-1997), senilai 114-200 juta dolar AS;

(9) Arnoldo Aleman, Nikaragua (1997-2002), senilai 100 juta dolar AS;

(10) Joseph Estrada, Filipina (1998-2001) senilai 78-80 juta dolar AS (Lihat http://siteresources.worldbank.org/NEWS/Resources/Star-rep-full.pdf)

Bila Joseph Estrada mantan Presiden Filipina (1998-2001) hanya mencuri uang Negara senilai 78-80 juta dolar AS (sekitar 800 miliar rupiah) dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada hari Rabu (12 September 2007) oleh Sandiganbayan, pengadilan khusus korupsi Filipina, dalam persidangan hampir enam tahun lebih.

Soeharto yang mencuri uang Negara, ambil minimal saja 350 triliun rupiah sesuai pengumuman PBB bukan 600 triliun rupiah atau 730 triliun rupiah (Time), seharusnya dihukum 437,5 kali seumur hidup!

Mari berburu harta Soeharto Inc., “keluarga pencuri harta rakyat nomor satu di dunia,” bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa di seluruh dunia!



source: http://soehartoincbuster.org/2007/09/stop-press-perserikatan-bangsa-bangsa-senin-17-september-2007-soeharto-pencuri-kekayaan-negara-nomor-satu-di-dunia/

Ketua MPR Minta Kejagung Proaktif Sikapi Laporan StAR

2007-09-20 20:28:00

Anwar Khumaini - detikcom

Jakarta - PBB dan Bank Dunia melansir data yang menyebut mantan Presiden Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia selama memerintah tahun 1967-1998. Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta proaktif menyikapi data itu.

"Saya minta Kejaksaan untuk proaktif dalam menyikapi laporan StAR tersebut," kata Ketua MPR Hidayat Nur Wahid buka puasa bersama di kediaman dinas Ketua DPR Agung Laksono, Jl Widya Chandra III, Jakarta, Kamis (20/9/2007).

Pada kesempatan itu, Hidayat juga menyampaikan dukungannya terhadap Presiden SBY yang akan berkunjung ke AS dalam rangka mencari kebenaran data PBB tersebut.

"Untuk membuktikan kevalid-an itu, presiden rencananya akan ke AS. Ini langkah bagus. Masak sih data PBB nggak valid?" ujarnya.

Hidayat juga menyambut baik niat pemerintah Swiss yang ingin membantu mengusut kekayaan Soeharto. Sebab, hal itu adalah bentuk dukungan internasional untuk mengembalikan aset rakyat yang diduga disimpan Soeharto di luar negeri. (irw/ary)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/202831/idnews/832613/idkanal/10

Laporan BD-PBB, Bukti Baru Seret Kasus Korupsi Soeharto

2007-09-20 20:24:00

M. Rizal Maslan - detikcom

Jakarta - Laporan Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bahwa Soeharto masuk daftar pencuri aset negara terbesar di dunia, bisa dijadikan bukti baru dugaan pidana korupsi mantan penguasa Orde Baru itu. Namun, sebelumnya Kejaksaan Agung harus membuka dulu surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Informasi ini bisa dijadikan bahan untuk menyelidiki kembali kasus Soeharto. Ini perlu ditindaklanjuti melalui proses domestik, cabut dulu SP3 itu," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zein, dikantornya Jl Prambanan, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (20/9/2007).

Menurut Patra, laporan ini bisa dijadikan momentum pencabutan SP3 bisa dilakukan pada saat ini. Alasan yang bisa digunakan, karena ada indikasi kalau kesehatan Soeharto sudah pulih.

"Buktinya dia bisa memberikan kuasa kepada pengacaranya untuk melakukan tuntutan kepada majalah TIME. Itu artinya dia sehat," papar Patra.

Seperti diketahui, Bank Dunia dan PBB menyatakan, prakarsa Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) tersebut dibuat untuk membantu negara berkembang mendapatkan kembali asetnya yang telah dicuri dan disembunyikan di luar negeri oleh para penguasa korup, termasuk Soeharto yang nilainya mencapai US$ 15 miliar-35 miliar.

Dijelaskan Patra, bisa saja laporan ini ditindaklanjuti oleh mekanisme pengadilan internasional, yaitu International Court of Justice di Den Haag, Belanda. Namun, persoalaannya harus kembali pada pembuktian pidana dulu di dalam negeri.

Bila memang peradilan di dalam negeri dirasakan tidak fair, maka pemerintah RI bisa mengajukan ke mekanisme Internasional itu. "Persoalannya pemerintaahan SBY mau apa tidak, karena ICJ itu harus diajukan pemerintah dan harus ada pembuktian pidana di dalam negeri dulu," imbuhnya. (zal/ary)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/202410/idnews/832611/idkanal/10

Aneh, MA Menolak Diaudit




Kamis 20 September 2007, Jam: 19:38:00

JAKARTA (Pos Kota) - Perkelahaian antar pelajar saat ini mulai jarang terdengar. Sebaliknya saat ini perkelahaian antar lembaga negara makin sering terjadi, seperti yang sekarang ini antara BPK dan MA

Tidak tanggung-tanggung, Ketua BPK Anwar Nasution pun sampai melaporkan lembaga yang disebut benteng terakhir keadilan itu ke markas besar kepolisan. Ketua DPR Agung Laskono sangat menyayangkan terjadinya masalah dua lembaga negara tersebut.

"Semestinya kedua pemimpin lembaga negara itu menyadari, atau bisa juga menyelesaiakannya masalah tersebut melalui Mahkamah Konstitusi," cetusnya, kemarin.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfahri Harahap menganggap tidak wajar dan aneh sikap Ketua MA Bagir Manan yang menolak diaudit oleh BPK. Menurutnya tindakan itu tidak patut.

"Itu sama artinya MA tidak paham aturan sehingga sangat disesalkan. Sebagai benteng terakhir keadilan seharusnya MA memberi contoh yang baik pada masyarakat dan lembaga negara untuk mentaati aturan," jelasnya.

URUSAN MK
Sementara itu, kewenangan untuk mengatasi konflik antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Mahkamah Agung (MA) ada pada Mahkamah Konstitusi (MK). Bisa dilakukan uji materiil (judicial review), atau pemerintah dan DPR mengajukan revisi UU yang menyangkut kedua lembaga tinggi negara itu.

Namun, kata Ketua MK Jimly Asshiddiqie, sebaiknya BPK dan MA duduk bersama untuk menyelesaikan konflik mereka. Kalau sulit, bisa melibatkan pemerintah atau sekalian DPR.

"Konflik timbul karena baik BPK maupun MA berpegang pada peraturan (UU) yang sama kuatnya, masing-masing ngotot merasa paling benar. Jadi kalau mau merevisi undang-undang, pemerintah dan DPR harus dilibatkan," jelas Jimly dalam konperensi pers di kantornya, Kamis.

Konflik bermula dari uang biaya perkara di MA. BPK berpendapat apa saja yang masuk ke lembaga negara adalah uang negara. Tapi MA merasa biaya perkara bukan masuk uang negara. Akhirnya BPK melaporkan pimpinan MA ke Mabes Polri, karena menghalang-halangi upaya audit yang akan dilakukanya.

(endang/untung)

Konflik BPK-MA Bisa Diselesaikan Mahkamah Konstitusi

2007-09-20 19:25:00

M. Rizal Maslan - detikcom

Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai sengketa perbedaan penafsiran antara BPK dan MA terkait uang perkara bisa diuji Mahkamah Konstitusi (MK). Selain ke Polri, KPK juga bisa menindaklanjuti laporan BPK tersebut.

"Caranya BPK bisa mengajukan uji materi UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara terkait Pasal 1 ayat 1 tentang definisi keuangan negara," kata Ketua YLBHI Patra M Zein dalam jumpa pers di kantor YLBHI, Jl Prambanan, Menteng, Jakarta, Kamis (20/9/2007).

Diakui Patra, dalam UU 24/2003 tentang MK, khususnya Pasal 65 menyatakan MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945. Namun,BPK tetap bisa menyelesaikan persoalan dengan MA melalui MK dengan cara mengajukan uji materi tentang perbedaan penafsiran apakah uang perkara itu uang negara atau bukan.

"Jadi nanti para hakim MK mengeluarkan keputusan apakah keuangan negara mencakup juga biaya perkara di MA. Apabila hakim MK memutuskan demikian, tidak ada alasan bagi MA menolak audit BPK," jelas Patra.

Selain itu, lanjut Patra, sebenarnya yang dimaksud pasal 65 UU MK itu adalah MA tidak bisa menjadi pihak dalam sidang MK hanya untuk wewenangnya dalam proses suatu putusan pengadilan. Bukan soal wewenang biaya perkara.

"UUD 1945 tidak pernah memberi wewenang kepada MA untuk mengumpulkan biaya perkara dan mengelolanya sendiri. Kalau MA menganggap itu wewenangnya, itu bisa diajukan ke MK," jelas Patra.

Ditambahkan Patra, berdasarkan pasal 23E UUD 1945, BPK mempunyai kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. BPK bisa mengajukan penyelesaian ke MK, karena MA selalu berlindung Keputusan Ketua MA No KMA/027A/SK/VI/2000 tentang biaya perkara.

Mengenai usulan Ketua MK Jimly Asshidiqie untuk diadakan mediasi MA-BPK yang mengikutsertakan pemerintah, dimana Jimly sebagai mediator, sah-sah saja. Namun, menurut dia, sebaiknya proses itu dilakukan berdasarkan proses hukum di MK agar ada putusan hukum berkekuatan tetap yang dijadikan pegangan.

"Proses mediasi personal di luar persidangan itu sah saja seperti dalam perkara-perkara perdata. Tapi lembaga negara itu tak bisa diurus sama halnya mengurus sengketa antara individu si A dan si B. Harus melalui proses persidangan MK," imbuh Patra.

Patra menambahkan, proses pemeriksaan secara pidana laporan BPK tentang penolakan audit MA ke Mabes Polri harus tetap dilanjutkan. Bahkan, lanjut dia, BPK harus berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (zal/ary)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/192505/idnews/832599/idkanal/10

Ketua MK: Selesaikan Kisruh BPK-MA di Luar Pengadilan

2007-09-20 19:19:00

Fitraya Ramadhanny - detikcom

Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyarankan kisruh MA-BPK diselesaikan di luar pengadilan. Lembaga peradilan belum tentu menjadi solusi yang memuaskan semua pihak.

"Anjuran saya diselesaikan dulu di luar meknisme pengadilan, karena pengadilan belum tentu menjadi solusi," kata Jimly usai buka puasa bersama di rumah Ketua DPR Agung Laksono, Jl Widya Chandra III, Jakarta, Kamis (20/9/2007).

Jimly menjelaskan, BPK dan MA sama-sama memiliki dasar undang-undang yang mendasari tindakan mereka. MA mengumpulkan biaya perkara berdasarkan KUHAP dan BPK menagih audit berdasarkan UU Keuangan Negara.

"Saya sudah bertemu Pak Bagir dan Pak Anwar. BPK dan MA juga masing-masing membentuk tim yang sudah saling berbicara untuk mencari titik temu masalah ini," jelasnya.

Menurut Jimly, MK bisa menengahi masalah tersebut. Jalurnya lewat proses pengadilan konstitusi secara resmi.

"Kalau ke MK caranya dengan berpekara secara resmi. Keputusannya memang pasti. Tapi kan nanti ada yang menang ada yang kalah," tuturnya.

Jimly menyarankan solusi di tempuh dengan memperbaiki aturan-aturan teknis yang terkait kedua institusi ini. Presiden SBY pun telah diminta untuk ikut mengambil peran.

"Presiden perannya misalnya dengan memperbaiki aturan UU-nya yang artinya DPR juga bisa terlibat," pungkasnya. (ary/ary)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/191903/idnews/832597/idkanal/10

Kesadaran Aparat Hukum Laporkan Harta Kekayaan Paling Rendah

2007-09-20 17:35:00

Erna Mardiana - detikcom

Bandung - Dibandingkan lembaga lain, tingkat kesadaran aparat kepolisian, jaksa, dan hakim merupakan yang paling rendah dalam melaporkan harta kekayaannya. Salah satu penyebabnya, mereka masih belum paham mengisi formulir laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang seharusnya diserahkan ke KPK.

Hal itu disampaikan Koordinator Arsip dan Logistik KPK I Putu Parwata usai sosialiasi LHKPN di hadapan jajaran anggota Polda Jabar di Gedung Bhayangkara, Jalan Cicendo, Bandung, Kamis (20/9/2007). "Dibandingkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif, tingkat kesadaran lembaga yudikatif paling rendah dalam melaporkan harta kekayaannya. Makanya kami jemput bola dengan melakukan sosialiasi ke Polda-Polda," ujarnya.

Putu mengatakan sosialisasi mengenai LHKPN ini masih fokus di Pulau Jawa. Sebelum di Bandung, kata dia, kegiatan serupa juga dilakukan di Provinsi Banten. Rencananya, setelah dari Bandung, pihaknya akan melakukan sosialiasi ke DKI, DIY, Jawa Tengah, dan berakhir di Jawa Timur.

Ketika ditanya berapa persen pejabat yudikatif yang sudah melaporkan harta kekayannya, Putu enggan berkomentar. Dia hanya menyatakan bahwa jumlahnya jauh dibandingkan eksekutif dan legislatif. "Untuk masalah data, saya tidak bisa bicara di sini," ujar Putu.

Dia menambahkan setelah sosialisasi ini, pihaknya menargetkan pengembalian formulir dilakukan dalam dua bulan ke depan. "Target sosialisasi Pulau Jawa akhir bulan ini. Untuk target pengembalian, karena ini mendekati bulan puasa, mungkin dua bulan (November)," kata dia.

Sementara itu, Kapolda Jabar Irjen Pol Sunarko Danu Ardanto mengatakan dirinya dan seluruh jajaran kepolisian di Jabar siap menyerahkan laporan harta kekayaan mereka bulan November mendatang. "Loh kan sudah diatur dalam UU, keputusan presiden bahkan juga perintah dari kapolri. Bagaimana pun kami harus melakukannya," tandas dia.

Dalam acara sosialisasi ini, kata Sunarko, dirinya menghadirkan hampir seluruh jajaran kepolisian di Jawa Barat mulai kapolda, kapolwil, kapolwiltabes, sampai penyidik. "Sebab, penyidik punya peran yang strategis dan titik singgungnya dalam kolusi itu ada. Penyidik juga mempunyai kewajiban melaporkan," terang Sunarko. (ern/asy)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/173510/idnews/832578/idkanal/10

Orang Gus Dur: Negeri Ini Bukan Milik Pengamat Saja

2007-09-20 10:31:00

Muhammad Nur Hayid - detikcom

Jakarta - Para pengamat pesimistis Gus Dur mampu mendulang sukses pada Pilpres 2009. Namun tanggapan itu dianggap angin lalu oleh orang-orang Gus Dur.

"Biasalah kalau para pengamat itu berbeda pendapat soal sikap politik Gus Dur. Tapi kan Anda harus ingat, negeri ini bukan hanya milik pengamat," kata anggota FKB DPR RI Abdullah Azwar Anas pada detikcom, Kamis (20/9/2007).

Politisi muda PKB ini menilai sikap berani Gus Dur untuk kembali mencalonkan diri sebagai capres pada pemilu 2009 bukan tanpa perhitungan matang. Apalagi konteks deklarasi Gus Dur sebagai capres karena merespons realitas masyarakat yang kecewa dengan pemerintahan SBY karena banyak janji-janji kampanyenya yang tidak terwujud.

"Majunya kembali Gus Dur dalam rangka untuk konsolidasi demokrasi dan konsolidasi internal partai. Selain itu juga karena Gus Dur menangkap kekecewaan masyarakat pada pemerintah," tambah Azwar.

Anas menyambut baik langkah cepat Gus Dur tersebut. Alasannya selain akan menyatukan seluruh elemen partai untuk bekerja lebih keras, juga akan dapat menjadi posisi tawar bagi PKB dalam pemilu 2009.

"Saya mendukung jika Gus Dur maju lagi. Karena beliaulah representasi dari masyarakat yang selama ini tidak terurus oleh pemerintah, apalagi dalam UU pilpres ada kencenderungan untuk diskriminasi," pungkas Anas. (yid/nrl)

(news from cache) - Reload from Original

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/103112/idnews/832239/idkanal/10

Gus Dur Bisa Munculkan Huru-hara Politik Baru

2007-09-20 09:06:00
Ikut Pilpres 2009
Jakarta - Mandat sejumlah kiai sepuh kepada Gus Dur untuk maju dalam Pilpres 2009 menuai kritik. Apa yang bisa ditawarkan Gus Dur kepada rakyat Indonesia? Jangan-jangan hanya memunculkan huru-hara baru.

Sebab situasi sekarang berbeda dengan kondisi saat ketua Dewan Syuro PKB itu maju menggantikan BJ Habibie.

Saat itu pengaruh Gus Dur sebagai tokoh bangsa masih sangat besar di mata masyarakat Indonesia. Namun pengaruh tersebut sedikit demi sedikit mulai terkikis ketika dia berkuasa sebagai Presiden RI keempat.

Jika Gus Dur maju lagi dalam pilpres 2009, orang akan mengalami de javu, balik ke situasi yang pernah dialami.

Saat masih menjadi tokoh alternatif dan belum pernah mencicipi kursi RI 1, menurut peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Isra Ramli, orang mengakui Gus Dur mampu menyatukan berbagai kalangan. Bahkan mampu menarik simpati.

Namun setelah berada di kekuasaan, Gus Dur tampil dengan dominasi dan hegemoni yang sangat eksesif (mau menguasai sendiri).

"Dan itu kemudian tidak diterima orang-orang yang merasa Gus Dur jadi presiden karena mereka. Mereka kemudian membuktikan Gus Dur tidak sehebat yang dikira," tutur Isra kepada detikcom, Kamis (20/9/2007).

Meski komitmennya menjaga pluralisme diwujudkan, banyak pihak yang kecewa. Lewat Poros Tengah, para elit politik itu pun sepakat menjatuhkan Gus Dur.

Nah, saat kembali berada di luar kekuasaan, pengaruh Gus Dur tidak seperti saat dia belum menjadi presiden.

"Karena itu peluang Gus Dur sangat kecil. Bahkan survei yang pernah dilakukan kami, peluangnya sama sekali tidak ada. Apalagi konsern publik saat ini pada peningkatan kesejahteraan," ujar dia.

Isu yang diusung saat ini adalah masalah ekonomi yang menyangkut kesejahteraan masyarakat.

"Nah, yang mau ditawarkan Gus Dur nanti apa. Orang akan melihat Gus Dur hanya akan membuat huru-hara politik baru. Dan, dari segi ekonomi dia tidak kompeten. Jadi dari segi demand, dia bukan pemimpin yang pas untuk saat ini," katanya.

Tidak hanya Gus Dur, peluang Megawati Soekarnoputri pun kecil. Karena kualitas kedua tokoh ini sudah terbukti saat berkuasa. Keduanya dianggap cepat mengempiskan harapan masyarakat.

"Kalau pun mau dinaikkan tokoh lama, kalau bisa yang belum pernah berkuasa. Yang sudah pernah sudahlah," pungkas Isra. (umi/nrl)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/090643/idnews/832184/idkanal/10

Gus Dur Lebih Baik Jadi Kingmaker Daripada Jadi King

2007-09-20 09:10:00
Jakarta - Pilpres 2009 akan digunakan Gus Dur untuk kembali unjuk gigi. Namun di tengah kondisi bangsa yang repot, sosok Gus Dur dinilai lebih tepat jika berada di belakang layar.

"Lebih baik PKB mencari calon di luar PKB. Gus Dur lebih baik juga jadi kingmaker daripada jadi king," ujar pengamat politik Arbi Sanit dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (20/9/2007).

Dia menilai, ketika menjadi presiden di 1999, Gus Dur juga tidak memiliki prestasi dan kharisma yang luar biasa. "Kita tahu, saat memerintah dulu Gus Dur juga sering kesulitan memilih orang-orangnya. Jadi, kenapa PKB tidak mencari orang yang lebih sempurna dari Gus Dur," imbuh Arbi.

Bila PKB tidak ngotot mengusung Gus Dur yang antara lain ditempuh dengan merevisi UU Pilpres, Arbi yakin, PKB akan mendapat lebih banyak simpati dan dukungan.

"Mengubah UU Pilpres itu kan tidak urgent. Lebih baik dipakai untuk hal lain saja yang lebih berguna bagi negara. Jangan hanya karena ego golongan atau pribadi saja," tutupnya. (nvt/nrl)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/091005/idnews/832182/idkanal/10

Duit Prajurit di Kantong Para Jenderal


Cover GATRA Edisi 45/2007 (GATRA/Tim Desain)Kejaksaan Agung menyita sejumlah aset pemberian Henry Leo kepada sejumlah purnawirawan jenderal. Nama anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Letjen (purnawirawan) T.B. Silalahi, ikut disebut-sebut menerima rumah senilai Rp 2,5 milyar, selain mantan KSAD Jenderal TNI (purnawirawan) R Hartono.

Nama nama T.B. Silalahi muncul setelah Henry Leo diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung. Dalam pemeriksaan itu, demikian kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Muhammad Salim, SH, Henry Leo mengaku memberikan rumah ke sejumlah jenderal, termasuk T.B. Silalahi. "Henry Leo sendiri yang mengatakan seperti itu," kata Salim. Henry Leo dan tersangka lainnya, mantan Direktur Asabri, Mayor Jenderal (purnawirawan) Subarda Midjadja, kini ditahan di Kejaksaan Agung.

Setelah mendapatkan info itu, kejaksaan pun sigap. Surat penyitaan disiapkan. Menurut sumber Gatra di lingkungan penyidik Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah pula menyetujui surat penetapan itu. Begitu pula keterangan status kepemilikan rumah tersebut dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah didapat. Dalam catatan BPN, kepemilikan rumah itu atas nama seseorang bernama Paul Banuara Silalahi. Menurut sumber Gatra, Paul tak lain adalah putra T.B. Silalahi. "Rumah" tersebut, menurut warga sekitar, pada saat ini dalam penguasaan Tomy Winata.

T.B. Silalahi menyanggah pengakuan Henry Leo itu. Mantan Menpan yang telah diperiksa Kejaksaan Agung, Kamis pekan lalu, ini membantah menerima pemberian rumah dari Henry Leo. Bahkan, kepada Gatra, T.B. Silalahi mengaku tak pernah ikut terlibat maupun mengetahui secara langsung kasus dana prajurit yang membelit Henry Leo dan Mayjen (purnawirawan) Subarda Midjaja. "Saya kan Menpan, sedangkan itu urusan Dephankam (Departemen Pertahanan dan Keamanan)," ujar Silalahi.

Pria kelahiran Pematang Siantar, 69 tahun lalu, itu mengaku tidak pernah menerima rumah dari siapa pun, termasuk dari Henry Leo, selama menjabat sebagai menteri. "Saya sudah punya rumah dinas, ngapain saya terima (rumah) lagi," T.B. Silalahi menegaskan. Menurut pria yang dikenal dekat dengan pengusaha Tomy Winata ini, terseretnya dia dalam kasus dana prajurit yang dikenal sebagai kasus dana Asabri itu terkait pengakuan istri Henry Leo, Iyul Sulinah.

Kepada tim penyidik, Iyul menyebut-nyebut nama T.B. Silalahi sebagai salah satu penerima rumah dari suaminya, Henry Leo. Namun Silalahi menampik kemungkinan melakukan tindakan hukum terhadap Iyul. "Biarlah, saya tak mau memperpanjang, bisa saja dia keliru. Yang penting, saya tidak sembunyi," kata lulusan terbaik Lemhannas tahun 1983 itu.

Sebelum menyerempet T.B. Silalahi, kasus pemberian rumah oleh Henry Leo juga membelit Jenderal (purnawirawan) R. Hartono. Mantan Kepala Staf TNI-AD (KSAD) ini terpaksa berurusan dengan Kejaksaan Agung, Rabu pekan lalu. Hartono yang diperiksa sebagai saksi mengakui telah menerima hadiah berupa rumah dari Henry Leo pada 1995.

Menurut Hartono, rumah yang terletak di Jalan Suwiryo Nomor 7 Menteng, Jakarta Pusat, itu, diberikan ketika dirinya menjabat sebagai KSAD. Namun Hartono mengaku tak tahu alasan di balik pemberian rumah tersebut. "Itu dia, saya nggak tahu (alasan Henry Leo memberikan rumah), mungkin karena saya KSAD," ujar Hartono.

Diduga masih banyak mantan petinggi militer lainnya yang menerima aliran dana terkait dana prajurit.

Hendri Firzani
[Laporan Utama, Gatra Nomor 45 Beredar Kamis, 20 September 2007]

Selidiki Pengaduan BPK Soal MA

Anwar, ”MA tak Bisa Teruskan Tradisi Belanda”

JAKARTA, (PR).-
Penolakan audit Mahkamah Agung (MA) atas penerimaan biaya perkara dari pihak berperkara, diibaratkan Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Anwar Nasution, sebagai cerminan tradisi Belanda. "MA pungut biaya atas dasar aturan sendiri, simpan sendiri, digunakan sendiri. Itu (meniru) tradisi Belanda," kata Anwar Nasution, di Gedung BPK Jakarta, Rabu (19/9).

Penjelasan Anwar Nasution terkait laporan BPK ke Mabes Polri, 13 September, tentang dugaan tindak pidana oleh pimpinan MA, terutama dugaan pelanggaran atas Pasal 24 Ayat (2) UU No. 15/2004, tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal ini menjelaskan, sikap MA menolakiaudit pelanggaran yang dapat diancam sanksi pidana.

Laporan ini mendapat respons dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol. Sutanto, yang menyatakan siap menyelidiki laporan BPK. Lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie pun mengatakan, kasus ini bukan delik pidana, tapi lebih pada sengketa kelembagaan dan MK yang berhak menyelesaikan.

Menurut Anwar, zaman dan UU telah berubah, negara ini tak lagi menerapkan UU Belanda. Karena itu, MA harus tunduk pada UU yang berlaku, di antaranya UU No. 15/2004, tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 20/1997, tentang Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP) dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Setor ke kas negara

Menyangkut biaya perkara, ia mengisbatkan identik dengan PNBP. Sesuai kategorinya, PNBP harus disetor ke kas negara, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan kepada dewan. Karena itu, MA bermaksud mengaudit biaya perkara periode 2005-2006.

"Satu tahun, BPK minta audit biaya perkara MA. Mereka mengulur-ulur waktu. Tak bisa ada kesepakatan karena BPK bukan lembaga pengambil keputusan," kata Anwar. Alasan pentingnya biaya perkara diaudit, menurutnya, nilai masukannya cukup besar.

Mengacu Keputusan Ketua MA (KMA) No. 024/SK/VI/2001, tentang Biaya Perkara Perdata Niaga yang Dimohonkan Kasasi dan Peninjauan Kembali, MA menaikkan biaya perkara 150% sampai 500%. Biaya perkara perdata niaga di tingkat kasasi, dari sebelumnya Rp 2 juta menjadi Rp 5 juta. Sedangkan biaya perkara perdata lain, seperti perkara agama masih Rp 500.000,00.

Sementara itu, Ketua MA Bagir Manan menolak komentar. "Ini kan baru puasa. Kita juga puasa bicara, nanti lebaran saja," katanya singkat. Reaksi senada disampaikan Juru Bicara MA Djoko Sarwoko. "Ini bulan Puasa," katanya.

Namun ia mengaku, staf MA sedang mencari informasi laporan BPK ke Polri. "Kita tidak mau emosional, ini kan belum jelas. Kita pun belum tahu siapa yang dilaporkan, siapa yang melaporkan, dan apa yang dilaporkan," ungkapnya. MA tak keberatan menyetor biaya perkara ke kas negara, asalkan ada payung hukum yang jelas dan pasti.

Reaksi polri

Menurut Sutanto, polisi harus menyelidiki setiap laporan. Kalaupun menjawab, Ia pun akan cek substansi laporan BPK. "Kita telah menyelidikinya," katanya. Laporan apa dan siapa pun yang melaporkan harus ditindaklanjuti. Polri tidak memandang latar belakang pelapornya.

Secara terpisah, Jimly Asshiddiqie menyatakan, perseteruan BPK dan MA bukan ranah pidana, lebih pada persoalan antarlembaga negara. MK lembaga berwenang menjembatani kasus ini. "Yang bisa mengadili lembaga hanya di sini (MK)," katanya.

Ia menyebutkan, kasus ini masuk wilayah Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). MK berhak mengadili karena substansinya bukan menyangkut keputusan MA, tapi kewenangan pengelolaan keuangan. (A-84)***

Wednesday, September 19, 2007

Kasus Genosida, Tokoh Khmer Merah Paling Senior Ditahan

2007-09-19 19:34:00

Nurvita Indarini - detikcom

Phnom Penh - Nuon Chea, tokoh Khmer Merah paling senior, ditahan. Penahanannya adalah bagian dari tindak lanjut penyelidikan kasus genosida di Kamboja beberapa tahun yang lalu.

Pria berjuluk 'Brother Number Two' ini dijemput polisi dan pejabat pengadilan. Dia lantas diterbangkan dari rumahnya yang berada di pinggiran hutan ke Phnom Penh. Surat penahanan dikeluarkan untuk Nuon Chea atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dia akan diajukan ke pengadilan genosida yang mendapat dukungan PBB. Pengadilan akan dimulai pada tahun depan. Demikian dilansir dari bbc.co.uk, Rabu (19/9/2007).

Pol Pot adalah 'Brother Number One' yang telah meninggal pada tahun 1998. Dengan meninggalnya Pol Pot, otomatis Nuon Chea adalah pemimpin paling senior Khmer Merah.

Pria berusia 82 tahun itu adalah ahli hukum yang mendapatkan pelatihan di Thailand. Dalam karirnya, dia cepat naik peringkat dalam jajaran kepemimpinan Khmer Merah.

Banyak yang menilai, Nuon Chea memiliki peran penting sebagai pembuat keputusan dalam rezim tersebut. Rezim itu bermaksud menciptakan masyarakat agraria, namun ternyata malah menimbulkan kematian lebih dari satu juta orang karena kelaparan, penyakit, kerja paksa, dan eksekusi.

Nuon Chea pun telah berulang kali membantah ikut bertanggung jawab atas kematian ribuan warga tersebut. Meski demikian, pada awal tahun ini dia menyatakan kesiapannya untuk menghadapi pengadilan.

Terkait kasus genosida tersebut, tersangka yang ditetapkan baru satu orang. Penahanan telah dilakukan atas Kang Kek Ieu alias Duch pada Juli lalu.

Duch dituduh menjadi kepala penjara S21 di Phnom Penh. Di penjara itulah diperkirakan telah terjadi penyiksaan secara brutal lebih dari 17,000 ribu perempuan, pria, dan anak-anak.

Masih ada empat orang yang kabarnya sedang diselidiki. Namun nama-namanya masih dirahasiakan. Tetapi, beredar kabar, mantan Presiden Khieu Samphan dan mantan Menlu Khmer Merah Ieng Sary menjadi tokoh-tokoh yang tengah diselidiki karena diduga bertanggungjawab atas kasus genosida tersebut. (nvt/nal)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/19/time/193441/idnews/832078/idkanal/10

Eks Bupati Bebas, Gadis Korban Kekerasan Seksual Kecewa

2007-09-19 13:42:00

Gede Suardana - detikcom

Denpasar - Mantan Bupati Karangasem Gede Sumantara dibebaskan dari jeratan kekerasan seksual pada anak di bawah umur oleh PN Karangasem. Korbannya, SWD kecewa dengan putusan tersebut.

"Saya merasa sedih, kecewa dan marah dengan putusan bebas itu. Seolah-olah saya dipojokkan karena dianggap membuat cerita palsu," kata SWD dalam jumpa pres di Kantor Lembaha Bantuan Hukum (LBH) Bali, Jl. Plawa, Denpasar, Rabu (19/09/2007).

Gadis berparas cantik yang masih duduk di SMA ini mengakui bahwa selama persidangan dirinya diculik oleh Sumantara. Ia dibawa ke Jakarta agar tidak bisa memberikan kesaksian dalam persidangan.

"Di Jakarta saya ditekan dan diancam. Jika tidak menuruti keinginannya, keluarga saya akan dimusnahkan," ujarnya terbata-bata.

Selain melakukan ancaman, Sumantara juga dituding telah menyuap keluarganya sebesar Rp 800 juta agar tidak memperpanjang kasus yang melilit kader PDIP Bali ini. "Saya sudah menduga ia akan dibebaskan karena sebelumnya telah mendekati keluarga saya," katanya.

Direktur LBH Bali Agung Dwi Astika mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengajukan kasasi terhadap keputusan PN Karangasem tersebut. "Kita berharap kasus ini mendapatkan perhatian serius dan memperoleh keadilan di depan hukum," katanya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim I Nyoman Sumanada menyatakan tuduhan pelecehan seksual, merayu, atau melakukan tindakan pencabulan lainnya tidak cukup bukti. Keterangan saksi korban tanpa bukti dan saksi-saksi.

Sumantara bebas dari tuntutan JPU selama 6 tahun penjara. Ia dijerat pasal 81 dan 82 UU No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Ia dituduh melakukan pelecehan seksual dengan seorang siswa di bawah umru berinisial SWD. (gds/asy)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/19/time/134212/idnews/831930/idkanal/10

Dilaporkan BPK ke Polri, MA Blank

2007-09-19 16:22:00

Jakarta - BPK melaporkan pimpinan MA ke Mabes Polri karena menolak audit soal penggunaan biaya perkara. Namun MA malah belum tahu apa-apa mengenai hal tersebut alias blank.

"Kita belum tahu siapa yang dilaporkan dan masalahnya apa. Kita tunggu nanti sampai Lebaran. Sekarang lagi bulan puasa," kata Humas MA Djoko Sarwoko di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (19/9/2007).

MA hingga kini juga belum menerima surat apapun dari Mabes Polri. Djoko mengaku justru mengetahui informasi itu dari surat kabar.

Mengenai biaya perkara, jelas dia, biasanya dibayarkan oleh pihak ketiga untuk biaya persidangan, bukan keuangan negara. Ini sesuai dengan pasal 121 dan pasal 122 HIR (Herziene Inlandsch Reglement/Hukum Acara Perdata).

Menurut Djoko, BPK bekerja berdasarkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Sedangkan MA berdasarkan Hukum Acara Perdata. "Jadi bagaimana menyatukan keduanya ini," imbuh dia.

"Kalau saat ini, biaya perkara disetorkan ke bank. Ketentuannya harus di bank milik pemerintah. Misalnya nanti ada peraturan yang menyebutkan sisa uang menjadi pendapatan negara bukan pajak, itu silakan saja. Yang penting ada payung hukumnya," pungkas dia.

Pada rapat konsultasi antara BPK dan Komisi III DPR 18 September 2007, Ketua BPK Anwar Nasution menyampaikan, BPK telah melaporkan pimpinan MA ke Mabes Polri pada 13 September 2007 karena lembaga peradilan tertinggi itu menolak audit BPK soal penggunaan biaya perkara.

Sesuai UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pihak yang menghalangi pelaksanaan pemeriksaan dianggap melakukan tindak pidana. (mly/sss)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/19/time/162250/idnews/832019/idkanal/10

Tuesday, September 18, 2007

Gus Dur Dapat Mandat Kiai Sepuh Maju Pilpres 2009

M. Rizal Maslan - detikcom

Jakarta - Selain Megawati, Gus Dur rupanya masih mengincar kursi presiden. Gus Dur mengaku telah mendapat mandat dari kiai sepuh untuk maju dalam Pilpres 2009.

"Saya sudah mendapat mandat dari orang-orang tua. Saya tidak usah sebut namanya. Pokoknya semuanya berumur di atas 75 tahun dan ada yang berumur 93 tahun. Saya baru-baru ini ke sana," ujar eks presiden itu.

Hal ini dikatakan Gus Dur dalam jumpa pers di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2007).

Gus Dur mengaku mendapat mandat itu saat ada pertemuan di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. "Kalau diperintah seperti itu, ya saya siap-siap saja. Toh saya sudah punya konsep untuk menyelesaikan kesulitan ekonomi kita," ujarnya.

Apa konsepnya, Gus? "Saat ini eranya globalisasi perekonomian, jadi kita sudah tidak bisa menghindar lagi. Kita harus berbuat agar tidak terlindas globalisasi," jawabnya.

Ditanya soal pencapresan Megawati, Gus Dur enggan berkomentar. "Saya tidak ngurusin itu, jangan tanya saya. Itu urusannya dia (Megawati)," elaknya santai. (ken/nrl)

(news from cache) - Reload from Original

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/18/time/164932/idnews/831510/idkanal/10

Monday, September 17, 2007

Soeharto Inc., Hidup Soeharto!


http://tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/utama.html
Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007


Laporan Utama
MAHKAMAH Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time. Selain diperintahkan meminta maaf di sejumlah media, majalah itu diwajibkan membayar Rp 1 triliun kepada sang jenderal besar.

Time divonis bersalah karena dua hal. Ilustrasi Soeharto memeluk rumah besar dinyatakan mencemarkan nama baik karena rumah itu dinyatakan bukan milik Soeharto. Berita Time yang menyebut ada transfer uang US$ 9 miliar milik Soeharto dari bank di Swiss ke rekening di Austria dinyatakan tak bisa dibuktikan.

Inilah vonis atas kreativitas dan karya jurnalistik—sebuah lonceng kematian bagi kebebasan pers. Sebaliknya, di tengah gugatan perdata atas harta Soeharto oleh kejaksaan RI, ketetapan ini menjadi angin segar buat Keluarga Cendana.

IA berjas, berpeci, dan mendekap rupa-rupa barang: karung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa, dan rumah mewah bergaya Eropa. Muncul sebagai ilustrasi majalah Time edisi Asia tanggal 24 Mei 1999, ia terkesan kerepotan selain emoh melepas apa yang ada di tangannya.

Itulah Soeharto, sang jenderal besar. Perempuan di piring porselen itu adalah Siti Hartinah, istrinya. Hasil permainan foto dan grafis itu melengkapi tulisan utama di majalah berbahasa Inggris tersebut yang diberi judul The Family Firm (”Perusahaan Keluarga”). Majalah berita dunia ini memang menjadikan berita tentang Soeharto sebagai laporan utama.

Sampul majalah itu adalah wajah Soeharto dengan senyum khasnya. Di bawah gambar ”the smiling general” tersebut tertulis: ”Special Report, Suharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”. Laporan ini terbentang dari halaman 16 hingga 28 majalah itu.

Inilah yang membuat Time—majalah yang untuk edisi Asia berkantor di Hong Kong itu—berurusan dengan pengadilan Indonesia. Soeharto, yang tersinggung gara-gara artikel ini, menggugat Time ke meja hijau. Sang Jenderal Besar merasa harga dirinya tercemar lantaran tulisan Time sepanjang 13 halaman itu. Senin pekan lalu, juru bicara Mahkamah Agung, Nurhadi, menyatakan Mahkamah memenangkan gugatan Soeharto. Majalah itu tak hanya diperintahkan membayar ganti rugi Rp 1 triliun, tapi juga harus meminta maaf kepada Soeharto lewat sejumlah media, baik media nasional maupun asing.

”Pak Harto senang mendengar kabar itu,” kata Juan Felix Tampubolon. Bersama pengacara Soeharto lainnya, Rabu Sore pekan lalu, Juan Felix menemui Soeharto di kediamannya. Adapun dari keluarga Soeharto tak ada yang bersedia mengomentari keputusan ini. Ketika Tempo mengontak salah satu putri Soeharto, Siti Hediati, telepon selulernya langsung dimatikan.

l l l

ISI liputan majalah itu, sesuai dengan judulnya, memang dramatik. Time menggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$ 15 miliar. Kekayaan itu terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya. Padahal gaji Soeharto sendiri hanya kurang-lebih 15 juta perak per bulan.

Menurut Time, kekayaan Soeharto juga tersimpan di bank di Swiss. Hasil penelusuran Time menemukan kekayaan Keluarga Cendana tak hanya berupa deposito atau duit di bank, tapi juga benda berharga, tanah, dan properti. Tak hanya di Indonesia, tapi juga terserak di sejumlah negara lain, seperti Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.

Soeharto bereaksi keras terhadap pemberitaan Time. Ia menolak tudingan majalah itu, yang menyebut dirinya memiliki uang di Swiss dan Austria. Ia bahkan tampil khusus di Televisi Pendidikan Indonesia, stasiun televisi yang sahamnya antara lain dimiliki Tutut, putrinya, untuk membantah berita tersebut. ”Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri. Kalau uang itu ada, silakan ambil,” kata Soeharto, yang kala itu masih segar bugar. Tak cuma bicara, Soeharto lewat pengacaranya juga mengadukan Time ke polisi. Namun, di polisi, pengaduannya itu mandek.

Laporan Time ini berdampak terhadap Soeharto dan anak-anaknya. Kejaksaan Agung, yang saat itu mendapat desakan kuat dari masyarakat untuk memeriksa kekayaan keluarga Soeharto yang diduga hasil korupsi, sempat memeriksa putra-putri Soeharto. Mereka ditanyai seputar kekayaan di luar negeri. Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi dari kabinet Habibie terbang ke Swiss dan Austria untuk mengecek kebenaran uang haram Soeharto itu.

Awal November 1999, lima kuasa hukum Soeharto menggugat Time ke pengadilan Jakarta Pusat. Mereka, misalnya, mempersoalkan sampul majalah bertulisan ”Suharto Inc.”, yang diartikan Soeharto sebagai ”perusahaan Soeharto”.

Menurut Soeharto, ia tidak memiliki perusahaan. Soeharto juga keberatan terhadap ilustrasi tulisan di halaman 16 dan 17. Itulah gambar dirinya memeluk rumah—belakangan diketahui itu mirip rumah yang terletak di 8 Winnington Road, London. Menurut Soeharto, rumah itu bukan milik dia atau keluarganya.

Adapun soal isi berita, Soeharto mempersoalkan tulisan yang menyebut ”adanya pengalihan uang dalam jumlah besar terkait Indonesia dari bank Swiss ke Austria, yang dianggap surga yang aman untuk deposito-deposito rahasia” serta kutipan yang menyatakan ”Time telah mengetahui bahwa USD 9 miliar uang Soeharto telah ditransfer dari Swiss ke sebuah rekening tertentu di Austria”.

Soeharto menilai gambar dan berita tersebut tendensius, provokatif, dan memberi kesan dirinya serakah. Menurut pengacara Soeharto, somasi sudah dilayangkan ke Time dua kali. Lantaran tak ada tanggapan, Soeharto menggugat Time. Ia menuntut majalah ini meminta maaf dalam satu halaman penuh selama tiga hari berturut-turut di koran, majalah, serta televisi. Time juga diminta membayar kerugian materiil Rp 280 juta serta kerugian imateriil Rp 189 triliun.

Tapi gugatan Soeharto ini kandas di pengadilan negeri. Tujuh bulan bersidang, Juni 2000, majelis hakim pimpinan Sihol Sitompul menolak gugatan Soeharto. Hakim berpegangan, antara lain, pada tiga saksi ahli, yakni Goenawan Mohamad, Sabam Siagian (keduanya wartawan senior), dan Anton Moeliono (ahli bahasa). Menurut ketiga saksi itu, gambar dan tulisan Time masih dalam batas kepatutan. ”Gugatan pencemaran nama baik dalam berita tidak bisa diterapkan karena untuk kepentingan umum,” kata Sihol. Pengacara Soeharto meminta banding. Tapi kandas lagi. Pengadilan tinggi, Maret 2001, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tim pengacara Soeharto terus bergerak. Sebulan setelah putusan pengadilan tinggi, Tim Penasihat Hukum H.M. Soeharto—demikian nama tim pengacara Cendana ini—mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalil mereka, majelis hakim banding telah salah menafsirkan fakta dan menerapkan hukum. Masuk Mahkamah Agung pada 2001, kasus itu kemudian bagai ”lenyap ditelan bumi”.

Enam tahun kemudian, tiga hakim agung yang memegang kasus itu—German Hoediarto, Muhammad taufik, dan M. Bahauddin Qaudry—mengetuk palu, mengabulkan gugatan Soeharto. Menurut majelis kasasi pimpinan German yang purnawirawan mayor jenderal itu, Time telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati dalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati dan patut itu adalah ilustrasi rumah dan berita yang menyebut Soeharto mentransfer US$ 9 miliar (sekitar Rp 108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuah bank di Austria pada Juli 1998.

Mahkamah menghukum wartawan yang terlibat dalam penulisan laporan itu. Mereka adalah Donald Marrison (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Dua yang terakhir adalah warga Indonesia. Selain membayar secara tanggung renteng Rp 1 triliun, mereka harus menyatakan permintaan maaf kepada Soeharto yang dimuat di lima koran dan majalah nasional plus majalah Time edisi Asia, Eropa, dan Amerika selama tiga kali berturut-turut. Masih ada perintah lain: permintaan maaf itu disiarkan di lima televisi nasional selama tujuh hari berturut-turut. Todung Mulya Lubis, pengacara Time, terkejut mendengar putusan itu. ”Ini putusan kejam,” kata Todung.

l l l

JURU bicara Mahkamah Agung, Joko Sarwoko, membantah kabar bahwa lamanya perkara itu diputus lantaran ada tekanan-tekanan terhadap Mahkamah. ”Semata karena menumpuknya perkara. Jadi harus antre,” kata Joko.

Majelis hakim sendiri mengabulkan sebelas dari dua belas alasan kasasi yang diajukan pengacara Soeharto. Misalnya soal saksi ahli itu. Menurut penggugat, kesaksian Goenawan Mohamad dan Sabam Siagian serta Anton Moeliono ternyata juga dipakai menilai hukum dan fakta persidangan. Ketiganya menilai tidak ada unsur penghinaan dalam sampul Time ataupun penggunaan kata Incorporated di belakang nama Soeharto. ”Kesaksian saksi ahli diperlukan sebatas keahliannya saja,” tulis penggugat dalam memori kasasinya. Hakim kasasi sependapat dengan penggugat.

Soal rumah, hakim menyatakan Time tak memiliki bukti bahwa rumah yang disebut dalam majalah itu milik Soeharto atau keluarganya. Menurut Juan Felix, Time memang mengajukan banyak bukti. ”Tapi isinya cuma kliping majalah dan koran.” Menurut dia, sejak awal pihaknya yakin Time salah dalam soal rumah ini. Demikian juga tentang transfer US$ 9 miliar dana yang disebut dilakukan Soeharto itu. Hakim menyatakan Time tidak bisa membuktikan adanya transfer itu.

Hakim memang mengesampingkan Undang-Undang Pers yang dipakai pengadilan sebelumnya dalam kasus ini. Alasannya, gugatan yang dilakukan Soeharto itu gugatan perdata karena Time dinilai melakukan perbuatan melawan hukum. Atas dasar itulah, menurut hakim, Time telah mencemarkan Soeharto.

Dicegat Kamis pekan lalu di Mahkamah Agung, German Hoediarto mengunci rapat-rapat mulutnya saat Tempo menanyakan putusan itu. ”No comment, saya tidak mau komentar,” kata hakim yang hampir pensiun itu.

l l l

Bukan hanya Todung Mulya Lubis yang kecewa. George Junus Aditjondro, sosiolog yang rajin meneliti dan mempublikasikan kekayaan keluarga Soeharto, pun heran atas putusan Mahkamah Agung. George menyoroti soal rumah yang menurut hakim tak ada buktinya itu.

Menurut George Aditjondro, rumah di 8 Winnington Road, London, itu memang tak lagi dimiliki Soeharto atau keluarganya saat persidangan kasus Time dimulai. ”Rumah itu dulu milik Sigit Harjojudanto, tapi sudah dijual,” kata George. Pada 1999, George mengaku mendatangi dan menginvestigasi rumah tersebut. ”Pemiliknya waktu itu sudah orang lain,” kata dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tersebut. Tapi, kepada Tempo, Juan Felix berkukuh bahwa rumah itu bukan milik Soeharto. Kalau milik Sigit? ”Wah, saya tidak tahu. Klien saya Pak Harto.”

Menurut Todung, untuk kasus ini pihaknya sudah mengajukan 80 bukti, yang merupakan hasil kerja investigasi empat bulan Time di berbagai negara. ”Jadi lebih dari cukup,” ujarnya. Beberapa bukti, diakui Todung, memang berupa kliping koran atau majalah. ”Tapi dokumen otentik pun kami ada.”

Todung menilai putusan itu merupakan kemunduran bagi pers. Ia menyatakan heran atas penilaian hakim yang menyatakan ilustrasi di Time mencemarkan nama baik Soeharto. ”Ilustrasi atau karikatur majalah atau koran biasanya satire, gampang membuat tipis telinga orang. Praktek ini sudah diterima di dunia media, masak disebut mencemarkan nama baik.”

Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal juga menyesalkan putusan Mahkamah Agung yang tak memakai Undang-Undang Pers. ”Dalam kasus ini, hakim lebih mendengarkan tuntutan pengacara pihak yang merasa dirugikan,” kata Ichlasul.

Kendati palu sudah diketuk, itu bukan berarti urusan ganti rugi ini dengan mudah terjadi. Menurut pakar hukum perdata internasional, Hikmahanto Juwana, lantaran Time Asia berdomisili di Hong Kong, bisa saja Time mengabaikan putusan Mahkamah Agung. ”Semua tergantung kesukarelaan Time,” katanya. Menurut ahli hukum Universitas Indonesia itu, tak gampang pengadilan Indonesia melakukan eksekusi terhadap aset-aset Time di Hong Kong. ”Saya yakin putusan pengadilan di Indonesia tidak diakui di Hong Kong.”

LRB, Arif A. Kuswardono, Maria Hasugian

Soeharto Dimenangkan


Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007
http://tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/opini.html
Opini

KEMERDEKAAN pers di Indonesia kini kembali terancam. Ancaman ini bukan datang dari ujung laras bedil, melainkan dari ketukan palu hakim. Putusan Mahkamah Agung 13 September lalu, yang memenangkan gugatan Soeharto atas majalah Time, yang tak hanya menghukum media internasional itu meminta maaf di berbagai media, tapi juga membayar ganti rugi Rp 1 triliun, jelas berefek serupa dengan pembredelan. Apakah ini berarti cara pembekuan surat izin usaha penerbitan pers di masa Orde Baru akan muncul kembali dalam bentuk pembredelan secara perdata?

Pembredelan terhadap pers nasional telah dinyatakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai perbuatan melawan hukum. Mungkin karena Time pers asing, majelis hakim tak mengacu pada UU tentang Pers itu. Soal ini jelas dapat diperdebatkan, tapi ada undang-undang lain yang berasal dari dunia internasional yang ternyata ditabrak. Itulah UU Nomor 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal 19 kovenan ini jelas-jelas tak memperbolehkan pembredelan terhadap pers kecuali menyangkut kepentingan keamanan negara dan ketertiban umum.

Artikel majalah Time tentang kekayaan Soeharto tak ada kaitannya dengan keamanan negara ataupun ketertiban umum di Indonesia. Kegiatan investigasi para wartawan media ini menelusuri harta mantan presiden itu bahkan selaras dengan semangat Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebuah dokumen negara yang resmi menuliskan nama Soeharto di dalamnya.

Hasil penelusuran harta Soeharto di sebelas negara oleh para wartawan Time kemudian ditampilkan dalam laporan sepanjang 13 halaman. Penulisannya pun dilakukan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang berlaku. Asas berimbang diterapkan dengan memuat keterangan para penasihat hukum Soeharto setelah usaha mewawancarai sang jenderal besar menemui jalan buntu. Upaya check and recheck pun dilakukan sampai empat bulan lamanya.

Hasilnya memang sebuah karya jurnalistik yang prima. Setelah membaca laporan itu, masyarakat Indonesia pun mengetahui lebih jelas di mana saja harta yang diduga milik keluarga Soeharto berada atau disembunyikan dan berapa perkiraan nilainya. Sayangnya, aparat hukum di masa pemerintahan Habibie tak langsung mengembangkan informasi ini sehingga sebagian besar aset di luar negeri itu pun kemudian mengalami pengalihan kepemilikan dan semakin sulit dilacak.

Akibatnya, hingga sekarang, belum sepeser pun harta keluarga Soeharto yang diduga hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat dikembalikan ke kas negara. Ini menyedihkan mengingat negara berkembang seperti Nigeria berhasil meraih kembali sepertiga dari sekitar US$ 6 miliar yang dicuri mantan presiden Sani Abacha dan keluarganya. Pemerintah Filipina pun mendapatkan kembali sebagian hartanya yang sempat dijarah bekas presiden Marcos dan keluarganya.

Prestasi ini dicapai karena aparat hukum mereka giat menelusuri harta haram itu ke berbagai penjuru dunia. Mallam Nuhu Ribadu, Kepala Komisi Kejahatan Keuangan dan Ekonomi Nigeria, malah rajin berkampanye melobi negara maju agar membantu mengembalikan harta koruptor di negara berkembang yang disimpan di berbagai bank di negara mereka. Hasilnya cukup menggembirakan. Pembekuan uang Tommy Soeharto di Inggris dan uang E.C.W. Neloe di Swiss adalah contohnya. Selain itu, konvensi internasional antikorupsi disepakati di ajang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah RI termasuk yang cukup awal meratifikasinya.

Sayang sungguh sayang, semangat tinggi membebaskan negeri dari penyakit korupsi ini belum meresap ke sanubari semua hakim agung. Majelis hakim agung yang dipimpin Mayor Jenderal Purnawirawan German Hoediarto malah berpendapat martabat Soeharto sedemikian tingginya sehingga hasil investigasi Time dianggap sebagai pencemaran nama baik dan majalah berita ini diperintahkan meminta maaf serta membayar ganti rugi Rp 1 triliun. Padahal di negeri sekaya Jepang saja hukuman ganti rugi tertinggi untuk pencemaran nama hanya sekitar Rp 500 juta.

Ini jelas sebuah hukuman yang mencederai harkat bangsa dan rasa keadilan masyarakat, yang perlu segera dikoreksi. Upaya peninjauan kembali wajib dilakukan, antara lain dengan mengajukan bukti baru telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik Internasional melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Hak warga untuk mempunyai akses pada pers yang bebas dan aktif mengawasi kepentingan publik harus selalu terjaga.

Selain itu, pengertian harkat bangsa yang telah dibelokkan oleh keputusan bermasalah ini pun perlu dikoreksi. Bangsa yang bermartabat bukanlah bangsa yang tak bisa menerima kritik pers asing, melainkan justru yang sigap menghukum para pencuri uang rakyat dan selalu mengupayakan kembalinya dana itu ke kas negara.




buatan Radja|endro



Penjara Lagi buat Nurdin

Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007
Nasional
Mahkamah Agung menghukumnya dua tahun penjara karena kasus korupsi minyak goreng. Padahal ia baru saja dilantik sebagai anggota Dewan. Sikap petinggi Beringin terbelah.

DUA sampul cokelat itu tergeletak di punggung meja Ruang 1328 Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta. Isinya undangan rapat dari Panitia Anggaran dan Komisi Hukum DPR. Ditujukan ke Nurdin Halid, penghuni baru ruangan itu, dua sampul tersebut belum dibuka.

Nurdin baru dua hari ”memiliki” ruangan itu dan bahkan baru sekali memasukinya. Menggantikan Andi Mattalata, yang Mei lalu diangkat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, politikus Partai Golkar itu dilantik menjadi anggota DPR pada Rabu pekan lalu.

Tapi hanya sekali itulah tampaknya Nurdin bisa memasuki ruang kerja barunya. Kini ia harus segera menghuni sel tahanan. Sehari setelah pelantikannya, Mahkamah Agung menghukum mantan Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia itu dua tahun penjara karena kasus korupsi minyak goreng.

Salinan putusan kasasi itu sudah diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu. Hari itu juga, berbekal salinan putusan itu, sejumlah jaksa berangkat ke rumah Nurdin di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Hidayatullah, ”Nurdin tidak di tempat sehingga dia tidak bisa dieksekusi.” Maka, Sabtu pekan lalu, Hidayatullah mengirim surat panggilan. Nurdin diminta datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada Senin pekan ini.

Kasus yang membelit politikus Partai Golkar ini bermula pada 1998. Saat itu Nurdin menjabat Ketua Koperasi Distribusi Indonesia. Bekerja sama dengan Badan Urusan Logistik, koperasi ini menggelar program pengadaan minyak goreng. Minyak dipasok Bulog dan Koperasi Distribusi bertugas menjualnya ke masyarakat umum.

Saat itu harga minyak goreng memang meroket di bilangan Rp 5.000 setiap liter. Minyak yang dipasarkan itu dijual lebih murah agar harga bisa diredam menjadi Rp 4.000. Proyek ini sukses. Harga minyak goreng melorot. Total dana hasil penjualan Rp 299 miliar. Sesuai dengan kesepakatan, sekitar Rp 284 miliar harus disetor ke Bulog.

Tapi polisi menduga jatah Bulog itu disunat habis-habisan. Nurdin ditetapkan sebagai tersangka pada November 2004, lalu diseret ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Arnold Angkauw, jaksa penuntut umum kasus ini, ”Uang yang tidak disetor ke Bulog sekitar Rp 169 miliar.” Sisa uang itu didepositokan di bank atas nama koperasi yang dipimpin Nurdin.

Nurdin sepertinya benar-benar sedang apes. Tuduhan korupsi dana minyak goreng itu muncul persis ketika Nurdin sedang ditimpa dua tuduhan korupsi lain, yakni kasus impor gula ilegal dari Thailand dan impor beras dari Vietnam. Ia dikepung tiga kasus sekaligus: impor gula ilegal, penyelundupan beras, dan perkara minyak goreng. Saat itu Nurdin sudah menghuni tahanan di Markas Besar Kepolisian RI.

Vonis tiga kasus ini datang beruntun. Pada Juni 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas Nurdin dalam perkara minyak goreng. Agustus 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Utara memberikan vonis 2 tahun 6 bulan penjara dalam kasus impor beras. Lalu, Desember tahun yang sama, pengadilan Jakarta Utara menolak dakwaan para jaksa dalam kasus impor gula. Skor sementara dua-satu untuk pencinta sepak bola ini.

Perkara impor gula sudah dihalau, tapi dua perkara lain masih menyerang. Kejaksaan langsung menyeret Nurdin ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang atas kasus beras dan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung untuk kasus minyak goreng.

Setelah menerima remisi berkali-kali, mantan Ketua Umum Induk Koperasi Unit Desa itu akhirnya bebas pada Agustus 2006. Kader Golkar ini kembali ke dunia politik. Dalam Musyawarah Nasional Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, April lalu, dia terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2007-2011.

Saat kesebelasan Indonesia tampil bersinar dalam Piala Asia, Juli lalu, Nurdin masuk pusaran. Ketika tim Indonesia melawan Korea Selatan, Nurdin menemani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menonton dari tribun utama.

Begitu tim Indonesia kalah oleh Korea Selatan, Presiden Yudhoyono langsung turun ke lapangan menghibur skuad Merah-Putih. Sang Presiden terlihat menepuk pundak Nurdin, yang matanya berkaca-kaca.

Karier politiknya kembali moncer setelah dia diangkat menjadi anggota Dewan, Rabu pekan lalu. Tapi putusan Mahkamah Agung pada Kamis pekan lalu itu menghentikan langkah Nurdin, setidaknya untuk sementara.

Pengacara Otto Cornelis Kaligis mengecam keras putusan itu. Nurdin Halid, sang klien, cuma menjalankan perintah Menteri Koperasi untuk melakukan operasi pasar minyak goreng karena saat itu harga minyak goreng mahal sekali. Proyek ini sukses, tapi banyak sekali distributor yang tidak menyetor uang. ”Mengapa Nurdin Halid yang diadili?” tanya Kaligis.

Putusan atas Nurdin seperti menyiram bara ke arena politik. Golkar terbelah. Petinggi Beringin berbeda pendapat soal jabatan Nurdin di Dewan. Ketua Umum Jusuf Kalla, yang juga wakil presiden, menyatakan tidak akan mengganti Nurdin kecuali hukumannya di atas lima tahun penjara. Adapun Wakil Ketua Umum Agung Laksono berpendapat sebaliknya. ”Partai akan menarik Nurdin,” katanya.

Ada pendapat lain. Anton Lesiangi, pengurus Partai Golkar, menganggap para pemimpin partainya kurang hati-hati saat memutuskan pelantikan Nurdin. ”Mereka tidak mengecek status hukum Nurdin,” ujarnya.

Pengangkatan Nurdin sebagai anggota DPR diputuskan dalam rapat pengurus harian Partai Golkar bulan lalu. Menurut Priyo Budi Santoso, ketua fraksi partai itu di Dewan, rapat yang dipimpin Jusuf Kalla memang sempat membahas status hukum Nurdin. ”Saat itu kami menganggap tidak ada persoalan,” kata Priyo.

Sesuai dengan Undang-Undang Su-sunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Nurdin memang berhak menjadi anggota Dewan. Pada Pemilihan Umum 2004, ia menempati nomor urut enam dalam daftar calon anggota DPR dari Golkar untuk daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Lima nama dalam urutan di atasnya—Andi Mattalata, Anwar Arifin, Hamka Yamdhu, Idrus Marham, dan Nurhayati Yasin Limpo—telah terpilih mewakili daerah itu.

Nurdin gagal melaju ke Senayan meski meraup suara terbanyak di antara calon dari Golkar, yaitu 95.950. Jumlah itu belum melampaui bilangan pembagi pemilih—angka yang memungkinkan calon otomatis terpilih meski berada di nomor urut buncit dalam daftar. Pintu untuknya ke Senayan baru terbuka setelah Andi Mattalata menjadi menteri.

Setelah dilantik menjadi anggota DPR, Nurdin sempat meminta ditempatkan di Komisi X, yang membidangi masalah pendidikan dan olahraga. Tapi permintaan itu ditolak Priyo Budi Santoso. ”Anggota baru tidak boleh memilih komisi,” ujarnya.

Nurdin pun ditetapkan sebagai anggota Komisi Hukum, sesuai dengan posisi Andi Mattalata sebelum menjadi menteri. Pekan ini, ia sedianya sudah harus mengikuti rapat-rapat di komisi itu. Dua undangan bersampul cokelat sudah dikirimkan ke ruang kerjanya. Sayang, undangan itu tak akan sampai ke tangannya.

WMU, Budi Setyarso, Wens Manggut, Aldien Haekalani

Bukan Sepuluh Malaikat

Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007
Hukum
Sepuluh nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diserahkan ke Presiden. Jika tak setuju, Presiden bisa menolaknya.

SEPULUH nama itu sudah masuk Istana Negara. Jumat pekan lalu, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiq Effendi, menyerahkan daftar nama itu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka adalah Amien Sunaryadi (Wakil Ketua KPK), Waluyo (Deputi Pencegahan KPK), Mochamad Yasin (Direktur Penelitian KPK), Chandra Hamzah (pengacara), Iskandar Sonhadji (pengacara), Marwan Effendy (Kepala Pusat Pendidikan Kejaksaan Agung), Antasari Azhar (Direktur Penuntutan Umum Kejaksaan Agung), Surachmin (Inspektur Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan), Haryono (Kepala Biro Perencanaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan), dan Bibit Samad Rianto (mantan Kapolda Kalimantan Timur).

Dari Istana, nama-nama itu nanti ”dioper” lagi ke DPR. Di Senayan, para wakil rakyat akan ”memerasnya” menjadi lima nama. Itulah pimpinan KPK periode 2007–2011 ”Sepuluh orang itu bukan malaikat, tapi mereka terbaik yang kami pilih,” kata Daniel Sparinga, salah seorang anggota Panitia Seleksi. Menurut pakar politik yang pernah mendalami secara khusus ilmu sosiologi kebohongan di Australia itu, 10 orang yang mereka pilih tersebut terjamin reputasinya. ”Kami menyeleksi secara saksama. Yang berbohong langsung kami coret,” kata Daniel.

Menurut sumber Tempo yang juga menjadi tim seleksi, 10 nama itu bisa dibagi dua kategori: kelompok ”maju tak gentar” dan kelompok ”kalem”. Yang pertama diwakili figur seperti Amien Sunaryadi, Mochamad Yasin, dan Iskandar Sonhadji. Adapun kelompok ”kalem” diwakili, antara lain, Bibit Samad Rianto dan Marwan Effendy.

Kelompok ”kalem”, menurut sumber itu, cenderung memberantas korupsi dengan melakukan supervisi dan koordinasi dengan instansi yang ada. ”Jadi, tinggal DPR nanti yang memilih, lebih suka kelompok pertama atau kedua,” ujar sumber itu. ”Yang pasti, pilihan itu akan mewarnai gerak KPK mendatang,” kata sumber yang juga anggota panitia seleksi tersebut.

l l l

PANITIA sebenarnya menjadwalkan akan mengirim 10 nama itu ke Presiden pada Kamis pekan lalu. Dua hari setelah tes tahap akhir di Hotel Borobudur rampung, Rabu dua pekan lalu, panitia sudah mengantongi 10 dari 26 nama calon yang berhasil melaju sampai tahap akhir. ”Hampir sama dengan pilihan tim independen,” kata Rhenald Kasali, pakar komunikasi bisnis yang juga anggota Panitia Seleksi.

Tim Pemantau Independen, yang terdiri atas mantan hakim, dosen, dan wartawan, sebelumnya merilis 10 nama yang layak untuk dikirim ke Presiden. Mereka adalah Iskandar Sonhadji, Amien Sunaryadi, Haryono, Chandra Hamzah, Waluyo, Saleh Chalid, Mochamad Yasin, Surachmin, Bibit Samad Rianto, dan Saut Situmorang.

Masalah muncul dengan masuknya nama Saut Situmorang, staf Deputi I Badan Intelijen Nasional (BIN), dalam calon yang dipilih Panitia. Sejumlah aktivis LSM bereaksi dan menolak Saut masuk. ”Ini yang membuat rencana ke Istana mundur,” kata sumber itu.

Panitia Seleksi sendiri terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang setuju dan tidak setuju jika Saut dipertahankan. Yang tidak setuju menyebut masuknya Saut, seperti kritik LSM, bisa membuat KPK ”diperalat” BIN. Sementara yang tak setuju menyebut keahlian Saut dalam masalah kejahatan transnasional justru diperlukan KPK. Tapi, dalam rapat Senin pekan lalu, akhirnya kelompok pendukung ”BIN putih”—demikian mereka menyebut Saut—keok. Nama Saut terlempar ke luar. ”Ya, nama-nama kandidat terus berubah. Kami terus mendiskusikan nama-nama itu,” kata Daniel.

Mas Achmad Santosa, anggota Panitia Seleksi, mengakui pihaknya memperhatikan kritik atas munculnya nama Saut. Kendati demikian, ia menampik jika mundurnya jadwal penyerahan nama ke Presiden lantaran kerasnya perdebatan tentang Saut di antara 15 anggota Panitia. ”Penyerahan nama itu ditunda karena jadwal Presiden padat,” kata Mas Achmad.

Nama lain yang diperdebatkan adalah Antasari Azhar. Berbeda dengan Saut, sebaliknya nama bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat itu nyaris tak masuk. Antasari dianggap menyimpan sejumlah masalah saat bertugas di Sulawesi Tenggara. ”Tapi, setelah Saut keluar, otomatis penggantinya, ya, ranking di bawahnya: Antasari,” kata sumber Tempo tersebut.

Saut Situmorang menyatakan tak kecewa lantaran tak terpilih sebagai anggota KPK. ”Saya tetap berjuang memberantas korupsi dari luar,” katanya. Kendati demikian, ia menyesalkan suara-suara yang menyebut dirinya masuk KPK karena perintah BIN. ”Saya mendaftar sendiri, bukan diperintah institusi. Harap diketahui, di BIN masih banyak orang yang punya integritas, tidak seperti yang dituduhkan selama ini,” ujar pria 48 tahun yang juga dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara ini.

Antasari Azhar menyatakan bersyukur bisa masuk 10 besar ini. ”Dalam pemberantasan korupsi, Anda bisa melihat sendiri apa yang saya lakukan,” ujarnya. Antasari menampik tuduhan yang menyebut dirinya melakukan kompromi dalam penanganan kasus kayu jati di Sulawesi Tenggara.

Menurut sumber Tempo, ketika itu Antasari tidak memeriksa Bupati Muna, Ridwan B.A.E. dan hanya menangkap Kepala Dinas Kehutanan, bendahara, dan pemimpin proyek. ”Saya yang memberantas mafia kayu jati yang sudah bertahun-tahun di sana,” ujar Antasari. ”Saat saya akan mengusut keterlibatan Bupati, saya dipindahkan ke Sumatera Barat.”

Kini tinggal Presiden dan DPR yang akan menyeleksi nama-nama itu. Kendati Panitia menyatakan 10 orang itu yang terbaik, toh masuknya jaksa dan polisi dalam daftar nama itu tetap memancing kritik. ”Presiden harus berani menolak nama-nama yang tidak sesuai itu,” ujar pakar pidana Romli Atmasasmita.

Mas Achmad Santosa mengakui secara hukum Presiden memang bisa menolak nama yang mereka sodorkan. ”Tapi, secara etika sebenarnya tidak bisa, karena Presiden telah memberikan mandat kepada kami, 15 orang pilihannya,” kata Mas Achmad.

L.R. Baskoro

Jaksa Agung: Tak Ada Panggilan Kedua, Langsung Eksekusi Nurdin

2007-09-17 14:11:00

Irwan Nugroho - detikcom

Jakarta - Terpidana 2 tahun penjara kasus korupsi minyak goreng, Nurdin Halid, dipanggil Kejari Jakarta Selatan. Jika tak datang, kejaksaan akan langsung mengejarnya untuk dieksekusi. Karena tak ada panggilan kedua dan ketiga.

"Protapnya kan diundang, diundang sudah diterima, tidak datang hari ini ya kita kejar sampai ketemu," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji usai pelantikan pejabat eselon II, di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Senin (17/9/2007).

Hendarman menegaskan, tidak ada panggilan kedua ataupun ketiga bagi Ketua PSSI itu. Panggilan itu dilayangkan jaksa jika status seseorang sebagai tersangka. Padahal status Nurdin sudah sebagai terpidana atau terhukum. "Tidak usah DPO-DPOan. Kejar sampai ketemu, esekusi," tegas pria berkacamata ini.

Menurut Hendarman, saat ini kejaksaan telah mengantongi informasi keberadaan Nurdin. "Ada informasi, tapi apakah info itu benar, kan sekarang ini baru nunggu," pungkasnya.

Nurdin divonis 2 tahun dan denda Rp 30 juta oleh MA dalam kasus korupsi minyak goreng. Dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi penyalahgunaan dana distribusi minyak goreng Bulog senilai Rp 169,7 miliar.

Putusan MA itu membatalkan vonis bebas yang diketok oleh PN Jakarta Selatan terhadap Nurdin pada Juni 2005 lalu. (mly/sss)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/17/time/141114/idnews/830945/idkanal/10

Sekjen PPP: Pertemuan Suryadharma dan Mega Kontraproduktif

2007-09-17 13:40:00

Arifin Asydhad - detikcom

Jakarta - Ada apa antara Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Sekjen DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz? Keduanya sepertinya tidak seia sekata dalam melakukan lobi politik. Irgan kurang setuju dengan manuver Suryadharma Ali yang bertemu Megawati.

"Saya tidak tahu. Kalau pun diajak saya juga tidak mau," kata Irgan saat dihubungi detikcom, Senin (17/9/2007) ketika ditanya mengenai pertemuan Suryadharma Ali dengan Megawati.

Menurut dia, kunjungan Suryadharma Ali ke rumah Megawati kontraproduktif. "Sebab, meski bisa saja pertemuan itu tidak membahas mengenai pemilihan presiden, namun masyarakat bisa saja melihat seperti itu, apalagi Megawati baru saja menerima pencalonan sebagai presiden," ujar Irgan.

Saat ini, kata dia, PPP masih terlalu jauh untuk menjajagi kemungkinan pencalonan presiden dan wakil presiden. Rapat-rapat pleno di DPP PDIP juga belum pernah menyinggung mengenai hal itu, termasuk rencana mengusung Suryadharma Ali dalam pencalonan presiden.

"Kalau dilihat layak atau tidak layak, kader kita banyak yang layak. Tapi, pembicaraan seperti ini masih terlalu dini. Kami masih fokus untuk pemenangan Pemilu 2009," kata dia. Dari hasil Pemilu, kata dia, nanti bisa dilihat apakah PPP bisa mencalonkan presiden/wakil presiden atau tidak.

Saat ditanya apakah Suryadharma memberitahu rencana kunjungan ke Mega kepada dirinya, Irgan mengaku tidak. "Tidak ada pemberitahuan. Saya malah tahu dari Anda," jelas dia.

Sementara itu, Ketua DPP PPP Endin AJ Soefihara juga mengaku tidak tahu pertemuan Suryadharma Ali dengan Megawati. "Saya tidak tahu. Coba tanya Pak Sekjen," ujar Endin yang saat dihubungi masih rapat di gedung DPR. (asy/nrl)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/17/time/134028/idnews/830934/idkanal/10

PPP Merapat ke PDIP, Suryadharma Temui Megawati

2007-09-17 13:24:00

Arry Anggadha - detikcom

Jakarta - Pertemuan-pertemuan politik semakin subur, meski Pemilu dan Pemilihan Presiden 2009 masih jauh. Setelah Ketua Umum DPP PDIP Megawati bersedia dicalonkan sebagai presiden 2009, Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali menyambanginya.

Pertemuan politik ini digelar di rumah Megawati, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Suryadharma yang didampingi Ketua Fraksi PPP DPR Lukman Hakiem Saifuddin tiba di rumah Mega sekitar pukul 13.10 WIB, Senin (17/9/2007). Suryadharma menumpang mobil Toyota Lexus B 2035 BS.

Suryadharma yang mengenakan batik warna biru itu langsung disambut politisi senior PDIP yang juga suami Megawati, Taufiq Kiemas. Setelah bersalaman dan cium pipi kanan dan pipi kiri, Suryadharma dipersilakan Taufiq masuk ke dalam rumah Mega yang asri itu.

Dari jajaran PDIP, tampak hadir dalam pertemuan ini, Sekjen DPP PDIP Pramono Anung, Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo, dan anggota Komisi III DPR Panda Nababan.

Belum diketahui secara persis apa agenda yang dibahas oleh dua ketua umum partai itu. Namun, isu yang beredar, pertemuan ini merupakan penjajagan awal terkait Pemilu dan Pilpres 2009.

Dua partai ini diisukan akan berkongsi dalam Pemilu 2009, karena akan saling mengisi. PDIP merupakan partai yang berdasar nasionalis, sementara PPP berasas Islam. (asy/nrl)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/17/time/132445/idnews/830928/idkanal/10

Agung: Status Nurdin di DPR Kemungkinan Ditarik

2007-09-17 12:11:00

Muhammad Nur Hayid - detikcom

Jakarta - Status Nurdin Halid di DPR akan ditentukan dalam rapat harian DPP Partai Golkar, Selasa 18 September. Kemungkinan besar status Nurdin akan ditarik.

Status Nurdin ditetapkan besok kendati DPP Partai Golkar hingga kini belum mendapatkan surat amar putusan kasasi MA terhadap Nurdin.

"Besok malam kami akan mengadakan rapat untuk memutuskan status Nurdin, apakah akan ditarik atau diberhentikan," kata Wakil Ketua Partai Golkar Agung Laksono kepada wartawan usai menerima jajaran Badan Kehormatan (BK) di kantornya, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/9/2007).

Namun demikian, kata Agung, kemungkinan besar Nurdin akan ditarik dari keanggotannya di DPR. Hanya saja statusnya di Golkar tidak berubah, karena masalah hukumnya tidak terkait status dia di partai.

"Kalau menurut saya sendiri sebaiknya memang ditarik, tapi kemungkinan besar ya itu," kata dia.

Pengganti Nurdin, kata Agung, kemungkinan nomor urut dapil dibawahnya, yakni mantan Pjs Gubernur Banten, Hakka Muddin.

Salahkan KPU

Dia juga mempertanyakan keteledoran KPU yang tidak melakukan klarifikasi terhadap usulan partai. Sebab sebelum dilantik di DPR, seluruh proses PAW berada di KPU.

"KPU dengan segala tugasnya tentu punya tugas klarifikasi, tapi ternyata seperti ini. Anda bisa lihat sendiri hasilnya," kata Agung.

Terkait statusnya yang akan ditangani BK, menurut Agung, jika Partai Golkar sudah menarik Nurdin tentu tidak perlu diproses di BK lagi. Karena tidak ada lagi hubungannya dengan DPR.

Sementara Wakil Ketua BK, Gayus Lumbuun menegaskan, ancaman hukuman 2 tahun atau lebih sudah cukup dijadikan dasar dan landasan untuk memberhentikan Nurdin. Apalagi hal ini terkait kasus korupsi yang ancamannya 20 tahun, seumur hidup, atau hukuman mati.

Namun karena negara ini berdasarkan administrasi, BK akan menunggu amar putusan Nurdin dari MA.

"Secara semangat kita sudah bisa memproses, tapi kan harus didasarkan pada keputusan dan landasan yang kuat. Ya kita tunggu dari amar putusannya dulu," kata dia.

Sementara itu, pimpinan DPR sudah meminta kepada Sekjen DPR untuk menghubungi MA terkait dengan putusan Nurdin. Diharapkan setelah datang surat itu, DPR dan BK bisa menyikapi masalah ini.
(umi/nrl)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/17/time/121121/idnews/830896/idkanal/10

PN Jaksel Bantah Pernah Ditanya Golkar Soal Status Nurdin

2007-09-17 07:44:00

Indra Subagja - detikcom

Jakarta - Partai Golkar mengaku telah menanyakan status Nurdin Halid kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sebelum mengangkat Nurdin menjadi anggota DPR. Hasilnya Nurdin sudah bebas nurni. Namun tegas-tegas pihak PN Jaksel membantahnya.

"Kami tidak tahu. Kami tidak pernah menerima surat atau ada orang yang melakukan pengecekan," kata Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro saat dihubungi detikcom, Minggu (16/9/2007).

Andaikata pihak Golkar menanyakan soal status Nurdin pun, PN Jaksel tidak bisa memberikan jawaban. "Petikan dari MA saja baru kita terima Kamis malam (13 September)," tambah Andi.

Andi pun tegas-tegas menolak apa yang disampaikan Partai Golkar mengenai pertimbangan status Nurdin tersebut. "Faktanya saya tidak pernah memberikan atau memberikan pernyataan baik tertulis atau lisan bahwa yang bersangkutan tidak ada masalah," tandas Andi.

Sebelumnya Wakil Ketua Partai Golkar Agung Laksono menyebutkan bahwa Golkar telah meminta keterangan PN Jakarta Selatan sebelum mengajukan Nurdin Halid untuk menjadi anggota DPR menggantikan Andi Mattalata.

"Sebelum kami buat keputusan (Nurdin) masuk DPR, kami memintakan surat kepada pihak pengadilan. Jawabannya bebas murni. Kami tidak tahu ada perkembangan upaya hukum lainnya yang menghasilkan seperti sekarang," jelas ketua DPR ini pada saat buka bersama di kediamannya semalam. (ndr/nrl)

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/17/time/074433/idnews/830686/idkanal/10

Danny Pastikan Calonkan Diri

Melalui Partai Golkar Jabar

BANDUNG, (PR).-
Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan memastikan akan kembali mencalonkan diri sebagai gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Jawa Barat 2008, melalui Partai Golkar Jabar. Danny menurut rencana akan mengambil formulir pendaftaran balon gubernur/wagub pada hari terakhir pengambilan formulir di Sekretariat DPD PG Jabar, Senin (17/9).

Hal itu diputuskan pada silaturahmi antara para tokoh, pimpinan ormas, dan sesepuh Jabar dengan Danny Setiawan di rumah dinasnya, Gedung Pakuan Bandung, Minggu (16/9). Danny tidak akan mengambil sendiri formulir, melainkan menguasakannya kepada 17 tokoh yang bersedia mewakilinya.

DPD PG Jabar hanya mewajibkan pengembalian formulir pendaftaran yang harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan. Sedangkan pengambilan formulir bisa diwakilkan dengan menyertakan surat kuasa.

”Silaturahmi ini untuk membuktikan kembali komitmen dan keistikamahan teman-teman, sahabat, dan para tokoh di Jabar yang mendukung saya. Ternyata, semua menyatakan dengan tegas dukungan itu. Saya sendiri, karena kesibukan, tidak mengambil sendiri formulir, tetapi diwakili 17 tokoh. Anggap saja 17 itu angka yang baik,” ungkapnya.

Pada acara itu, hadir berbagai tokoh lintas kalangan, antara lain Ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, Bupati Majalengka Tutty Hayati Anwar (sebelumnya sudah mengambil formulir pendaftaran ke DPD PG Jabar), Bupati Karawang Dadang S. Muchtar, Wali Kota Banjar Herman Sutrisno, dan Wali Kota Bandung Dada Rosada. Selain menduduki jabatan publik, mereka juga anggota PG Jabar dan Danny Setiawan merupakan Ketua Dewan Penasihat DPD PG Jabar.

Hanya, unsur pimpinan dalam struktur DPD PG Jabar, termasuk Ketua DPD PG Jabar Uu Rukmana dan Wakil Ketua Tim Pemenangan Pilkada PG Jabar Ali Hasan, tidak hadir dalam acara itu. Sebagaimana diketahui, Danny dan Uu disebut-sebut didukung oleh 23 dari 25 DPD kabupaten/kota untuk diusung sebagai gubernur/wagub pada Pilgub 2008.

Dari partai politik lainnya, hadir Ketua Dewan Syura DPW PKB Jabar K.H. Abdul Azis dan Ketua Bidang Petani dan Perburuhan DPW PAN Jabar Ginanjar Darajat. Sementara tokoh lain yang hadir antara lain Tjetje H. Padmadinata, K.H. Lukmanul Hakim, Asep Sunandar Sunarya, Asep Truna, Ny. Popong Otje Djundjunan, Suryatna Subrata, Nurhaman, Bubun Bunyamin, dan Aceng Eno.

Satu per satu tokoh itu menyampaikan pernyataan dan dukungan agar Danny kembali mencalonkan diri sebagai gubernur pada Pilgub 2008. Mereka yang menyampaikan pernyataan antara lain Oo Sutisna (KTNA Jabar), K.H. Jejen, Maulani (DMI Jabar), Ny. Popong, Tjetje Padmadinata, Aceng Eno, Dedi Wijaya (Apindo Jabar), termasuk Bupati Karawang Dadang S. Muchtar.

Koalisi

Usai menerima pernyataan sikap, Danny mengatakan dirinya berterima kasih atas dukungan tersebut. Dia mengatakan ada tiga pertimbangan mengapa dia ingin bersilaturahmi sebelum memutuskan mencalonkan diri lewat PG Jabar.

”Pertama, keterbatasan kemampuan saya secara pribadi sehingga saya ingin bertemu dengan sebanyak mungkin kalangan untuk menilai apakah saya mampu atau tidak. Kedua, tantangan ke depan semakin berat dan ketiga, tentu saja harapan masyarakat yang semakin berat,” tuturnya.

Ditanya tentang kemungkinan siapa yang akan dipasangkan dengan dirinya sebagai wagub, Danny mengatakan, sampai saat ini belum ada pembicaraan ke arah itu.

Namun, saat disinggung tentang konstelasi politik ke depan menjelang dan pasca-Pilgub Jabar 2008, Danny menyatakan, secara pribadi dirinya berkehendak PG Jabar melakukan koalisi dengan parpol lainnya.

Tutty yang hadir pada silaturahmi mengakui, pengambilan formulir pendaftaran yang diwakilkan kepada anaknya, adalah untuk posisi balon wakil gubernur. ”Tidak mungkin saya mencalonkan sebagai gubernur, karena Pak Danny adalah dunungan (atasan) saya,” tuturnya.

Pengamat politik lokal dari Lemlit Unpad Bandung Dede Mariana menilai ”kerepotan” yang harus muncul menjelang pendaftaran, karena harus memobilisasi dukungan politik, menunjukkan demokrasi masih pada tataran prosedural, belum substansial. (A-64)***