Wednesday, July 25, 2007

Mengurusi Akibat, Mengalpakan Sebab

Separatisme kembali naik ke permukaan. Bermula dari insiden pengibaran bendera Republik Maluku Selatan oleh para penari cakalele di depan presiden tempo hari, diskusi tentangnya menghangat. Lalu kita kembali melakukan kekeliruan: sibuk mengurusi "akibat" sambil mengalpakan "sebab".

Separatisme dengan segenap ekspresinya --dari sekadar lari dan minta suaka ke luar negeri hingga gerakan pemisahan diri-- bukanlah sebab, melainkan akibat. Ia terbangun sebagai hasil konstruksi sosial, ekonomi, dan politik yang pelik.

Mengendurnya ikatan terhadap Jakarta, lunturnya loyalitas pada negara kesatuan, atau tergerusnya nasionalisme juga bukan sebab, melainkan akibat. Ia kerapkali terbangun oleh kegagalan Jakarta memelihara keadilan pusat-daerah, barat-timur, atau Jawa-luar Jawa. Ia menjadi konsekuensi kaburnya manfaat bernegara kesatuan bagi semua warga. Ia dibentuk oleh mengaburnya daya pukau nation sebagai alat penyejahteraan bersama.

Tetapi, alih-alih menimbang sebab-sebab itu, kita lintang pukang menyoal akibat. Sebab yang tersedia di depan mata disilapkan, akibat yang ada nun di seberang sana terlihat benderang.

Tahun lalu, kita sempat dihebohkan oleh aksi 43 orang Papua yang menyeberang dan meminta suaka politik ke Australia. Telunjuk serta-merta ditudingkan kepada para pencari suaka yang nahas itu: tak punya malu, mengemis belas kasihan dari pemerintah negeri orang, miskin nasionalisme, berkhianat pada negara-bangsa.

Kita begitu gigih menyoal akibat-akibat. Kita miskin kesadaran dan kehendak untuk menelaah sebab-sebab yang melahirkan sang akibat. Kita alpa bahwa para pencari suaka tidaklah lahir dari ruang hampa. Kita khilaf bahwa di balik aksi mereka sesungguhya tersembunyi soal-soal mendasar di Papua yang memang belum kita bereskan secara layak. Ketidakpastian. Kesenjangan. Ketidakadilan. Kemiskinan. Keterbelakangan. Ketidaknyamanan. Ketidakamanan. Keterpurukan sosial-politik- ekonomi.

Tapi, apa lacur. Dalam perkara itu, pemerintah sibuk menyoal akibat. Berbagai unsur masyarakat juga terjebak dalam posisi sama. DPR tak terkecuali. Alih-alih mengintensifkan kunjungan, akomodasi, dan komunikasi dengan masyarakat Papua, anggota dewan beramai-ramai ke Australia. Dewan Perwakilan Daerah juga setali tiga uang.

Celakanya, itu bukan kekeliruan sendirian. Ia kerap terlihat dalam banyak perkara. Terorisme, misalnya, kerapkali didekati dengan pendekatan keamanan dan militeristik yang kental dan miskin pendekatan sosial-kebudayaan. Pemerintah sibuk menangkapi para teroris sambil memelihara ketidakmampuan mereka mengatasi soal-soal sosial ekonomi yang berifat struktural. Para teroris dicokok, tapi lahan bagi pertumbuhan terorisme terus disiangi dan dibikin subur.

Berbagai kebijakan mutakhir juga mengidap soal serupa. Bantuan langsung tunai adalah salah satu contoh terbaiknya. Ketika perekonomian mencekik leher dan daya beli rontok akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan bahan-bahan pokok, rakyat miskin disantuni uang ratusan ribu. Pada saat yang sama, sumber-sumber kemiskinan mereka --kelangkaan lapangan kerja dan ledakan pengangguran, ketidaklayakan upah, ketidakadilan kesempatan kerja-- tak ditangani secara layak. Ketiadaan uang (akibat) dipandang sebagai masalah pokok, padahal ia hanya dilahirkan oleh sebab-sebab yang lebih tersembunyi dan membatin dalam hidup masyarakat.

Contoh paling mutakhir kekeliruan serius ini dapat dengan mudah kita temukan dalam penanganan kasus luapan lumpur Lapindo. Aparatur keamanan dan aparatur pemerintah sibuk mengurusi radikalisasi masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban berlipat-lipat dalam kasus itu. Banyak pihak alpa bahwa radikalisasi itu hanyalah akibat. Sementara sebab-sebabnya --ketidakmampuan mengelola persoalan ini bagi penyelamatan hajat hidup orang banyak-- tak juga dipecahkan secara sigap dan tuntas.

Beragam contoh lain bisa kita deretkan panjang. Semua menggarisbawahi sebuah persoalan sungguh serius dalam pengelolaan perubahan dan demokrasi kita pada saat ini: kegagalan mengurusi dan memosisikan sebab dan akibat secara layak. Banyak masalah tak dipecahkan pada akarnya, melainkan sekadar dipoles dipercantik permukaannya.

Ibarat dokter, kita senang memberikan pil analgesik kepada pasien yang menderita. Sakit dan derita-sesaatnya memang hilang. Tapi sumber rasa sakit dan penderitaan itu sama sekali tak tersentuh dan tersembuhkan. Lebih celaka lagi, karena kekeliruan itu, kadang-kadang kita menggaruk dengkul di saat kening kita gatal.

Manakala pendekatan semacam ini kita gunakan untuk memecahkan banyak soal besar yang datang menggelombang silih berganti, boleh jadi kita hanya akan menjadi bangsa yang celaka. Manakala terorisme atau separatisme dipecahkan dengan cara itu, sejatinya kita justru sedang menggembala dan membesarkan keduanya.

Tolong jangan keliru. Saya tak memihak separatisme atau terorisme. Saya anti-keduanya. Saya hanya ingin menyerukan satu hal sederhana: mari berpihak pada akal sehat.

Eep Saefulloh Fatah
Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia
[Perspektif, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 12 Juli 2007]

No comments: