Thursday, August 09, 2007

Heboh Dana Pelicin Pasal

Cover GATRA Edisi 39/2007 (GATRA/Tim Desain)Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, seharusnya hadir dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin lalu. Namun hanya Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom, yang tampak dalam rapat dengan komisi yang membidangi masalah keuangan dan perbankan itu. Padahal, kehadiran Burhanuddin ditunggu-tunggu pers.

Sepertinya Burhanuddin, pekan ini, sedang sengaja menjauh dari sorotan media. Acara pertemuan Gubernur BI dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, Rabu malam pekan lalu, mendadak tertutup untuk pers. Sejumlah wartawan yang merasa mendapat undangan malah dihadang petugas keamanan BI.

Apa boleh buat, pekerja pers itu terpaksa pulang dengan kecewa setelah berdebat alot dengan penjaga gerbang. Padahal, sebelumnya awak pers dipersilakan hadir pukul 18.30, sambil diwanti-wanti untuk mengenakan pakaian batik. Serangkaian kejadian itu berbuntut mencuatnya pertanyaan: ada apa dengan BI?

Terlebih lagi, beberapa hari sebelumnya, di kalangan wartawan beredar satu bundel fotokopian yang menyebut "lembar disposisi pejabat BI" dan pertanggungjawaban pengeluaran dana dari BI kepada DPR. Meski bundel itu tidak berkop BI, tanpa tanda tangan, dan tidak berstempel, isinya sangat mengagetkan. Dalam bundel fotokopian `dokumen` yang lebih tepat disebut selebaran itu diungkapkan sejumlah nama dan usulan permintaan rupiah yang cukup fantastis: Rp 4,415 milyar.

Berbekal segepok `dokumen` tanpa kop surat dan stempel itu pula, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumat pekan lalu, melaporkan dugaan suap itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Teten Masduki, Koordinator ICW, diterima Lambok Hutauruk, Direktur Gratifikasi KPK. "Saya kira, aliran dana ini upaya untuk mempengaruhi proses perundangan, khususnya RUU Lembaga Penjaminan Simpanan yang pada saat itu dibahas DPR," kata Teten Masduki.

Di `dokumen` itu, misalnya, tertera nama Rizal A. Djaafara, Kepala Biro Gubernur BI ketika itu, sebagai pembuat disposisi. Disposisinya sendiri ditujukan kepada Aulia Pohan, Deputi Gubernur BI pada saat itu. Masalahnya, `disposisi` permintaan sejumlah uang itu diperuntukkan sebagai balas jasa kepada sejumlah anggota Panitia Kerja Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang akan mengakhiri masa jabatannya.

Dalam fotokopian tersebut memang ada penjelasan bahwa DPR telah memperjuangkan kepentingan BI yang bersifat high call. Kepentingan BI itu, masih menurut bundel tadi, mencakup Rancangan Undang-Undang (RUU) Lembaga Penjaminan Simpanan dan RUU Kepailitan. Selain itu, tertulis pula RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Tidak ketinggalan, di dalam `dokumen` itu juga ditulis sejumlah nama --sebagain besar hanya nama depan-- anggota komisi yang disebut-sebut sebagai juru bayar fraksi. Partai Golkar ditulis paling atas dengan nama Antony, Hamka, Nurlif, dan Bobby. Lalu dari PDI Perjuangan adalah Matheos dan Williem. Dari PPP tertulis Danial, Faisal Baasir, dan Endin. Dari PKB ada Amin Said.

Ada lagi tulisan Reformasi (tanpa fraksi) atas nama Soemandjaja, Hakam Naja, dan Rizal Djalil. Terakhir, TNI atas nama Sulistiadi, Darsup, dan Udju. Kontan saja, isu permintaan dana terkait pembahasan RUU itu mencuatkan kembali praduga adanya jual-beli pasal di DPR. Teten Masduki malah menilai bisnis pasal di DPR sudah lazim dalam sebuah proses pembahasan RUU atau anggaran.

"Saya pikir, hal seperti itu bukan problem di BI saja, bisa terjadi di mana saja dengan lembaga siapa saja," ujar Teten. Bedanya, dalam kasus BI, gosip itu tak sekadar kata-kata di udara, melainkan berupa `dokumen` tertulis. Karena itu, bundel fotokopian `disposisi` itu dengan mudah sampai ke tangan KPK.

Rita Triana Budiarti, Hatim Ilwan, dan Anthony
[Laporan Utama, Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 9 Agustus 2007]

No comments: