Monday, September 17, 2007

Saudagar Tidak Cocok Memimpin Partai

Akbar Tandjung:
Saudagar Tidak Cocok Memimpin Partai

Akbar Tandjung (Dok. GATRA/Ivan N. Patmadiwiria)Disertasi Doktor Akbar Tandjung memicu reaksi petinggi Partai Golkar. Bermula dari ujian doktor yang berlangsung terbuka di auditorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 1 September lalu. Di forum itu, Akbar mempertahankan disertasinya yang berjudul "Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi".

Dan ia pun lulus cum laude. Dalam sesi tanya-jawab dengan tim penguji, Akbar sempat menyinggung eksistensi Partai Golkar di bawah pimpinan saudagar. Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menyebutkan bahwa Golkar kini berkiblat pada kepentingan sesaat.

Pernyataan Akbar di forum ilmiah itu rupanya membuat gerah sejumlah petinggi Golkar. Bahkan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Surya Paloh, ikut bereaksi. Ia minta Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar memanggil Akbar. Kemudian Ketua Umum DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla, menilai pendapat Akbar itu tidak tepat.

Ketika disertasi Akbar sedang hangat diperbincangkan, ia terbang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah umrah. Berikut petikan wawancara wartawan Gatra Rohmat Haryadi dengan Akbar Tandjung via telepon:

Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Surya Paloh, meminta DPP Golkar memanggil Anda berkaitan dengan disertasi doktor di UGM?
Disertasi itu sudah saya pertahankan di depan penguji dalam sidang tertutup dan terbuka. Semua sudah saya pertanggungjawabkan pada perguruan tinggi. Seandainya DPP Golkar mau mengadakan seminar dengan tema yang sama, saya siap jadi pembicaranya.

Yang disoal adalah statemen Anda tentang Golkar yang hanya berkonsentrasi pada kepentingan jangka pendek?
Pada munas ke-7 di Bali tahun 2004, ada analisis pengamat dan wartawan. Mereka mengatakan, ada tiga kekuatan yang bertarung, yaitu kekuatan struktural, tradisional, dan saudagar. Tokoh-tokoh berlatar belakang pedagang mendukung Jusuf Kalla. Saudara Paloh termasuk di situ.

Apa ada yang salah kalau terdapat saudagar yang memimpin Golkar?
Yang tidak cocok dari saudagar dalam politik adalah mindset-nya. Yaitu, bagaimana mendapat untung sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya. Itu tidak cocok untuk memimpin partai politik. Saudagar boleh masuk ke politik, tapi harus mengubah mindset-nya. Saya pun mengatakan, di kalangan Partai Golkar juga menguat adanya nepotisme.

Apa bukti bahwa di Golkar menguat adanya nepotisme?
Saya memang tidak menyebut secara eksplisit. Tapi saya mengonstatasi menguatnya nepotisme di kalangan para elite Partai Golkar. Jika nepotisme menguat, tentu saja perekrutan kader tidak berdasar merit system. Melainkan berdasar kedekatan seseorang dengan pusat-pusat kekuasaan di Partai Golkar. Itu akan membuat peluang kader partai yang berjuang untuk partai jadi tertutup, karena parameternya tidak lagi prestasi, dedikasi, dan loyalitas.

Seberapa besar pengaruh buruk nepotisme di tubuh Golkar?
Di Golkar juga muncul faksi-faksi. Ini membuat partai fragile terhadap perpecahan. Memang dalam politik tidak bisa dihindari persaingan dalam partai. Kalau menguat, akan menimbulkan faksi. Pemimpin harus mampu mengelolanya.

Bukankah Jusuf Kalla mampu mengelola faksi-faksi itu?
Saya belum bisa mengatakan apakah beliau mampu atau tidak. Tapi faktanya sekarang sudah mulai tampak. Misalnya, mekanisme kepemimpinan partai harus disesuaikan dengan aturan organisasi. Yang menjadi pemimpin partai itu ketua umum. Jangan sampai pemimpin dalam partai tidak solid. Misalnya, penasihat mengambil langkah politik yang penting. Mestinya itu dilakukan ketua umum.

Bukankan Partai Golkar sekarang ini cukup solid?
Partai Golkar belum memiliki pola atau perencanaan politik ke depan, terutama menghadapi Pemilu 2009. Ketua Umum Partai Golkar dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa soal pemilu itu nanti enam bulan mau pemilu baru disiapkan. Itu tidak bisa. Partai harus menyiapkan sejak awal untuk menghadapi agenda politik, karena muara perjuangan partai politik ditentukan oleh hasil yang dicapai dalam pemilu. Sehingga bisa meraih kedudukan politik, dan bisa memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Jadi, wajar saja jika partai politik berorientasi kekuasaan?
Saya tidak mengatakan bahwa partai tidak boleh berorientasi kekuasaan. Tapi tidak semata-mata kekuasaan, karena kekuasaan bukan segala-galanya. Jika partai memperoleh kekuasaan, itu merupakan intermediate goal, jabatan antara untuk tujuan akhir. Tujuan akhirnya menyejahterakan kehidupan rakyat.

[Laporan Khusus, Gatra Nomor 44 Beredar Kamis, 13 Septemberi 2007]

No comments: