Sunday, September 16, 2007

Patung Soekarno-Hatta

Reputasi Empat Milyar

Patung Proklamator di Bandara Soekarno-Hatta (Antara/Rumgapres/Anung)Perupa Sunaryo baru saja menjejakkan kaki di Bandara Changi, Singapura, Rabu sore pekan lalu. Ia lantas menghentikan taksi dan mengempaskan tubuhnya di jok belakang. Sebuah kompleks apartemen di tengah kota Singapura menjadi tujuannya.

Hari yang melelahkan, sebenarnya. Namun Sunaryo masih meladeni basa-basi sopir taksi.

"Dari mana, Pak?" tanya sopir taksi.

"Indonesia," jawab Sunaryo, singkat.

"Oh, Indonesia. Bapak tahu, saya sangat respek pada Soekarno," ujar si sopir taksi.

"Kenapa Anda kagum?" tanya Sunaryo.

"Dia sanggup bicara di depan rakyatnya delapan jam tidak berhenti. Semua rakyatnya tenang menyimak. Dia great orator," kata sopir taksi itu, sebagaimana dikisahkan Sunaryo.

Dan Sunaryo pun hanya diam sembari menyimak ucapan si sopir taksi. Mengingat, beberapa jam sebelumnya, Sunaryo baru saja menghadiri peresmian patung Soekarno-Hatta yang dibuatnya. "Andai sopir taksi itu tahu," kata Sunaryo sambil tersenyum.

Awalnya ia tidak mengira akan ditunjuk mewujudkan dua tokoh idolanya tersebut dalam sosok patung. Dua tahun lalu, rombongan Direktur PT Angkasa Pura datang ke kediamannya di kawasan Bukit Pakar Timur, Dago, Bandung. Kepada Sunaryo, mereka memaparkan ide tentang pembuatan patung proklamator di Bandara Soekarno-Hatta.

"Tapi ide mereka saya pikir tidak memadai," katanya. Diskusi berlangsung. Pihak Angkasa Pura akhirnya menawari Sunaryo untuk turut serta dalam pembuatan patung tersebut. Sunaryo tertarik dan mengiyakan. "Soekarno-Hatta idola saya," ia memberi alasan. Kebetulan ia juga pernah menjadi project officer bagian artistik pembangunan makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur.

Tapi, untuk membuat patung sang proklamator, "Saya mesti ikut semacam beauty contest dulu," kata Sunaryo. Ada dua perupa lain yang diajak Angkasa Pura. Seniman berusia 64 tahun ini tidak keberatan. "Silakan saja. Ini sebuah kehormatan buat saya. Ini bukan proyek," ucapnya.

Sunaryo pun lantas datang dengan ide, model, dan gagasan soal Soekarno-Hatta. Intinya, Sunaryo mengembangkan gagasan tentang dwitunggal. Menempatkan Soekarno-Hatta ibarat sepasang mata, sepasang telinga, sepasang kaki, dan tangan yang bertemu dalam gerak dan denyut satu tubuh sejarah perjuangan Indonesia.

"Kehadiran mereka berdua itu karunia," kata perupa kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, 15 Mei 1949 itu. Ia menggambarkan Soekarno sebagai jiwa yang bergelora dengan cita-cita dan idealisme bagi bangsa. Di sampingnya, Hatta, ia gambarkan sebagai pemikir yang penuh perhitungan, realistis, dan memiliki kehidupan sederhana.

Penjelasan itu digambarkan di hadapan pihak Angkasa Pura oleh Sunaryo dengan sebuah model patung kecil (skala 1:10) Soekarno-Hatta. Sebelumnya, di bengkelnya, ia membuat sket. "Saya panggil dua aktor teater untuk berpose," ujarnya. Dari kedua aktor ini, Sunaryo berharap mendapat sosok dwitunggal yang diinginkan.

Sebelum mereka berpose, Sunaryo menceritakan perjalanan Soekarno-Hatta. Lalu Sunaryo meminta kedua aktor itu memperagakan mimik dua tokoh tersebut. "Soekarno, coba geram!" ia mencontohkan. "Pokoknya macam-macam ekspresi," tuturnya. Sementara aktor itu berekspresi, fotografer memotret dari berbagai arah.

Hasilnya, "Setumpuk!" kata Sunaryo sambil mengembangkan tangannya. Beragam ekspresi itu lantas disortir. Selama sebulan proses seleksi ini dilakukan. Dari sekitar 100 ekspresi menyusut jadi 10, lantas tinggal lima, dan akhirnya terpilih satu ekspresi yang dinilai paling tepat.

Selanjutnya patung skala kecil itu dibuat dengan gips, dicor dengan fiber, dicetak dengan pasir silika. Terakhir, dicor lagi dengan bahan perunggu. Soekarno tengah menggamit tongkat komando di lengan kanan sambil menunjuk ke arah depan. "Artinya, di sana!" ujar Sunaryo.

Di sana bisa diartikan sebagai masa depan dan cita-cita bangsa. Ia merujuk pada ucapan Soekarno yang cukup terkenal, "Mana dadamu, ini dadaku!" Tongkat komando menggambarkan leadership yang terus memberi semangat dan inspirasi tentang masa depan kemerdekaan dan demokrasi.

Ketika dipertunjukkan kepada pihak Angkasa Pura, posisi tongkat komando yang digamit tangan kanan mendapat revisi. "Tidak umum katanya kalau di kanan," tutur Sunaryo. Ia kemudian mengubah posisi tongkat komando diapit lengan kiri Soekarno, sedangkan tangan kanannya menunjuk.

Sementara itu, sosok Hatta diwujudkan tengah menggamit buku. "Buku menjadi ikon Hatta," kata Sunaryo. Buku ini, menurut dia, hikmah bagi generasi yang akan datang bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan itu penting. "Dua sinergi ini menjadi kekuatan yang luar biasa," katanya.

Sunaryo pun menorehkan detail yang lain, yaitu pakaian. Baju safari dengan empat saku dipilih untuk Soekarno. "Itu desain kesukaan dan pilihan Soekarno sendiri," ujarnya. Baju tersebut memiliki nilai, selain gagah. "Biar rakyatnya tidak minder," Sunaryo menambahkan.

Ia hafal betul detail baju itu. Masa kecilnya memberi petunjuk. "Saya waktu SD ngotot minta dibikinkan baju kayak Soekarno," katanya mengenang sambil tertawa. Hatta mengenakan jas, terkait dengan sikap formal dan intelektualitasnya. Tadinya, kopiah akan disematkan juga di kepalanya. "Tapi Hatta sesekali saja pakai kopiah," katanya.

Aksesori paling penting di tubuh Hatta adalah kacamata. "Ini kaitannya dengan buku. Ini juga mengartikan kapasitas intelektual tokoh yang gemar membaca," lanjutnya. Presentasi Sunaryo berhasil. Ia menjadi pemenang beauty contest. Nilai kontrak sebesar Rp 4 milyar ditandatanganinya.

Tiga orang staf membantu Sunaryo mengerjakan patung ini. Tugas pengecoran melibatkan 20 pekerja. Masing-masing terbagi tugas dalam menggotong dan membakar. Sebelum ke bentuk asli, dibentuk terlebih dulu model dengan skala 1:5.

Tinggi patung Bung Karno 7,8 meter, sedangkan Bung Hatta sedikit lebih pendek. Landasannya setinggi 4,8 meter, sehingga total tinggi monumen sekitar 12,6 meter. Landasan patung terbuat dari batu granit, sedangkan patungnya dari perunggu.

Di sekelilingnya terdapat kolam air mancur, yang juga menjadi bagian dari desain keseluruhan. Adanya air mancur ini, menurut Sunaryo, "Biar segar. Itu bisa diartikan gerak gelora kehidupan dua simbol tersebut." Selain itu, air mancur tersebut disediakan sebagai petunjuk keberadaan patung.

Petunjuk semacam itu terasa penting, mengingat patung ini berada di jalur cepat. Untuk itu, menurut Sunaryo, patung itu harus laik dilihat dari jarak 40 meter. Sunaryo membuat patung Soekarno-Hatta lebih tinggi dari patung Jenderal Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, berdasarkan argumentasi skala ruang. "Saya menggunakan cara berpikir minimal," katanya. Sebab, kalau menggunakan persepsi maksimal, besarannya bisa tak terbatas.

Posisi patung pun diperhatikan benar. Patung itu dihadapkan ke Jakarta. "Kalau ke airport, fungsinya cuma seperti 'pemberi salam'," kata Sunaryo. "Itu merendahkan nilai patung," lanjutnya. Sengaja dibuat menghadap Jakarta karena Angkasa Pura memiliki harapan bandara internasional tersebut makin terbuka.

"Keberadaan Bandara Soekarno-Hatta makin mantap. Selain itu, ini penting agar rakyat Indonesia yang mau (terbang) ke luar negeri membawa spirit nasionalisme," Sunaryo memaparkan. Pengerjaan patung ini terbilang cepat. "Dua bulan itu sudah selesai sebenarnya," kata dosen seni rupa ITB itu sambil tersenyum.

Tapi selalu ada hambatan soal administrasi dan birokrasi. Menurut Sunaryo, pihak Angkasa Pura sangat hati-hati dan tidak mau menyalahi prosedur. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pengerjaan dan penyelesaian patung itu mesti dirapatkan.

Sunaryo mengaku, jiwa senimannya tidak bisa meladeni itu. "Melelahkan," katanya. Beruntung, Rachmawati dan Sukmawati yang mewakili keluarga Soekarno tidak keberatan. Meutia Hatta, yang mewakili Bung Hatta, juga setuju.

Ada pula diskusi soal penentuan peresmian patung. Ada usul agar patung diresmikan dalam rangka memperingati hari lahir Soekarno. Tapi, "Bagaimana dengan hari lahir Bung Hatta?" kata Sunaryo mengulang tarik ulur itu.

Akhirnya disepakati, bulan Agustus --dalam kerangka peringatan 62 tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia-- menjadi waktu yang tepat untuk meresmikan patung ini.

Di luar itu semua, Sunaryo merasa bangga bisa memberi sesuatu yang berhubungan dengan nilai sejarah bangsa. Menurut dia, membuat patung Soekarno-Hatta adalah pekerjaan terhormat. Asal nggak nombok-lah. "Sekali lagi, ini bukan proyek, melainkan menyangkut reputasi," Sunaryo menegaskan.

Wisnu Wage Pamungkas
[Seni, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis, 6 Septemberi 2007]

No comments: