Friday, August 10, 2007

Abdullahi Ahmed An-Na'im:Negara Sekuler Yes, Masyarakat Sekuler No!


Abdullahi Ahmed An-Na'im (Dok. The Wahid Institute)Implementasi syariat Islam dalam negara modern jadi polemik publik yang pasang surut di Indonesia. Sepanjang Orde Baru, isu ini sempat redup. Begitu reformasi bergulir, wacana ini kembali meletup-letup. Spektrum pendukung dan penentangnya pun cukup beragam. Ada yang ekstrem, ada yang moderat.

Pendukung yang bergaris ekstrem sampai mengusulkan perubahan fundamental, dengan mengubah sistem politik jadi khilafah atau negara Islam. Sementara penentang bergaris keras mendesak perlucutan total negara dari anasir agama. Di tengah pentas wacana keagamaan demikian, sebulanan ini Indonesia kehadiran pakar dan peneliti syariat Islam terkemuka asal Sudan, yang kini jadi guru besar di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat: Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na'im, 61 tahun.

Ia mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Kamis pekan lalu, buku itu didiskusikan di Jakarta. Sebelumnya di Aceh, disusul diskusi di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar, yang dikelola Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Na'im menawarkan pandangan jalan tengah antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya. Berikut petikan wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan Na'im di Hotel Kristal, Jakarta, Kamis malam pekan lalu.

Bagaimana Anda menempatkan syariat Islam dalam kehidupan pribadi?
Saya seorang muslim, terikat oleh syariat, bertanggung jawab atas syariat, dan kalau meninggal akan menghadapi penghakiman. Saya bertanggung jawab atas perbuatan saya. Yang ingin saya katakan, ini bukan urusan negara. Saya tinggal di Amerika, Sudan, atau Cina, saya tetap terikat oleh syariat karena saya muslim, tapi tidak ada kaitan dengan negara.

Saya menyebutkan di buku saya ini: menegosiasikan masa depan syariat. Saya percaya masa depan syariat. Tapi masa depan itu di luar negara. Membiarkan negara mengambil alih syariat akan merusak masa depan syariat, karena akan membuat orang jadi munafik. Anda patuh bukan karena Allah, melainkan karena paksaan negara.

Anda mendukung negara sekuler. Mungkinkah religiusitas yang Anda anut itu bisa dikembangkan?
Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan.

Bagaimana Anda mendefinisikan negara sekuler?
Negara sekuler adalah negara yang bersikap netral, apa pun agama warga negaranya. Negara ini tidak boleh ikut campur dalam soal bagaimana saya menjalani hidup sebagai muslim. Negara seperti Iran dan Arab Saudi yang mengklaim berdasarkan Islam justru membatasi kebebasan pilihan saya sebagai muslim. Di Arab Saudi, warga yang beraliran Syiah dipaksa menerima doktrin Wahabi. Padahal, mereka menganggap doktrin itu penyimpangan. Kaum Suni di Iran menghadapi masalah serupa.

Negara seperti Amerika dan Inggris lebih menyerupai negara Islam dibandingkan dengan Arab Saudi dan Iran. Faktanya, ketika seorang muslim dihukum di negara mereka, tidak ada yang pergi ke negara Islam lain. Mereka pergi ke Barat. Di sana mereka bisa meneruskan kepercayaan mereka. Karena itu, masyarakat yang religius lebih mungkin terwujud di negara sekuler dibandingkan dengan di negara Islam. Mereka beragama karena kesadaran, bukan karena takut pada negara.

Di antara sekian negara berpopulasi mayoritas muslim, mana yang paling mendekati konsep ideal Anda tentang negara sekuler yang netral agama itu?
Indonesia adalah salah satu yang paling menjanjikan. Anda punya negara sekuler. Tapi masih ada persoalan pada satu-dua masalah. Misalnya, hukum keluarga Anda melarang lelaki muslim menikahi wanita nonmuslim, padahal syariat Islam membolehkan. Jadi, hukum keluarga Anda bahkan tidak mengizinkan apa yang diizinkan oleh Allah. Ini problematis. Lalu agama harus tercantum di KTP, dan hanya ada enam agama yang diakui. Apa urusannya negara sampai mengakui mana yang agama dan mana yang bukan agama.

Kekhawatiran saya, ketika prinsip negara sekuler tidak dipertahankan secara terbuka, akan semakin lemah. Pelan-pelan Anda akan mendengar suara bahwa karena Anda muslim, Anda harus patuh pada syariat, dalam pengertian harus menjadi negara Islam. Perlu ada diskursus terbuka tentang negara sekuler agar orang tahu apa yang mereka lakukan, bahwa mereka tidak tinggal di negara Islam.

Tidak seperti Malaysia yang tiba-tiba bilang bahwa mereka negara Islam. Padahal, muslim di Malaysia hanya sekitar 55%. Kita beterus terang saja, yang kita miliki adalah negara sekuler. Hukum yang kita punya adalah hukum sekuler. Negara-negara seperti Senegal, Mali, dan Burkina Faso adalah contoh negara sekuler di mana muslim sebagai mayoritas. Di Senegal, muslim lebih mayoritas (96%) dibandingkan dengan Indonesia. Tapi Senegal jadi negara sekuler sejak merdeka.

Bagaimana Anda melihat Turki yang lantang menyebut negara sekuler?
Turki adalah contoh negara yang mendekralasikan sekuler tapi tidak pernah melegitimasikan sekularisasinya itu dalam Islam. Mereka justru mempertahankan negara yang melawan umat Islam lewat kekuatan tentara. Di buku saya, saya mengktitik sekularisme Turki yang kontradiktif.

Banyak negara muslim yang secara konstitusional bersifat sekuler, tapi sekularisasinya tidak dilegitimasikan dalam Islam. Karena itu, selalu ada risiko kebuntuan politik seperti di Turki. Di Turki, Anda tidak bisa mengenakan jilbab lalu pergi ke universitas. Itu bukan negara sekuler karena negara mengontrol agama, tidak netral. Sama dengan Prancis, bagi saya, juga bukan negara sekuler. Di sana wanita dilarang mengenakan jilbab. Itu sama saja dengan negara yang mewajibkan berjilbab.

Posisi pemikiran Anda tentang negara Islam jelas: Anda menolak. Tapi soal implementasi syariat Islam lewat undang-undang negara, Anda seperti mendua. Bila atas nama syariat Anda tolak, bila atas nama ''nalar publik'' Anda diterima. Bisa diurai?
Saya tidak punya masalah dengan pelarangan alkohol, judi, dan pelacuran. Yang penting, pelarangan itu konstitusional dan tidak terjadi pelanggaran HAM. Tidak ada masalah. Anda, misalnya, punya provinsi yang sangat konservatif dan ingin menggunakan proses demokrasi untuk melestarikan nilai konservatif mereka, tidak ada masalah, sepanjang konstitusional. Di Utah, Amerika, kawasan penganut sekte Mormon, hukumnya juga sangat konservatif, alkohol dilarang total. Tidak ada masalah sepanjang konstitusional.

Istilah Anda, ''implementasi syariah'' dalam undang-undang oke saja, sepanjang bukan atas nama syariat. Ketika syariat menjadi undang-undang negara, ia berubah jadi hukum sekuler. Anda bisa mengesahkan banyak hukum syariat, asal dengan pertimbangan nalar publik dan aspek sosial. Anda juga bisa punya partai Islam. Saya tidak keberatan, sepanjang dijalankan atas nalar publik, bukan karena syariat.

Posisi pemikiran Anda berada di tengah antara kaum sekuler liberal dan fundamentalis?
Ya, saya berusaha memediasi. Karena yang terjadi kadang adalah proses penyetanan secara timbal balik. Kelompok Islam fundamentalis menyetankan kelompok sekuler, begitu pula sebaliknya. Sehingga kelompok liberal sekuler bisa sama-sama fundamentalisnya dengan kelompok fundamentalis. Ini menghambat berbagai kemungkinan demokratis.

Negara Islam itu tidak sehat, karena Anda memberikan hak kepada negara sebagai institusi politik untuk mengatur atas nama Islam. Mereka yang mengontrol negara dapat memanipulasinya, dan itu berbahaya.

Tapi syariat memiliki peran fundamental dalam kehidupan publik. Tidak bisa hanya ditempatkan di ruang privat. Anda bisa menjadikan syariat sebagai undang-undang, tapi Anda harus menyampaikan dalam konteks nalar publik, hingga warga negara dari berbagai agama bisa menerimanya.

Ada contoh?
Misalnya soal riba. Kalau ingin melarang riba, Anda tidak bisa sekadar mengatakan, riba dilarang karena agama mengharamkan. Anda harus menyajikan pertimbangan ekonomi, politik, dan sosial di mana warga bisa menganggap argumen Anda meyakinkan. Misalnya karena riba adalah kebijakan buruk dalam perekonomian. Bila alasannya nalar publik, maka kita bisa mengubah undang-undang itu tanpa harus takut dituduh murtad.

[Agama, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 2 Agustus 2007]

No comments: