Tuesday, August 14, 2007

Berebut Kursi Pencetak Fulus

Bank Indonesia dan Departemen Keuangan sekarang ”bertanding” berebut Peruri. Lanjutan perseteruan lama.

RAPAT pendahuluan Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Selasa tiga pekan lalu terasa lain dari biasanya. Memakan waktu lebih dari dua jam, suasana rapat di lantai tiga markas bank sentral di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, itu lebih ”panas”.

Kabar yang dibawa salah seorang pejabat BI di awal rapat cukup membuat merah kuping para petinggi bank sentral. Isinya penolakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atas tiga kandidat direktur Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) yang diusulkan BI.

Bak bola liar, pembahasan merembet ke soal konflik lain antara BI dan Departemen Keuangan. Disebut-sebut soal perebutan kewenangan mencetak uang, ancaman pemindahan rekening pemerintah dari bank sentral, hingga niat memasukkan BI dalam kategori badan yang dikenai pajak.

Alhasil, bara ”perseteruan” kedua lembaga negara ini pun kembali menyala. Kali ini penyulutnya adalah perebutan kursi direksi Peruri. Masa jabatan seluruh direksi Peruri sudah beberapa bulan berakhir. Pada September mendatang diharapkan tim direksi baru telah terbentuk.

l l l

Sesungguhnya, usulan bank sentral disampaikan atas permintaan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil. ”BI mengajukan calon karena ada tawaran,” kata juru bicara BI, Budi Mulya, pekan lalu.

Siapa para kandidat yang diajukan BI? Budi tak mau menyebutkan. Nama yang beredar, antara lain, Yang Ahmad Rizal (Direktur Perizinan Bank), Eddy Sulaeman Yusuf (Direktur Pengelolaan Moneter), dan M.D. Soegiarto (pimpinan BI Bandung). ”Saya mengajukan daftar riwayat hidup, pertengahan Juli lalu,” kata Ahmad Rizal pekan lalu.

Sebagai pemegang otoritas moneter, kabarnya BI memang sudah lama ingin ”menguasai” Peruri. Sudah menjadi rahasia umum, antara kedua lembaga sering terjadi konflik. Yang pernah terjadi, konflik soal biaya cetak uang, tinta, kertas, hingga soal pembelian mesin cetak uang.

Salah satu konflik itu terjadi akhir tahun lalu. Kedua instansi terlibat ”perang” dalam soal pencetakan uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 20 ribu. BI yang berniat menambah jumlah uang beredar pada tahun ini meminta Peruri mencetak 6,6 miliar lembar uang. Namun, BUMN itu cuma bisa mencetak 5,5 miliar lembar. Gara-gara itu, BI berniat membuka tender untuk memenuhi target sisanya bagi swasta.

Sebagai satu-satunya pencetak uang nasional, manajemen Peruri langsung meradang. Mereka mengadu ke Menteri Perindustrian dan Menteri Negara BUMN. Sejak itulah perseteruan meluas ke soal pembelian mesin dan biaya cetak uang. Dokumen rahasia pembelian mesin cetak uang yang dinilai terlalu mahal bahkan kemudian bocor ke tangan anggota DPR dan media massa.

Barangkali BI beranggapan dengan ”menguasai” Peruri, BI lebih mudah untuk menjamin stabilitas moneter. Namun, sebagian pihak di pemerintahan justru khawatir BI sesungguhnya punya motif lain.

Motif lain itu diduga adalah niat agar pencetakan uang bisa ditenderkan. Menurut seorang pejabat pemerintah yang ikut membahas Peraturan Pemerintah tentang Peruri tahun lalu, niat swastanisasi pencetakan uang memang sudah pernah dilontarkan BI. ”Jangan lupa, yayasan BI juga punya bisnis pencetakan uang di luar Peruri,” katanya.

Kekhawatiran itulah, kata sumber Tempo, yang ikut menyulut aksi penolakan Menteri Keuangan atas usulan BI. ”Menteri Keuangan tidak mau,” kata pejabat yang terlibat proses seleksi. ”Masak, semua-semua dikuasai BI.”

Ketika ditanyakan soal keributan ini, Menteri BUMN Sofyan Djalil tampaknya tak mau terjebak dalam polemik. Yang jelas, kata mantan Menteri Informasi dan Telekomunikasi ini, sudah ada 12 kandidat yang diuji. Tiga dari bank sentral, dua dari Peruri, dan sisanya dari berbagai instansi lain. ”Mereka para profesional,” kata Sofyan pekan lalu.

Disebut-sebut, Soegiarto termasuk salah seorang kandidat yang telah lolos uji kelayakan di tim Kementerian BUMN. Ia bahkan, kabarnya, dijagokan menjadi Dirut Peruri yang baru menggantikan Kusnan Martono. Nama lain yang lolos adalah calon dari Peruri, yaitu Marlan Arief (Direktur Logistik).

Sofyan sendiri belum mau buka kartu. Alasannya, sejumlah nama yang sudah dikantonginya masih akan dibahas lagi oleh Tim Penilai Akhir (TPA). Tim ini dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beranggotakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Sekretaris Negara.

Meski begitu, Sofyan menampik ada perbedaan sikap antara Menteri Keuangan dan BI soal kandidat Dirut Peruri. Kalaupun ada perbedaan, kata dia, akan dibahas dalam rapat TPA. ”Yang jelas, kami mencari pemimpin terbaik untuk Peruri,” ujarnya.

Pembahasan di TPA ada kemungkinan akan dilakukan dalam beberapa pekan mendatang. Menurut seorang pejabat yang terlibat dalam proses seleksi itu, Wapres Jusuf Kalla satu kubu dengan Menteri Sri Mulyani. Apalagi, Kalla selama ini kerap mengkritik bank sentral. ”BI itu jangan seperti negara dalam negara,” kata Kalla dalam suatu kesempatan.

Sri Mulyani yang ditemui seusai rapat di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Selasa pekan lalu, mengunci rapat bibirnya saat ditanya soal calon direktur Peruri usulan BI. Begitu pun dengan Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution. ”Wah, kalau itu tanya Bu Menteri,” katanya di DPR.

Cerita yang lebih gamblang datang dari seorang pejabat pemerintah. Ia mengingatkan, perebutan kursi pencetak fulus cuma serpihan kecil dari perseteruan besar antara BI dan Departemen Keuangan.

Menurut dia, kekecewaan pemerintah atas BI sudah menumpuk sejak krisis ekonomi. Bukan saja karena beban krisis triliunan rupiah dialihkan dari bank sentral ke Departemen Keuangan, tapi juga soal kewenangan BI yang dinilai terlampau besar.

Itu sebabnya, ketika polemik soal kewenangan pencetakan uang mencuat dalam pembahasan Undang-Undang tentang Mata Uang di DPR beberapa waktu lalu, banyak kalangan mengaitkan kisruh itu bagian dari upaya pemerintah mempreteli peran BI. ”Dalam pembahasan UU ini, pertarungan keduanya masih terasa,” ujar Hamkah Yandu, anggota Panitia Khusus UU Mata Uang dari DPR.

Kepada DPR, Maret lalu, Sri Mulyani mengungkapkan, sesuai dengan UUD 1945, keuangan negara dikuasai oleh presiden. Karena itu, wewenang mencetak uang ada di tangan pemerintah, bukan BI. Konsekuensinya, mata uang tak lagi memajang lambang BI dan tanda tangan Gubernur BI, melainkan lambang Republik Indonesia dan diteken presiden. ”Ini untuk menghindari konflik kepentingan, karena BI juga mengedarkan uang,” kata Sri.

Gubernur BI Burhanuddin Abdullah jelas tak sepakat. Dengan dalih sesuai dengan UUD 1945 pula, ia meyakinkan bahwa tugas mencetak, mengedarkan, dan memusnahkan uang ada di tangan BI. Agar meyakinkan, ia menunjuk praktek di negara lain. Pada 62 negara (82 persen dari negara-negara yang diteliti BI) mata uangnya diteken oleh gubernur bank sentral, 5 negara (6,6 persen) oleh presiden, serta sembilan negara (11,8 persen) diteken bersama oleh gubernur bank sentral dan Menteri Keuangan.

Hingga kini belum ada kata sepakat antara BI dan Departemen Keuangan. ”Sikap kami tetap, kewenangan cetak uang di tangan pemerintah,” kata Dirjen Perbendaharaan Negara Depkeu Herry Purnomo, dua pekan lalu. Namun, Budi Mulya memilih untuk tak membuka konfrontasi. ”Kami sudah memberi masukan ke DPR,” katanya diplomatis. ”Sekarang, kami cermati saja perkembangannya.”

Soal direksi Peruri, Budi pun menyerahkan kata akhir kepada pemerintah meski, menurut sejumlah pejabat di bank sentral, pihak BI tetap akan memperjuangkan salah satu calonnya agar tetap masuk bursa direksi Peruri.

Tampaknya, bara ”perseteruan” dua lembaga itu masih akan terus berpijar.

Heri Susanto

No comments: