Saturday, May 19, 2007

Hanjeli, bukan Sekadar Pengganjal Perut


Hanjeli, bukan Sekadar Pengganjal Perut
MUSIM kemarau memang belum menunjukkan tanda-tanda bakal datang. Hujan masih saja mengguyur dalam intensitas sedang hingga tinggi. Akan tetapi, masyarakat sejumlah desa di Kec. Cipongkor Kab. Bandung sudah bertanam hanjeli. Tumbuhan itulah yang mereka konsumsi sebagai pengganti nasi setiap kali kekurangan beras. Maklum, mayoritas sawah di Cipongkor adalah sawah tadah hujan.”Ini tradisi yang kami jalani sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Bahkan, katanya, sebelum pindah ke nasi, makanan pokok orang-orang tua dulu, di sini, ya hanjeli,” tutur Ny. Waway (45), warga Desa Sukamulya Kec. Cipongkor, Kamis (17/5).
Hal itu dibenarkan Ajan Zaenudin (40), juga warga setempat. Ia menuturkan, hanjeli membutuhkan waktu setidaknya 6 bulan untuk siap dipanen. Kendati demikian, warga Cipongkor selalu menanam hanjeli bersamaan dengan menanam padi. ”Ketika padi dipanen, hanjeli membutuhkan waktu 3 bulan lagi. Ya, itung-itung bersiap menghadapi kemarau panjang, seperti tahun lalu,” katanya.
Ny. Waway menuturkan, kecuali ditanak selayaknya nasi, hanjeli bisa diolah menjadi beraneka ragam jenis penganan, seperti bubur, lontong, peuyeum, dan sebagainya. ”Hanya, sebelum diolah, biji-biji hanjeli harus terlebih dahulu direndam selama dua malam. Kalau kurang dari itu, biji hanjeli masih keras,” ucapnya.
Ajan Zaenudin mengatakan, sebenarnya, masyarakat setempat menjadikan hanjeli hanya sebagai ganjel. Soalnya, di musim kemarau itu, banyak warga yang kesulitan membeli beras. ”Bukannya tak ada yang jual beras, melainkan harganya yang mahal. Daripada perut tak diisi.... Tapi, saat itu, tak hanya hanjeli yang dijadikan makanan alternatif. Banyak juga warga yang makan singkong,” tutur Ajan.
**
MEMBACA kisah tersebut, mungkin bakal terlintas tentang nasib mereka yang tak beruntung. Namun, berdasarkan penelusuran ”PR” di dunia maya, ternyata, hanjeli mengandung khasiat untuk kepentingan pengobatan, seperti untuk mengusir tumor pencernaan.
Tumbuhan tersebut memiliki nama Latin Coix lacryma-jobi L atau Coix agrestis lour. Kosakata Indonesia ”mengenalnya” sebagai jali. Sementara, di sejumlah wilayah negeri ini, tumbuhan tersebut dikenal sebagai singkoru batu, kemangge, bukehang, kaselore, dan --itu tadi-- hanjeli.
Tumbuhan tersebut berkembang biak dengan biji. Berdaun pita dengan permukaan daun berbulu. Sekilas, hanjeli mirip rumpun tebu ”mungil” yang memiliki tinggi 1 meter. Bulir bijinya beruntai bulat-bulat dengan kulit yang keras. Warna bijinya hijau, yang pada saat matang berwarna putih. Ternyata, biji hanjeli mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin B1, asam amino, coixol, coixenolide, dan coicin. Secara farmakologis, biji hanjeli dapat memperkuat limfa dan paru-paru, meningkatkan daya tahan tubuh, peluruh kencing, antiradang, mengeluarkan nanah, antitoksin, dan menyembuhkan bisul. Biji hanjeli juga mampu mengganggu pertumbuhan sel kanker pada tingkat metafase. Di samping itu, bagian ini juga mampu meningkatkan fungsi korteks adrenal dan menambah imunitas sel serta fungsi hormonal.


Bagian lain yang kerap digunakan untuk pengobatan adalah daun dan akar. Daun hanjeli mengandung alkaloid, sedangkan akarnya mengandung coixol, asam pamitate, asam stearat, stigmasterol, betha dan gamma-stosterol, potassium chlorida, glukosa, asam amino, tajin, phytin, dan vitamin B1. Dari sisi farmakologis, akar hanjeli menguatkan limfa, peluruh kencing, antiradang, mematikan serangga, dan anti-toksin. Ternyata, hanjeli bukanlah penegas nasib yang tak beruntung. (Hazmirullah/”PR”)***

No comments: