Tuesday, May 15, 2007

Kisah Anwar-Khonik di Negeri Mimpi

"Saya kepingin pulang," kata Khonik dengan wajah sendu, saat ditemui Gatra di kamar 486, Unit Psikiatri Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Wanita itu baru tenang hatinya setelah diyakinkan bahwa dia segera pulang beberapa hari lagi.

Khonik memang mengalami tekanan jiwa cukup berat. Bayangkan, sejak kedatangannya ke Amerika Serikat dua tahun lalu, ibu berusia 30 tahun itu tak henti-henti didera kemalangan. Dua anaknya diambil hak asuhnya oleh Pemerintah Amerika Serikat, sedangkan suaminya dideportasi alias dipulangkan secara paksa ke Indonesia. "Dia lebih menderita dari saya," ujar Anwar, suaminya, saat dihubungi di Surabaya dari Amerika.

Seperti halnya keluarga muda, Anwar Muhammad dan Khonik Insiyah awalnya bahagia. Sebagai lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya, Anwar mampu mencukupi kebutuhan keluarga dengan mengajar bahasa Inggris di berbagai lembaga kursus di "kota pahlawan". Namun, demi memperbaiki nasib, Anwar tergiur berangkat ke Amerika Serikat pada 2001.

Awalnya Anwar bekerja sebagai buruh serabutan. Dua tahun kemudian, saat Amerika mencanangkan "wajib lapor" bagi warga asing, Anwar yang hanya mengantongi visa turis ikut mendaftarkan diri. Seperti kaum imigran Indonesia lainnya, ia mengajukan suaka politik agar mendapat izin kerja. Juga biar merasa lebih aman.

Nah, agar gampang diberi suaka politik, atas usul pengacaranya, Anwar perlu membuat alasan yang masuk akal. Pria 35 tahun kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, ini pun mengarang bahwa dia mantan anggota organisasi militan Islam di Jawa Timur yang diburu karena dianggap membelot.

Cerita karangan itu berhasil. Anwar pun mengantongi izin kerja resmi. Sambil menunggu permohonan suakanya diproses di pengadilan, Anwar bekerja di tempat lebih layak dibandingkan dengan warga Indonesia lainnya. Ia bisa menjadi pengantar piza Papa John atau menjadi tukang parkir, misalnya. Apalagi, Anwar tergolong pekerja keras sehingga "Hasilnya lumayan sampai ia bisa beli mobil sedan di Amerika dan rumah di Sidoarjo," tutur teman-temannya.

Agar ikut menikmati kehidupan yang lebih baik, diajaklah Khonik bersama anak perempuannya, Farah Husniatuz Zahra, ke Philadelphia pada 2005. Di sinilah kemalangan berawal. Suatu hari, Anwar ditelepon petugas INS (Badan Imigrasi Amerika) untuk diproses permohonan suakanya. Tanpa curiga, ia pun datang keesokan harinya ke kantor imigrasi. "Sampai di sana saya langsung diborgol dan dipenjara, padahal proses banding tengah berlangsung," katanya. Belakangan baru disadari, ia dituduh terlibat kelompok Islam militan yang diburu Amerika. "Lha, itu kan cerita ngarang saja," ujar Anwar.

Ditinggal beberapa bulan, Khonik pun mengalami krisis keuangan sehingga terpaksa bekerja. Apalagi, Rahmadani Fitri Muhammad, anak keduanya, lahir prematur tujuh bulan akibat ibunya stres, sehingga butuh biaya ekstra. Karena meninggalkan anak-anak balita dilarang di Amerika, Khonik tidak bisa bekerja jauh-jauh. Sehingga ia bekerja di toko pemilik apartemennya di Warung Surabaya, yang terletak di lantai dasar.

Beberapa hari berjalan seperti biasa, sampai terjadi musibah. Rahmadani jatuh dari gendongan Farah, kakaknya, berguling dari tangga lantai II ke bawah sehingga mengalami perdarahan di kepala. Baru keesokan harinya si bocah dibawa ke rumah sakit, dan Khonik berkelit bahwa dia yang menjatuhkan bayinya. Alasan Khonik tidak cocok dengan diagnosis dokter setempat, yang membuktikan bahwa bayinya gegar otak lantaran jatuh dari tempat yang tinggi. Bukan dari gendongan orang dewasa. Lantas, ke mana ibunya waktu kejadian?

Pertanyaan itu bagaikan mengorek kejujuran Khonik yang ingin melindungi anak tertuanya, Farah, melindungi pemilik apartemen, dan ingin menutupi statusnya sebagai imigran gelap. Semuanya terbongkar, dan Khonik digiring ke penjara dengan minimal empat tuduhan: menelantarkan anak balita, berbohong kepada petugas, menjadi imigran gelap dan, kalau tidak salah, ikut mendukung suaminya sebagai anggota kelompok militan. Keempat tuduhan itu baru disidangkan setelah persidangan mengenai perwalian anaknya, yang baru digelar pekan lalu.

Siang itu, Khonik digiring ke penjara kriminal wanita di State Road, Pennsylvania, sedangkan Rahmadani diambil Department of Human Services (Kantor Pelayanan Masyarakat) dan diasuh oleh sebuah keluarga Amerika. Sementara Farah dititipkan ke Rosamelati Andawesi, teman Khonik sesama kelompok pengajian di Philadelphia. "Saya nangis dan bingung. Saya mau diapain," tutur Khonik, yang tidak mampu berbahasa Inggris itu.

Setelah dua hari di penjara, Khonik dibebaskan dengan uang jaminan US$ 260 --dari semula US$ 2.600, berkat diplomasi petugas sosial Amerika. Malam hari setelah menerima uang jaminan, pihak penjara mengeluarkan Khonik. Ibu muda itu ditinggalkan begitu saja di tempat parkir pada malam hari di musim dingin. "Saya bingung, tolah-toleh nggak ada orang. 'Wait here! Saya bisa antar Anda setelah pulang kerja pukul 11 malam nanti,' kata pengantar saya orang Cina," ujar Khonik.

Setelah hampir satu jam, sebuah mobil tiba, dan Khonik langsung menghampirinya sambil memberi isyarat hendak meminjam telepon. Ia lalu menelepon Rosa, yang kemudian datang menjemputnya malam itu. Mereka berdua pun pulang ke kediaman Rosa di kawasan selatan Philadelphia.

Selama ditinggal suaminya bertugas ke Irak selama tiga bulan, Rosa bersedia menampung Khonik dan Farah. Selama beberapa pekan menunggu persidangan digelar, Farah bisa bersekolah dan bermain bersama anak-anak Rosa. Sedangkan Khonik membantu membersihkan rumah. Entah karena stres berat, pikiran Khonik pun sering goyang. Ia menanggalkan jilbab yang selalu dipakainya selama ini. "Ia merasa, gara-gara jilbab itu, ia ditahan," tutur Rosa dan teman-teman lainnya. Ia memotong rambutnya sebahu, mengenakan giwang, dan bersolek.

Yang fatal, suaminya meminta dicarikan pengacara untuk membebaskannya. Permintaan ini membuat Khonik jadi tertekan. Ia bermaksud mencari uang untuk membayar pengacara dan mendatangi agen tenaga kerja, tetangga Rosa. Rasa cinta dan tanggung jawab pada Anwar dan kedua anaknya membuat Khonik ingin cepat bekerja.

Agen itu senantiasa didatanginya tanpa kenal waktu. Dan tiga pekan lalu, Khonik menggayuti mobil sang agen agar dibawa ikut bekerja. Tentu saja tindakan ini mengganggu lingkungan di sekitarnya, sehingga polisi datang bersama petugas pelayanan masyarakat. Singkat kata, Khonik dibawa ke Rumah Sakit Universitas Pennsylvania untuk dirawat di unit psikiatri.

Ke mana Farah? "Karena saya bukan orangtuanya, dia diambil petugas pelayanan masyarakat dan dititipkan di sebuah keluarga Amerika," kata Rosa, yang tak mampu berbuat apa-apa. Sampai pekan lalu, kondisi Khonik mulai membaik dan bergaul dengan sesama penderita, walau sesekali diam termangu di tempat tidur. "Banyak zikir dan baca Al-Quran biar pikiran nggak ngelantur ke mana-mana," kata seorang penasihat spiritualnya. Khonik baru tahu bahwa Anwar sudah dideportasi ke Indonesia.

Bagaimana nasib kedua anaknya? Atas saran Iwanshah Wibisono, Konsul Bidang Penerangan Konsulat Jenderal RI (KJRI) di New York, teman-teman Anwar dan Khonik diminta menyampaikan surat permohonan agar perwalian Farah dialihkan pada keluarga Rosamelati dan Firdaus yang hanya memiliki dua anak. Surat permohonan yang dilampiri keterangan dari KJRI New York serta dari RW dan RT di Sidoarjo itu disampaikan ke Pengadilan Philadelphia pekan lalu, agar diluluskan. Sedangkan Rahmadani masih perlu dirawat orangtua asuhnya yang kebetulan seorang perawat.

"Saya tidak sempat melihat anak saya," kata Anwar dengan suara menahan haru. Adapun Khonik diperkirakan bakal dibebaskan dari rumah sakit pekan ini karena dianggap sehat. Ia selalu membawa tidur foto Rahmadani. "Kini berat badannya tujuh kilo dan menunggu gips kakinya dilepas," ujar Khonik sambil memandangi gambar bayinya yang gemuk. Sayang, Khonik masih harus sabar untuk pulang ke kota kelahirannya, Ngawi, Jawa Timur, karena menunggu proses pengadilan yang lama. Siapa bersedia membantu?

Didi Prambadi (Philadelphia)


No comments: