Monday, September 17, 2007

Soeharto Dimenangkan


Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007
http://tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/opini.html
Opini

KEMERDEKAAN pers di Indonesia kini kembali terancam. Ancaman ini bukan datang dari ujung laras bedil, melainkan dari ketukan palu hakim. Putusan Mahkamah Agung 13 September lalu, yang memenangkan gugatan Soeharto atas majalah Time, yang tak hanya menghukum media internasional itu meminta maaf di berbagai media, tapi juga membayar ganti rugi Rp 1 triliun, jelas berefek serupa dengan pembredelan. Apakah ini berarti cara pembekuan surat izin usaha penerbitan pers di masa Orde Baru akan muncul kembali dalam bentuk pembredelan secara perdata?

Pembredelan terhadap pers nasional telah dinyatakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai perbuatan melawan hukum. Mungkin karena Time pers asing, majelis hakim tak mengacu pada UU tentang Pers itu. Soal ini jelas dapat diperdebatkan, tapi ada undang-undang lain yang berasal dari dunia internasional yang ternyata ditabrak. Itulah UU Nomor 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal 19 kovenan ini jelas-jelas tak memperbolehkan pembredelan terhadap pers kecuali menyangkut kepentingan keamanan negara dan ketertiban umum.

Artikel majalah Time tentang kekayaan Soeharto tak ada kaitannya dengan keamanan negara ataupun ketertiban umum di Indonesia. Kegiatan investigasi para wartawan media ini menelusuri harta mantan presiden itu bahkan selaras dengan semangat Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebuah dokumen negara yang resmi menuliskan nama Soeharto di dalamnya.

Hasil penelusuran harta Soeharto di sebelas negara oleh para wartawan Time kemudian ditampilkan dalam laporan sepanjang 13 halaman. Penulisannya pun dilakukan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang berlaku. Asas berimbang diterapkan dengan memuat keterangan para penasihat hukum Soeharto setelah usaha mewawancarai sang jenderal besar menemui jalan buntu. Upaya check and recheck pun dilakukan sampai empat bulan lamanya.

Hasilnya memang sebuah karya jurnalistik yang prima. Setelah membaca laporan itu, masyarakat Indonesia pun mengetahui lebih jelas di mana saja harta yang diduga milik keluarga Soeharto berada atau disembunyikan dan berapa perkiraan nilainya. Sayangnya, aparat hukum di masa pemerintahan Habibie tak langsung mengembangkan informasi ini sehingga sebagian besar aset di luar negeri itu pun kemudian mengalami pengalihan kepemilikan dan semakin sulit dilacak.

Akibatnya, hingga sekarang, belum sepeser pun harta keluarga Soeharto yang diduga hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat dikembalikan ke kas negara. Ini menyedihkan mengingat negara berkembang seperti Nigeria berhasil meraih kembali sepertiga dari sekitar US$ 6 miliar yang dicuri mantan presiden Sani Abacha dan keluarganya. Pemerintah Filipina pun mendapatkan kembali sebagian hartanya yang sempat dijarah bekas presiden Marcos dan keluarganya.

Prestasi ini dicapai karena aparat hukum mereka giat menelusuri harta haram itu ke berbagai penjuru dunia. Mallam Nuhu Ribadu, Kepala Komisi Kejahatan Keuangan dan Ekonomi Nigeria, malah rajin berkampanye melobi negara maju agar membantu mengembalikan harta koruptor di negara berkembang yang disimpan di berbagai bank di negara mereka. Hasilnya cukup menggembirakan. Pembekuan uang Tommy Soeharto di Inggris dan uang E.C.W. Neloe di Swiss adalah contohnya. Selain itu, konvensi internasional antikorupsi disepakati di ajang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah RI termasuk yang cukup awal meratifikasinya.

Sayang sungguh sayang, semangat tinggi membebaskan negeri dari penyakit korupsi ini belum meresap ke sanubari semua hakim agung. Majelis hakim agung yang dipimpin Mayor Jenderal Purnawirawan German Hoediarto malah berpendapat martabat Soeharto sedemikian tingginya sehingga hasil investigasi Time dianggap sebagai pencemaran nama baik dan majalah berita ini diperintahkan meminta maaf serta membayar ganti rugi Rp 1 triliun. Padahal di negeri sekaya Jepang saja hukuman ganti rugi tertinggi untuk pencemaran nama hanya sekitar Rp 500 juta.

Ini jelas sebuah hukuman yang mencederai harkat bangsa dan rasa keadilan masyarakat, yang perlu segera dikoreksi. Upaya peninjauan kembali wajib dilakukan, antara lain dengan mengajukan bukti baru telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik Internasional melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Hak warga untuk mempunyai akses pada pers yang bebas dan aktif mengawasi kepentingan publik harus selalu terjaga.

Selain itu, pengertian harkat bangsa yang telah dibelokkan oleh keputusan bermasalah ini pun perlu dikoreksi. Bangsa yang bermartabat bukanlah bangsa yang tak bisa menerima kritik pers asing, melainkan justru yang sigap menghukum para pencuri uang rakyat dan selalu mengupayakan kembalinya dana itu ke kas negara.




buatan Radja|endro



No comments: