Thursday, September 20, 2007

Selidiki Pengaduan BPK Soal MA

Anwar, ”MA tak Bisa Teruskan Tradisi Belanda”

JAKARTA, (PR).-
Penolakan audit Mahkamah Agung (MA) atas penerimaan biaya perkara dari pihak berperkara, diibaratkan Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Anwar Nasution, sebagai cerminan tradisi Belanda. "MA pungut biaya atas dasar aturan sendiri, simpan sendiri, digunakan sendiri. Itu (meniru) tradisi Belanda," kata Anwar Nasution, di Gedung BPK Jakarta, Rabu (19/9).

Penjelasan Anwar Nasution terkait laporan BPK ke Mabes Polri, 13 September, tentang dugaan tindak pidana oleh pimpinan MA, terutama dugaan pelanggaran atas Pasal 24 Ayat (2) UU No. 15/2004, tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal ini menjelaskan, sikap MA menolakiaudit pelanggaran yang dapat diancam sanksi pidana.

Laporan ini mendapat respons dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol. Sutanto, yang menyatakan siap menyelidiki laporan BPK. Lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie pun mengatakan, kasus ini bukan delik pidana, tapi lebih pada sengketa kelembagaan dan MK yang berhak menyelesaikan.

Menurut Anwar, zaman dan UU telah berubah, negara ini tak lagi menerapkan UU Belanda. Karena itu, MA harus tunduk pada UU yang berlaku, di antaranya UU No. 15/2004, tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 20/1997, tentang Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP) dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Setor ke kas negara

Menyangkut biaya perkara, ia mengisbatkan identik dengan PNBP. Sesuai kategorinya, PNBP harus disetor ke kas negara, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan kepada dewan. Karena itu, MA bermaksud mengaudit biaya perkara periode 2005-2006.

"Satu tahun, BPK minta audit biaya perkara MA. Mereka mengulur-ulur waktu. Tak bisa ada kesepakatan karena BPK bukan lembaga pengambil keputusan," kata Anwar. Alasan pentingnya biaya perkara diaudit, menurutnya, nilai masukannya cukup besar.

Mengacu Keputusan Ketua MA (KMA) No. 024/SK/VI/2001, tentang Biaya Perkara Perdata Niaga yang Dimohonkan Kasasi dan Peninjauan Kembali, MA menaikkan biaya perkara 150% sampai 500%. Biaya perkara perdata niaga di tingkat kasasi, dari sebelumnya Rp 2 juta menjadi Rp 5 juta. Sedangkan biaya perkara perdata lain, seperti perkara agama masih Rp 500.000,00.

Sementara itu, Ketua MA Bagir Manan menolak komentar. "Ini kan baru puasa. Kita juga puasa bicara, nanti lebaran saja," katanya singkat. Reaksi senada disampaikan Juru Bicara MA Djoko Sarwoko. "Ini bulan Puasa," katanya.

Namun ia mengaku, staf MA sedang mencari informasi laporan BPK ke Polri. "Kita tidak mau emosional, ini kan belum jelas. Kita pun belum tahu siapa yang dilaporkan, siapa yang melaporkan, dan apa yang dilaporkan," ungkapnya. MA tak keberatan menyetor biaya perkara ke kas negara, asalkan ada payung hukum yang jelas dan pasti.

Reaksi polri

Menurut Sutanto, polisi harus menyelidiki setiap laporan. Kalaupun menjawab, Ia pun akan cek substansi laporan BPK. "Kita telah menyelidikinya," katanya. Laporan apa dan siapa pun yang melaporkan harus ditindaklanjuti. Polri tidak memandang latar belakang pelapornya.

Secara terpisah, Jimly Asshiddiqie menyatakan, perseteruan BPK dan MA bukan ranah pidana, lebih pada persoalan antarlembaga negara. MK lembaga berwenang menjembatani kasus ini. "Yang bisa mengadili lembaga hanya di sini (MK)," katanya.

Ia menyebutkan, kasus ini masuk wilayah Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). MK berhak mengadili karena substansinya bukan menyangkut keputusan MA, tapi kewenangan pengelolaan keuangan. (A-84)***

No comments: