Wednesday, August 15, 2007

Gerilya Jual-Beli Pasal BI

Dewan Gubernur Bank Indonesia secara mendadak mengagendakan rapat penting, Kamis petang pekan lalu. Adalah sebuah dokumen yang menyebar ke berbagai kalangan yang membuat petinggi bank sentral itu kalang kabut. Dokumen itu isinya menyebutkan adanya aliran dana dari Bank Indonesia (BI) kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Aliran fulus sebesar Rp 4,415 milyar itu terkait pembahasan sejumlah undang-undang dan rencana anggaran BI.

Berbekal dokumen yang sama, Indonesia Corruption Watch (ICW) bergegas melaporkan dugaan suap itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat pekan lalu. Teten Masduki, Koordinator ICW, diterima Lambok Hutauruk, Direktur Gratifikasi KPK. "Saya kira, aliran dana ini upaya untuk mempengaruhi proses perundangan, khususnya RUU Lembaga Penjaminan Simpanan yang pada saat itu dibahas DPR," kata Teten Masduki. "Jadi, ada motif," ia menambahkan.

Ketika melapor, Teten juga membawa dokumen yang isinya membuat kalangan petinggi BI gerah. Dokumen itu berupa lembar disposisi pejabat dan pertanggungjawaban pengeluaran dana dari BI kepada DPR. Mengenai dugaan adanya upaya BI mempengaruhi dewan dalam kaitan dengan Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan (UU LPS) termaktub dalam lembar disposisi pejabat tanggal 8 September 2004.

Disposisi itu dikirim Rizal A. Djaafara, Kepala Biro Gubernur BI ketika itu, kepada Aulia Pohan, Deputi Gubernur BI pada saat itu. Aulia Pohan yang besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu kini sudah tak menjabat lagi di BI. Sedangkan Rizal Djaafara kini menjabat sebagai Kepala Biro Hubungan dan Studi Internasional, Direktorat Internasional BI.

Lembar disposisi 8 September 2004 itu menyebutkan bahwa RUU LPS sudah disetujui DPR dan telah disahkan menjadi UU LPS. Namun, dalam Bab VI Pasal 43 mengenai "Likuidasi Bank Gagal" LPS masih terdapat ganjalan. Beberapa materi belum dapat dimasukkan dalam bab itu. Misalnya mengenai jaminan kliring. "Namun seluruh pasal pada bab ini telah mengakomodasi usulan BI," begitu yang tertulis dalam disposisi.

Lembar disposisi itu juga menyebutkan, BI telah berkoordinasi dengan para anggota Panitia Kerja RUU LPS, yang akan menjabat kembali sebagai anggota DPR untuk periode 2004-2009. Mereka sepakat mengajukan RUU Likuidasi Bank sebagai RUU yang berdiri sendiri. RUU itu mengatur mengenai proses dan mekanisme likuidasi bank serta hal-hal lain yang terkait. Aturan yang sudah ada di RUU LPS akan diakomodasi pada RUU Likuidasi Bank, dengan menambah materi yang belum ada di RUU LPS.

Sebagai sosialisasi mengenai pentingnya RUU Likuidasi Bank, pada masa persidangan selanjutnya dan dalam upaya diseminasi hubungan baik dengan DPR, biro gubernur mengusulkan penyampaian dana sebesar Rp 500 juta. Dananya bersumber dari Direktorat Hukum BI.

Teten Masduki menilai, "jual-beli" pasal di DPR sudah termasuk lazim terjadi dalam proses sebuah paket RUU atau anggaran. "Saya pikir, hal seperti itu bukan problem di BI saja, bisa terjadi di mana saja dengan lembaga siapa saja," katanya kepada Anthony dari Gatra.

Masih kepada Aulia Pohan, pada 21 September 2004, biro gubernur juga meminta persetujuan penarikan dana sebesar Rp 650 juta untuk diseminasi amandemen UU Perbankan. Ini setelah lobi kepada anggota DPR menyepakati penundaan pembahasan amandemen UU Perbankan itu.

Lembar disposisi pejabat tertanggal 8 September dan 21 September itu adalah dua di antara enam lembar disposisi, yang isinya masih seputar permintaan dana dari biro gubernur kepada deputi gubernur, yang oleh ICW dicurigai secara gerilya akan diserahkan kepada anggota Komisi IX DPR. Sedangkan lembar disposisi pejabat lainnya yang juga diserahkan ICW ke KPK berisi seputar laporan dari biro gubernur kepada dewan gubernur tentang isi rapat dewan gubernur pada Juli 2002, tidak menyangkut permintaan pemberian uang kepada dewan.

Usulan pemberian uang dari BI ke DPR juga tercermin pada lembar disposisi pejabat tertanggal 21 September 2004. Disposisinya dari Rizal Djaafara kepada Aslim Tadjuddin, deputi gubernur, itu berisi permintaan dana sebesar Rp 2,65 milyar. Pemberian itu dilakukan sebagai "pesangon" dan pembinaan hubungan baik dengan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan RUU Kepailitan. Sebab masa jabatan para anggota panja itu akan berakhir.

Tak hanya buat anggota Panja RUU SPPN dan RUU Kepailitan, dana sebesar Rp 2,65 milyar itu juga masuk dalam satu paket pemberian atas selesainya pembahasan RUU LPS. Dalam disposisi lain yang masih bertanggal sama, yakni 29 September 2004, dan juga ditujukan kepada Aslim Tadjuddin, biro gubernur makin menegaskan perlunya menyampaikan dana itu kepada anggota Panja RUU LPS. "Seluruh high call BI pada dua RUU dimaksud (RUU LPS dan RUU Kepailitan) telah diakomodasikan," demikian tertulis pada disposisi itu.

Tak hanya urusan RUU yang berkaitan dengan tugas BI, dugaan pemberian dana kepada DPR juga terlihat dalam lembar disposisi pejabat tertanggal 21 September 2004, yang dikirim Rizal Djaafara, Kepala Biro Gubernur BI ketika itu, kepada Bun Bunan Hutapea, Deputi Gubernur BI. Disposisi itu menyebutkan, untuk menindaklanjuti pentingnya penyampaian anggaran BI dan mempertimbangkan urgensi persetujuan anggota dewan atas anggaran BI, akan dilakukan pertemuan informal pada 21 September 2004.

Pertemuan yang berlangsung di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, itu melibatkan perwakilan fraksi-fraksi di Komisi IX DPR yang berjumlah 18 orang. Dalam pertemuan itu, BI akan menyampaikan secara informal rincian anggaran BI, sekaligus memohon dukungan persetujuannya. Rizal meminta Bun Bunan hadir dalam pertemuan itu. Sebagai apresiasi, Rizal mengusulkan diberikan dana diseminasi sebesar Rp 540 juta kepada dewan.

Dokumen ICW yang diserahkan ke KPK itu juga memuat nama-nama anggota dewan yang terlibat dalam pertemuan membahas anggaran BI. Mereka adalah Hamka, Nurlif, Bobby, dan dan Antony (Partai Golkar), Matheos dan Williem (PDI Perjuangan), Faisal Baasir, Endin, dan Danial (Partai Persatuan Pembangunan), Hakam Nadja, Rizal Djalil, dan Soenmandjaja (Reformasi), serta Sulistiadi, Darsup, dan Udju (TNI).

Tak hanya kepada anggota dewan, dana BI juga diduga mengalir ke 15 orang di Sekretariat Komisi IX. Nilainya sebesar Rp 75 juta. Ini berdasar lembar disposisi pejabat tentang tindak lanjut breakfast meeting Gubernur BI, tertanggal 28 September 2004. Disposisi itu dikirim Rizal Djaafara kepada Aslim Tadjudin. Pemberian uang itu adalah buah kesepakatan antara Gubernur BI dan anggota Komisi IX, yakni ungkapan apresiasi atas seluruh asistensi yang diberikan Sekretariat Komisi IX.

Menerima pengaduan dari ICW, KPK berjanji mempelajari dokumen yang diserahkan. "Untuk memutuskan bisa tidaknya diteruskan ke tingkat penyidikan atau bagaimana nanti," kata Johan Budi S.P., Humas KPK. Setidaknya butuh waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan penelisikan itu.

Sejumlah anggota DPR yang disebut dalam dokumen itu membantah telah menerima uang dari BI. "Saya tidak pernah mengikuti pembahasan undang-undang yang terkait dengan BI," kata Hakam Nadja kepada Deni Muliya Barus dari Gatra. "Ketika di Komisi IX itu dalam pergantian antar waktu, yang sudah berakhir masa periodenya," Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional yang kini menjadi anggota Komisi X DPR itu menambahkan.

Begitu pula Matheos Pormes dari PDI Perjuangan. "Seingat saya, saya nggak pernah ikut serta dalam beberapa pembahasan RUU yang dimaksud. Jadi, saya no comment sajalah," katanya tenang. Matheos kini sudah beralih ke Partai Demokrasi Pembaharuan dan menyatakan siap bila diminta KPK memberi keterangan yang diperlukan. "Asal jangan ada rekayasa ini-itu," ujarnya.

Sedangkan Williem Tutuarima dari PDI Perjuangan mengaku belum mengetahui dokumen yang disebutkan berisi aliran dana ke anggota DPR itu, termasuk dirinya. "Lagi pula, saya nggak pernah terima apa pun tuh," kata mantan anggota Komisi IX DPR (1999-2004) dari PDI Perjuangan itu. Kini ia menjadi anggota Komisi VII. Bobby Suhardiman dari Partai Golkar menolak berkomentar. "Tanya yang lain aja deh. Saya tidak mengikuti perkembangannya," katanya. "Sejak seminggu di Sydney (Australia) mengurusi sekolah anak sampai 14 Agustus mendatang," ia menambahkan.

BI secara resmi juga membantah isi dokumen yang diserahlan ICW ke KPK itu. "Itu merupakan isu semata. Sederhana pengertian saya, karena dokumen yang beredar bukan dokumen yang otentik. Dokumen itu berbeda dengan yang ada di Bank Indonesia," kata Budi Mulia, Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI. Dokumen yang beredar tidak berkop BI, tidak ditandatangani pejabat yang berwenang, dan tidak ada otentifikasi dari BI.

Dalam dokumen yang beredar, kata Budi, disebutkan bahwa langkah sosialisasi yang dilakukan BI menyimpang dari yang seharusnya. "Padahal, setiap kegiatan BI yang menggunakan anggaran, termasuk sosialisasi atas kebijakan dan produknya, senantiasa diawasi pengawas internal dan eksternal," ujarnya. Langkah-langkah sosialisasi itu dilakukan secara luas kepada semua elemen masyarakat. "Dari masyarakat umum, akademisi, pengamat, asosiasi, guru, termasuk media dan parlemen," tutur Budi.

Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin tenang saja menanggapi isu suap dari BI ke DPR yang melibatkan namanya. "Nggak benar itu. Saya tak punya wewenang menyetujui penggunaan dana sebesar itu," kata doktor ekonomi moneter dan internasional dari University of Colorado, Boulder, Amerika Serikat, itu. Ia juga mempertanyakan keabsahan dokumen yang diserahkan ICW ke KPK.

Aslim Tadjuddin mulai menjabat sebagai Deputi Gubernur BI pada 11 November 2002. Ia satu angkatan dengan Bun Bunan Hutapea. Keduanya akan mengakhiri masa jabatan pada 11 November mendatang dan bisa saja terpilih lagi. Sebab, berdasar aturan, seorang Deputi Gubernur BI bisa menjabat dalam dua kali masa jabatan.

Dari semua Deputi Gubernur BI yang ada sekarang, memang hanya Aslim dan Bun Bunan yang habis masa jabatannya tahun ini. Karena itu, isu pun melebar ke persoalan pembunuhan karakter terhadap keduanya. Tujuannya, supaya kans untuk terpilih lagi sebagai deputi gubernur menjadi tipis atau nol. Adanya upaya pembubuhan karakter ini juga diakui Aslim.

Terlepas dari isu makin dekatnya masa pergantian Deputi Gubernur BI dan isu pembunuhan karakter itu, ICW menilai KPK harus menuntaskan dugaan gratifikasi dari BI ke DPR itu. "Saya yakin KPK bisa," kata Teten Masduki.

Kalaupun BI membantah bahwa dokumen yang diserahkan ICW itu tak sah dan tak otentik karena tak ada tanda tangan maupun stempel, bukan berarti kasus ini langsung ditutup. "Ini kan bukti awal, bukan bukti di pengadilan. Tidak perlu keabsahan. Memangnya ini bukti transfer bank," ujarnya. "Perlu diingat, substansinya berharga untuk ditelusuri," ia menambahkan.

Teten juga meminta Dewan Kehormatan (BK) DPR menindaklanjuti dugaan suap bermotif memuluskan pasal-pasal alot itu. "Dalam kasus dana Departemen Kelautan dan Perikanan, BK memperlihatkan kewibawaan dan melakukan pemeriksaan. Dalam kasus ini, perlu ada kerja sama KPK," katanya.

Gayus Lumbuun, Ketua BK DPR, mengaku siap mengusut dugaan suap BI itu. Tapi BK, katanya, tidak bisa serta-merta menjalankannya. "Sesuai tata tertib, kami memerlukan perintah dari pimpinan DPR atau laporan masyarakat," kata politikus dari PDI Perjuangan itu. Bila sudah ada, pemeriksaan akan dilakukan.

Dari pemeriksaan ini akan diketahui apakah aliran dana dari BI itu untuk mendukung operasional penggodokan RUU atau untuk kepentingan pribadi. "Keduanya melanggar, tapi kadarnya berbeda," katanya. Bila dana itu ada hubungannya dengan operasional, maka sanksinya lebih ringan. Namun, bila terkait kepentingan pribadi, sanksinya akan berat, misalnya pencopotan dari keanggotaan di DPR.

Irwan Andri Atmanto, Hatim Ilwan, Mujib Rahman, dan Bernadetta Febriana
[Laporan Utama, Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 10 Agustus 2007]

No comments: