Wednesday, August 08, 2007

Pilkada :Gubernur DKI Versi Survei

Adang Daradjatun-Dani Anwar (Yahoo! News/REUTERS/Crack Palinggi )Pemilihan Gubernur DKI Jakarta baru berlangsung 8 Agustus mendatang. Tapi, di atas kertas, hasilnya sudah tuntas sejak Maret silam. Kesimpulan itu dikemukakan Anies Baswedan, peneliti utama Lembaga Survei Indonesia (LSI), Minggu lalu. Ia merujuk tren hasil beberapa jajak pendapat LSI setahun terakhir. Mulai Maret hingga akhir Juli 2007, taksiran perolehan suara Fauzi Bowo dan Adang Daradjatun cenderung stabil.

Tren ini diprediksi tak akan berubah hingga hari-H pemungutan suara. Sepanjang tidak terjadi keajaiban politik. Apalagi bila strategi kampanye kedua kubu tetap seimbang, tanpa terobosan brilyan. Dukungan pada Fauzi bergerak di angka 49% (Maret), 55% (Mei), dan 56% (Juli). Perkiraan suara Adang berkisar di skor 28% (Maret), 25% (Mei), dan 22% (Juli). Perkiraan selisih keunggulan Fauzi lumayan tinggi: 34%.

Keyakinan tren yang stabil itu juga didasarkan pada temuan lain: responden yang belum menentukan pilihan sudah menyusut di bawah level 25%. Angka itu juga stagnan sejak Maret. Situasinya berbeda dengan sebelum Maret, ketika kelompok yang belum menentukan pilihan amat tinggi: 65% (Januari 2007) dan bahkan 84% (Agustus 2006).

Bila pemilih jenis ini masih di atas 40%, menurut Anies, berapa pun skor para kandidat tidak ada artinya. Ini pernah terjadi dalam pilkada Aceh. Hasil nyata pilkada berbeda jauh dari survei LSI, karena pada saat jajak pendapat dilakukan, suara yang belum memilih masih di atas 40%. Situasi di Jakarta berbeda.

Sejalan dengan peta suara yang stabil, LSI juga menemukan bahwa kampanye yang bergulir sejak 22 Juli lalu tidak mampu mengubah secara signifikan ketetapan hati pemilih. Mayoritas sudah punya pilihan sejak sebelum kampanye. Sampai kampanye bergulir tiga hari, pilihan belum berubah. Hanya 30% yang berpeluang berubah hingga hari-H. Survei ini digelar pra (15-18 Juli) dan pasca-kampanye tiga hari (22-25 Juli). Ada 600 responden dari 60 kelurahan yang diwawancarai tatap muka.

Tidak efektifnya kampanye karena modal kedua pasangan berbeda sejak sebelum kampanye. Di berbagai periode survei, Fauzi selalu unggul atas Adang. Bahkan pada Agustus 2006, popularitas Adang hanya 1%, Fauzi sudah 15%. Namun, menurut Anies, Adang telah melakukan lompatan fantastis, dari semula tidak dikenal, kini mencapai 22%. Padahal hanya ditopang satu partai: PKS.

Sementara Fauzi, dilihat dari kendaraan politiknya yang sampai 20 partai, capaian 56% itu terkesan belum maksimal. Hanya saja, perilaku pemilih konstituen masing-masing partai menunjukkan dinamika tersendiri. Konstituen PKS ternyata tidak kompak mendukung Adang. Padahal, partai ini dikenal solid.

Menurut LSI, hanya 55% pemilih PKS yang memilih Adang, 13% belum menentukan pilihan, dan 33% menyeberang ke Fauzi. Memang hampir mustahil mengharapkan seluruh pendukung parpol mana pun akan solid. Selalu ada potensi penyimpangan.

Hanya saja, angka soliditas konstituen PKS ternyata paling rendah dibandingkan dengan dukungan konstituen parpol pendukung Fauzi, yang rata-rata di atas 60%. Konstituen Demokrat yang mendukung Fauzi mencapai 78%. Pemilih PDIP yang juga memilih Fauzi 68%, konstituen Golkar 77%, pemilih PPP 72%, dan pemilih PAN yang akan mencoblos Fauzi 64%.

Rendahnya soliditas internal PKS itu, menurut Anies Baswedan, disebabkan dua kemungkinan. Pertama, figur Adang tidak bulat diterima konstituen PKS. "Kalau yang maju di Jakarta Zulkiflimansyah, barangkali kesolidan PKS akan berbeda," kata Anies. "Pemilihan figur akan berefek pada konfigurasi dukungan partai." Zulkiflimansyah adalah jagoan PKS buat calon Gubernur Banten.

Kedua, angka 33% yang memilih Fauzi Bowo bisa jadi bukan konstituen inti PKS. Pada Pemilu 2004, PKS menang di Jakarta dengan 24%. Survei LSI April lalu masih menempatkan PKS sebagai pemenang, dengan 22%, disusul oleh Demokrat (20%), PDIP (14%), dan Golkar (9%). Ini berarti popularitas PKS tidak pararel dengan Adang.

Ketua PKS Jakarta, Triwisaksana, mengaku telah melakukan survei internal antar-konstituen. "Soliditas kami kuat, tidak seperti survei LSI," katanya. "Tapi temuan LSI kami jadikan pembanding." Triwisaksana menolak membeberkan hasil surveinya. Soal popularitas Adang yang kecil, Tri mengaku juga sudah bikin survei sendiri. "Sebanyak 93% warga Jakarta mengenal Pak Adang," ujarnya, yakin.

Tapi Tri tak mau banyak berdebat soal angka-angka itu. Ia memilih berkonsentrasi mengembangkan terobosan kampanye. "Pada saatnya, kami akan membalik berbagai survei yang mengecilkan kami," katanya. Dari tema besar "Ayo Benahi Jakarta!", tim Adang mengurai jadi dua subtema. Paruh pertama periode kampanye mengusung tema "Jakarta Warna-warni, Adang-Dani Sahabat Kami". Berikutnya, tema "Perubahan Kian Dekat".

Dengan tema "Jakarta Warna-warni", PKS mengaku berhasil mencuri dukungan beberapa ormas onderbouw parpol pendukung Fauzi. Tri menyebut Gerakan Pemuda Ka'bah (PPP), Barisan Muda PAN, Banteng Muda (PDIP), dan Barisan Muda Demokrat telah mengalihkan dukungan pada Adang. Rabu ini, kata Tri, mereka mendeklarasikan kaukus muda pendukung Adang. Tiga partai baru juga dinyatakan mendukung Adang: partainya Wiranto (Hanura), Roy Janis (PDP), dan Hasanuddin (Ketua KNPI).

Slogan "Jakarta Warna-warni" usungan PKS itu penting dicermati. Tampak sebagai jawaban buat tema Fauzi: "Jakarta untuk Semua". Dipilihnya tema identitas Jakarta yang plural itu, bagi Anies Baswedan, punya konteks politik tersendiri, yang juga menjawab misteri mengapa 20 partai sampai kompak di belakang Fauzi.

Untuk kawasan Jakarta dan sekitarnya, PKS ditempatkan semacam lawan politik bersama. Dipersepsikan sebagai ancaman politik yang mengepung Ibu Kota. Selatan Jakarta, Depok, sudah lama dimenangkan oleh PKS. Di Banten, sebelah barat Jakarta, calon PKS memang kalah, tapi hanya selisih 7%. Di Bekasi, timur Jakarta, jago PKS baru saja menang. Inilah sebabnya, 20 partai merapatkan barisan, tak ingin PKS juga menang di Ibu Kota.

Tim Fauzi kemudian mengembangkan tema "Jakarta untuk Semua". Dibangunlah persepsi ada ancaman yang hendak menjadikan Jakarta milik kelompok terbatas. PKS dicemaskan membawa agenda Islam politik eksklusif. Karenanya, ditimpali dengan kampanye bernuansa pluralis. Runtang-runtung Golkar-PDIP di Medan, Palembang, dan direncanakan di Subang, bagi Anies, juga membawa pesan menguatkan kesan adanya ancaman politik anti-kemajemukan itu.

"Padahal semua itu mitos," ujar Anies. "Mana mungkin Adang yang bekas Wakapolri akan menjadikan Jakarta sebagai eksperiman politik Islam." Jakarta yang kosmopolit tidak segampang Cianjur. "Tapi itulah kampanye. Anda bisa bikin mitos dan mengapitalisasi mitos," kata Anies. "Jakarta mengalami politisasi identitas." Tingginya dukungan pada Fauzi juga turut disumbang oleh permainan isu ini. PKS lalu merespons dengan membangun citra bahwa dirinya juga pro-kemajemukan: "Jakarta Warna-warni".

Wakil Ketua Tim Sukses Fauzi-Prijanto, Idrus Marham, menjelaskan bahwa langkah timnya menggandeng sebanyak mungkin parpol itu untuk dua target: sukses pencalonan dan sukses kepemimpinan. Dengan banyak partai, syarat pencalonan bisa dilewati. Bila kelak terpilih sebagai gubernur, juga perlu dukungan banyak partai untuk sukses kepemimpinan. "Selain dukungan partai, efektivitas kepemimpinan gubernur juga perlu dukungan rakyat," katanya.

"Dukungan rakyat kami raih lewat sukses pilkada," ujar politisi Golkar itu. "Kami membangun komunikasi terus-menerus dengan rakyat, bukan insidental." Maka, tim sukses Fauzi, kata Idrus, tak akan terlena meski sudah dinyatakan menang oleh berbagai survei. "Target kami bukan hanya memenangkan pilkada, melainkan juga berhasil memimpin setelah menang di pilkada," papar Idrus.

Catatan penting lain dari kasus Jakarta, menurut Anies, ini akan jadi acuan model koalisi partai untuk tingkat nasional. Pola ini bisa jadi dikembangkan pula dalam pilkada di provinsi utama lainnya. Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat juga segera menggelar pilkada dalam waktu dekat.

Benang merahnya, partai yang potensial mengancam partai besar lama akan dijadikan musuh bersama. Untuk kawasan luar Jakarta, Anies memprediksi, Partai Demokrat yang bakal dibidik sebagai lawan bersama. "Di banyak tempat, partai yang kekuatannya sebesar PKS adalah Demokrat," katanya. Apalagi, ini partai presiden. Sekaligus bisa jadi ajang hitung-hitungan menyongsong hajatan 2009.

Asrori S. Karni
[Nasional, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 2 Agustus 2007]

No comments: