Monday, September 17, 2007

Soeharto Inc., Hidup Soeharto!


http://tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/utama.html
Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007


Laporan Utama
MAHKAMAH Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time. Selain diperintahkan meminta maaf di sejumlah media, majalah itu diwajibkan membayar Rp 1 triliun kepada sang jenderal besar.

Time divonis bersalah karena dua hal. Ilustrasi Soeharto memeluk rumah besar dinyatakan mencemarkan nama baik karena rumah itu dinyatakan bukan milik Soeharto. Berita Time yang menyebut ada transfer uang US$ 9 miliar milik Soeharto dari bank di Swiss ke rekening di Austria dinyatakan tak bisa dibuktikan.

Inilah vonis atas kreativitas dan karya jurnalistik—sebuah lonceng kematian bagi kebebasan pers. Sebaliknya, di tengah gugatan perdata atas harta Soeharto oleh kejaksaan RI, ketetapan ini menjadi angin segar buat Keluarga Cendana.

IA berjas, berpeci, dan mendekap rupa-rupa barang: karung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa, dan rumah mewah bergaya Eropa. Muncul sebagai ilustrasi majalah Time edisi Asia tanggal 24 Mei 1999, ia terkesan kerepotan selain emoh melepas apa yang ada di tangannya.

Itulah Soeharto, sang jenderal besar. Perempuan di piring porselen itu adalah Siti Hartinah, istrinya. Hasil permainan foto dan grafis itu melengkapi tulisan utama di majalah berbahasa Inggris tersebut yang diberi judul The Family Firm (”Perusahaan Keluarga”). Majalah berita dunia ini memang menjadikan berita tentang Soeharto sebagai laporan utama.

Sampul majalah itu adalah wajah Soeharto dengan senyum khasnya. Di bawah gambar ”the smiling general” tersebut tertulis: ”Special Report, Suharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”. Laporan ini terbentang dari halaman 16 hingga 28 majalah itu.

Inilah yang membuat Time—majalah yang untuk edisi Asia berkantor di Hong Kong itu—berurusan dengan pengadilan Indonesia. Soeharto, yang tersinggung gara-gara artikel ini, menggugat Time ke meja hijau. Sang Jenderal Besar merasa harga dirinya tercemar lantaran tulisan Time sepanjang 13 halaman itu. Senin pekan lalu, juru bicara Mahkamah Agung, Nurhadi, menyatakan Mahkamah memenangkan gugatan Soeharto. Majalah itu tak hanya diperintahkan membayar ganti rugi Rp 1 triliun, tapi juga harus meminta maaf kepada Soeharto lewat sejumlah media, baik media nasional maupun asing.

”Pak Harto senang mendengar kabar itu,” kata Juan Felix Tampubolon. Bersama pengacara Soeharto lainnya, Rabu Sore pekan lalu, Juan Felix menemui Soeharto di kediamannya. Adapun dari keluarga Soeharto tak ada yang bersedia mengomentari keputusan ini. Ketika Tempo mengontak salah satu putri Soeharto, Siti Hediati, telepon selulernya langsung dimatikan.

l l l

ISI liputan majalah itu, sesuai dengan judulnya, memang dramatik. Time menggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$ 15 miliar. Kekayaan itu terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya. Padahal gaji Soeharto sendiri hanya kurang-lebih 15 juta perak per bulan.

Menurut Time, kekayaan Soeharto juga tersimpan di bank di Swiss. Hasil penelusuran Time menemukan kekayaan Keluarga Cendana tak hanya berupa deposito atau duit di bank, tapi juga benda berharga, tanah, dan properti. Tak hanya di Indonesia, tapi juga terserak di sejumlah negara lain, seperti Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.

Soeharto bereaksi keras terhadap pemberitaan Time. Ia menolak tudingan majalah itu, yang menyebut dirinya memiliki uang di Swiss dan Austria. Ia bahkan tampil khusus di Televisi Pendidikan Indonesia, stasiun televisi yang sahamnya antara lain dimiliki Tutut, putrinya, untuk membantah berita tersebut. ”Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri. Kalau uang itu ada, silakan ambil,” kata Soeharto, yang kala itu masih segar bugar. Tak cuma bicara, Soeharto lewat pengacaranya juga mengadukan Time ke polisi. Namun, di polisi, pengaduannya itu mandek.

Laporan Time ini berdampak terhadap Soeharto dan anak-anaknya. Kejaksaan Agung, yang saat itu mendapat desakan kuat dari masyarakat untuk memeriksa kekayaan keluarga Soeharto yang diduga hasil korupsi, sempat memeriksa putra-putri Soeharto. Mereka ditanyai seputar kekayaan di luar negeri. Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi dari kabinet Habibie terbang ke Swiss dan Austria untuk mengecek kebenaran uang haram Soeharto itu.

Awal November 1999, lima kuasa hukum Soeharto menggugat Time ke pengadilan Jakarta Pusat. Mereka, misalnya, mempersoalkan sampul majalah bertulisan ”Suharto Inc.”, yang diartikan Soeharto sebagai ”perusahaan Soeharto”.

Menurut Soeharto, ia tidak memiliki perusahaan. Soeharto juga keberatan terhadap ilustrasi tulisan di halaman 16 dan 17. Itulah gambar dirinya memeluk rumah—belakangan diketahui itu mirip rumah yang terletak di 8 Winnington Road, London. Menurut Soeharto, rumah itu bukan milik dia atau keluarganya.

Adapun soal isi berita, Soeharto mempersoalkan tulisan yang menyebut ”adanya pengalihan uang dalam jumlah besar terkait Indonesia dari bank Swiss ke Austria, yang dianggap surga yang aman untuk deposito-deposito rahasia” serta kutipan yang menyatakan ”Time telah mengetahui bahwa USD 9 miliar uang Soeharto telah ditransfer dari Swiss ke sebuah rekening tertentu di Austria”.

Soeharto menilai gambar dan berita tersebut tendensius, provokatif, dan memberi kesan dirinya serakah. Menurut pengacara Soeharto, somasi sudah dilayangkan ke Time dua kali. Lantaran tak ada tanggapan, Soeharto menggugat Time. Ia menuntut majalah ini meminta maaf dalam satu halaman penuh selama tiga hari berturut-turut di koran, majalah, serta televisi. Time juga diminta membayar kerugian materiil Rp 280 juta serta kerugian imateriil Rp 189 triliun.

Tapi gugatan Soeharto ini kandas di pengadilan negeri. Tujuh bulan bersidang, Juni 2000, majelis hakim pimpinan Sihol Sitompul menolak gugatan Soeharto. Hakim berpegangan, antara lain, pada tiga saksi ahli, yakni Goenawan Mohamad, Sabam Siagian (keduanya wartawan senior), dan Anton Moeliono (ahli bahasa). Menurut ketiga saksi itu, gambar dan tulisan Time masih dalam batas kepatutan. ”Gugatan pencemaran nama baik dalam berita tidak bisa diterapkan karena untuk kepentingan umum,” kata Sihol. Pengacara Soeharto meminta banding. Tapi kandas lagi. Pengadilan tinggi, Maret 2001, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tim pengacara Soeharto terus bergerak. Sebulan setelah putusan pengadilan tinggi, Tim Penasihat Hukum H.M. Soeharto—demikian nama tim pengacara Cendana ini—mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalil mereka, majelis hakim banding telah salah menafsirkan fakta dan menerapkan hukum. Masuk Mahkamah Agung pada 2001, kasus itu kemudian bagai ”lenyap ditelan bumi”.

Enam tahun kemudian, tiga hakim agung yang memegang kasus itu—German Hoediarto, Muhammad taufik, dan M. Bahauddin Qaudry—mengetuk palu, mengabulkan gugatan Soeharto. Menurut majelis kasasi pimpinan German yang purnawirawan mayor jenderal itu, Time telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati dalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati dan patut itu adalah ilustrasi rumah dan berita yang menyebut Soeharto mentransfer US$ 9 miliar (sekitar Rp 108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuah bank di Austria pada Juli 1998.

Mahkamah menghukum wartawan yang terlibat dalam penulisan laporan itu. Mereka adalah Donald Marrison (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Dua yang terakhir adalah warga Indonesia. Selain membayar secara tanggung renteng Rp 1 triliun, mereka harus menyatakan permintaan maaf kepada Soeharto yang dimuat di lima koran dan majalah nasional plus majalah Time edisi Asia, Eropa, dan Amerika selama tiga kali berturut-turut. Masih ada perintah lain: permintaan maaf itu disiarkan di lima televisi nasional selama tujuh hari berturut-turut. Todung Mulya Lubis, pengacara Time, terkejut mendengar putusan itu. ”Ini putusan kejam,” kata Todung.

l l l

JURU bicara Mahkamah Agung, Joko Sarwoko, membantah kabar bahwa lamanya perkara itu diputus lantaran ada tekanan-tekanan terhadap Mahkamah. ”Semata karena menumpuknya perkara. Jadi harus antre,” kata Joko.

Majelis hakim sendiri mengabulkan sebelas dari dua belas alasan kasasi yang diajukan pengacara Soeharto. Misalnya soal saksi ahli itu. Menurut penggugat, kesaksian Goenawan Mohamad dan Sabam Siagian serta Anton Moeliono ternyata juga dipakai menilai hukum dan fakta persidangan. Ketiganya menilai tidak ada unsur penghinaan dalam sampul Time ataupun penggunaan kata Incorporated di belakang nama Soeharto. ”Kesaksian saksi ahli diperlukan sebatas keahliannya saja,” tulis penggugat dalam memori kasasinya. Hakim kasasi sependapat dengan penggugat.

Soal rumah, hakim menyatakan Time tak memiliki bukti bahwa rumah yang disebut dalam majalah itu milik Soeharto atau keluarganya. Menurut Juan Felix, Time memang mengajukan banyak bukti. ”Tapi isinya cuma kliping majalah dan koran.” Menurut dia, sejak awal pihaknya yakin Time salah dalam soal rumah ini. Demikian juga tentang transfer US$ 9 miliar dana yang disebut dilakukan Soeharto itu. Hakim menyatakan Time tidak bisa membuktikan adanya transfer itu.

Hakim memang mengesampingkan Undang-Undang Pers yang dipakai pengadilan sebelumnya dalam kasus ini. Alasannya, gugatan yang dilakukan Soeharto itu gugatan perdata karena Time dinilai melakukan perbuatan melawan hukum. Atas dasar itulah, menurut hakim, Time telah mencemarkan Soeharto.

Dicegat Kamis pekan lalu di Mahkamah Agung, German Hoediarto mengunci rapat-rapat mulutnya saat Tempo menanyakan putusan itu. ”No comment, saya tidak mau komentar,” kata hakim yang hampir pensiun itu.

l l l

Bukan hanya Todung Mulya Lubis yang kecewa. George Junus Aditjondro, sosiolog yang rajin meneliti dan mempublikasikan kekayaan keluarga Soeharto, pun heran atas putusan Mahkamah Agung. George menyoroti soal rumah yang menurut hakim tak ada buktinya itu.

Menurut George Aditjondro, rumah di 8 Winnington Road, London, itu memang tak lagi dimiliki Soeharto atau keluarganya saat persidangan kasus Time dimulai. ”Rumah itu dulu milik Sigit Harjojudanto, tapi sudah dijual,” kata George. Pada 1999, George mengaku mendatangi dan menginvestigasi rumah tersebut. ”Pemiliknya waktu itu sudah orang lain,” kata dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tersebut. Tapi, kepada Tempo, Juan Felix berkukuh bahwa rumah itu bukan milik Soeharto. Kalau milik Sigit? ”Wah, saya tidak tahu. Klien saya Pak Harto.”

Menurut Todung, untuk kasus ini pihaknya sudah mengajukan 80 bukti, yang merupakan hasil kerja investigasi empat bulan Time di berbagai negara. ”Jadi lebih dari cukup,” ujarnya. Beberapa bukti, diakui Todung, memang berupa kliping koran atau majalah. ”Tapi dokumen otentik pun kami ada.”

Todung menilai putusan itu merupakan kemunduran bagi pers. Ia menyatakan heran atas penilaian hakim yang menyatakan ilustrasi di Time mencemarkan nama baik Soeharto. ”Ilustrasi atau karikatur majalah atau koran biasanya satire, gampang membuat tipis telinga orang. Praktek ini sudah diterima di dunia media, masak disebut mencemarkan nama baik.”

Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal juga menyesalkan putusan Mahkamah Agung yang tak memakai Undang-Undang Pers. ”Dalam kasus ini, hakim lebih mendengarkan tuntutan pengacara pihak yang merasa dirugikan,” kata Ichlasul.

Kendati palu sudah diketuk, itu bukan berarti urusan ganti rugi ini dengan mudah terjadi. Menurut pakar hukum perdata internasional, Hikmahanto Juwana, lantaran Time Asia berdomisili di Hong Kong, bisa saja Time mengabaikan putusan Mahkamah Agung. ”Semua tergantung kesukarelaan Time,” katanya. Menurut ahli hukum Universitas Indonesia itu, tak gampang pengadilan Indonesia melakukan eksekusi terhadap aset-aset Time di Hong Kong. ”Saya yakin putusan pengadilan di Indonesia tidak diakui di Hong Kong.”

LRB, Arif A. Kuswardono, Maria Hasugian

No comments: