Monday, September 17, 2007

Bukan Sepuluh Malaikat

Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007
Hukum
Sepuluh nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diserahkan ke Presiden. Jika tak setuju, Presiden bisa menolaknya.

SEPULUH nama itu sudah masuk Istana Negara. Jumat pekan lalu, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiq Effendi, menyerahkan daftar nama itu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka adalah Amien Sunaryadi (Wakil Ketua KPK), Waluyo (Deputi Pencegahan KPK), Mochamad Yasin (Direktur Penelitian KPK), Chandra Hamzah (pengacara), Iskandar Sonhadji (pengacara), Marwan Effendy (Kepala Pusat Pendidikan Kejaksaan Agung), Antasari Azhar (Direktur Penuntutan Umum Kejaksaan Agung), Surachmin (Inspektur Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan), Haryono (Kepala Biro Perencanaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan), dan Bibit Samad Rianto (mantan Kapolda Kalimantan Timur).

Dari Istana, nama-nama itu nanti ”dioper” lagi ke DPR. Di Senayan, para wakil rakyat akan ”memerasnya” menjadi lima nama. Itulah pimpinan KPK periode 2007–2011 ”Sepuluh orang itu bukan malaikat, tapi mereka terbaik yang kami pilih,” kata Daniel Sparinga, salah seorang anggota Panitia Seleksi. Menurut pakar politik yang pernah mendalami secara khusus ilmu sosiologi kebohongan di Australia itu, 10 orang yang mereka pilih tersebut terjamin reputasinya. ”Kami menyeleksi secara saksama. Yang berbohong langsung kami coret,” kata Daniel.

Menurut sumber Tempo yang juga menjadi tim seleksi, 10 nama itu bisa dibagi dua kategori: kelompok ”maju tak gentar” dan kelompok ”kalem”. Yang pertama diwakili figur seperti Amien Sunaryadi, Mochamad Yasin, dan Iskandar Sonhadji. Adapun kelompok ”kalem” diwakili, antara lain, Bibit Samad Rianto dan Marwan Effendy.

Kelompok ”kalem”, menurut sumber itu, cenderung memberantas korupsi dengan melakukan supervisi dan koordinasi dengan instansi yang ada. ”Jadi, tinggal DPR nanti yang memilih, lebih suka kelompok pertama atau kedua,” ujar sumber itu. ”Yang pasti, pilihan itu akan mewarnai gerak KPK mendatang,” kata sumber yang juga anggota panitia seleksi tersebut.

l l l

PANITIA sebenarnya menjadwalkan akan mengirim 10 nama itu ke Presiden pada Kamis pekan lalu. Dua hari setelah tes tahap akhir di Hotel Borobudur rampung, Rabu dua pekan lalu, panitia sudah mengantongi 10 dari 26 nama calon yang berhasil melaju sampai tahap akhir. ”Hampir sama dengan pilihan tim independen,” kata Rhenald Kasali, pakar komunikasi bisnis yang juga anggota Panitia Seleksi.

Tim Pemantau Independen, yang terdiri atas mantan hakim, dosen, dan wartawan, sebelumnya merilis 10 nama yang layak untuk dikirim ke Presiden. Mereka adalah Iskandar Sonhadji, Amien Sunaryadi, Haryono, Chandra Hamzah, Waluyo, Saleh Chalid, Mochamad Yasin, Surachmin, Bibit Samad Rianto, dan Saut Situmorang.

Masalah muncul dengan masuknya nama Saut Situmorang, staf Deputi I Badan Intelijen Nasional (BIN), dalam calon yang dipilih Panitia. Sejumlah aktivis LSM bereaksi dan menolak Saut masuk. ”Ini yang membuat rencana ke Istana mundur,” kata sumber itu.

Panitia Seleksi sendiri terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang setuju dan tidak setuju jika Saut dipertahankan. Yang tidak setuju menyebut masuknya Saut, seperti kritik LSM, bisa membuat KPK ”diperalat” BIN. Sementara yang tak setuju menyebut keahlian Saut dalam masalah kejahatan transnasional justru diperlukan KPK. Tapi, dalam rapat Senin pekan lalu, akhirnya kelompok pendukung ”BIN putih”—demikian mereka menyebut Saut—keok. Nama Saut terlempar ke luar. ”Ya, nama-nama kandidat terus berubah. Kami terus mendiskusikan nama-nama itu,” kata Daniel.

Mas Achmad Santosa, anggota Panitia Seleksi, mengakui pihaknya memperhatikan kritik atas munculnya nama Saut. Kendati demikian, ia menampik jika mundurnya jadwal penyerahan nama ke Presiden lantaran kerasnya perdebatan tentang Saut di antara 15 anggota Panitia. ”Penyerahan nama itu ditunda karena jadwal Presiden padat,” kata Mas Achmad.

Nama lain yang diperdebatkan adalah Antasari Azhar. Berbeda dengan Saut, sebaliknya nama bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat itu nyaris tak masuk. Antasari dianggap menyimpan sejumlah masalah saat bertugas di Sulawesi Tenggara. ”Tapi, setelah Saut keluar, otomatis penggantinya, ya, ranking di bawahnya: Antasari,” kata sumber Tempo tersebut.

Saut Situmorang menyatakan tak kecewa lantaran tak terpilih sebagai anggota KPK. ”Saya tetap berjuang memberantas korupsi dari luar,” katanya. Kendati demikian, ia menyesalkan suara-suara yang menyebut dirinya masuk KPK karena perintah BIN. ”Saya mendaftar sendiri, bukan diperintah institusi. Harap diketahui, di BIN masih banyak orang yang punya integritas, tidak seperti yang dituduhkan selama ini,” ujar pria 48 tahun yang juga dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara ini.

Antasari Azhar menyatakan bersyukur bisa masuk 10 besar ini. ”Dalam pemberantasan korupsi, Anda bisa melihat sendiri apa yang saya lakukan,” ujarnya. Antasari menampik tuduhan yang menyebut dirinya melakukan kompromi dalam penanganan kasus kayu jati di Sulawesi Tenggara.

Menurut sumber Tempo, ketika itu Antasari tidak memeriksa Bupati Muna, Ridwan B.A.E. dan hanya menangkap Kepala Dinas Kehutanan, bendahara, dan pemimpin proyek. ”Saya yang memberantas mafia kayu jati yang sudah bertahun-tahun di sana,” ujar Antasari. ”Saat saya akan mengusut keterlibatan Bupati, saya dipindahkan ke Sumatera Barat.”

Kini tinggal Presiden dan DPR yang akan menyeleksi nama-nama itu. Kendati Panitia menyatakan 10 orang itu yang terbaik, toh masuknya jaksa dan polisi dalam daftar nama itu tetap memancing kritik. ”Presiden harus berani menolak nama-nama yang tidak sesuai itu,” ujar pakar pidana Romli Atmasasmita.

Mas Achmad Santosa mengakui secara hukum Presiden memang bisa menolak nama yang mereka sodorkan. ”Tapi, secara etika sebenarnya tidak bisa, karena Presiden telah memberikan mandat kepada kami, 15 orang pilihannya,” kata Mas Achmad.

L.R. Baskoro

No comments: