Tuesday, July 24, 2007

Saya Worry Golkar Bisa Menang


Akbar Tandjung (GATRA/Mukhlison S Widodo)Akbar Tandjung, 62 tahun, tengah sibuk menyelesaikan disertasi doktornya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namun dia juga mengikuti perkembangan Partai Golkar yang pernah dipimpinnya. "Pada saat berkomentar, saya usahakan untuk tidak frontal dengan DPP (Dewan Pimpinan Pusat)," katanya.

Kini ia sering berkantor di Akbar Tandjung Institute di kompleks Liga Mas, Pancoran, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancara Rohmat Haryadi dari Gatra dengan Akbar mengenai friksi yang terjadi di Golkar.

Apa tanggapan Anda atas gerakan kaukus muda Golkar yang menggulirkan wacana musyawarah nasional luar biasa (munaslub)?
Saya membaca ada gerakan kelompok muda yang berhimpun dalam kaukus muda yang bersikap kritis pada DPP. Bahkan ada pikiran mengadakan munaslub. Gerakan itu menunjukkan, dinamika partai cukup tinggi. Partai Golkar harus melihat gerakan itu sebagai usaha koreksi ke dalam, sekaligus peringatan menghadapi agenda politik ke depan, terutama Pemilu 2009. Ada baiknya DPP mengundang mereka dan mengajak dialog. Untuk menggelar munaslub, belum ada dasar yang kuat. Namun DPP jangan mengabaikan karena bisa menjadi snow ball.

Apakah letupan ketidakpuasan itu karena ketua umumnya tak cukup sering berkunjung ke daerah untuk konsolidasi?
Bisa saja. Tidak mungkin intensitas kunjungan Jusuf Kalla seperti yang saya lakukan karena terhambat protokoler. Jusuf Kalla pada saat di daerah juga tidak banyak waktu. Untuk menyelesaikan persoalan juga tidak bisa dalam (tuntas). Mungkin dia datang, pidato, setelah itu pulang. Padahal, memimpin partai harus ada dialog informal untuk mendalami persoalan. Kalau ini tidak dilakukan, saya Worry apakah Golkar bisa mempertahankan posisi sebagai pemenang pertama pada pemilu mendatang.

Partai mana yang bisa mengancam Golkar?
Pertama, partai-partai lama peserta pemilu yang kritis pada pemerintah, sehingga lebih bebas berimprovisasi politik. Itu akan mengangkat citra partai mereka. Kedua, partainya presiden. Jika pemerintahan sukses, citranya akan terangkat. Atau partai-partai baru bisa saja muncul. Golkar dalam posisi dilematis. Dia sudah menyatakan mendukung pemerintah. Namun, jika pemerintah berhasil, tidak ikut terangkat. Sebaliknya, jika pemerintah gagal, ikut terbawa-bawa juga.

Tiga faksi muncul, yaitu Agung Laksono, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla. Ada kekuatan keempat, yaitu kubu Akbar Tandjung. Komentar Anda?
Itu disebut pada saat pertemuan Golkar-PDI Perjuangan. Menurut saya, DPP kurang siap. Sehingga timbul pertanyaan, yang memunculkan faksi-faksi. Sebagai penasihat, sejauh mana Surya Paloh merepresentasi Golkar pada gawe politik begitu penting? Apalagi, dia mengatakan koalisi jangka panjang, sampai tiga generasi. Itu mustahil. Kalau orang paham politik, pasti tidak keluar kata-kata itu.

Kemudian ketua umumnya mengatakan, pertemuan Palembang yang terakhir. Ini seperti tidak ada strategi dan visi membawa Golkar ke depan. Faksi saya tidak ada. Memang saya menjalin komunikasi dengan orang Golkar di DPR. Mereka memang DPP kepengurusan saya yang menjadikan. Kalau DPP yang sekarang ini untuk menampung pendukung JK, kalau tidak mau dikatakan untuk menggusur orang saya.

Anda kecewa dengan friksi yang terjadi di Golkar sekarang?
Saya berharap, friksi-friksi atau faksi-faksi itu diatasi dengan baik. Ini menjadi tugas ketua umum bagaimana mengelola konflik tersebut, agar konflik itu tidak menimbulkan hal yang kontraproduktif, tetapi yang menjadi kekuatan. Seandainya sudah tajam, harus dikembalikan pada penyelesaian secara konstitusi. Tidak boleh dibiarkan. Harus ada tindakan tegas sesuai aturan organisasi.

Anda sekarang di Barisan Indonesia (Barindo). Apakah itu kendaraan untuk come back ke pentas politik?
Saya di Barindo sebagai pembina. Barindo itu ormas yang membangun platform kebangsaan. Barindo tidak berafiliasi dengan partai politik. Kalau mau come back, pasti harus melalui partai. Saya sudah mendapat kesempatan menduduki berbagai jabatan. Yang belum, presiden atau wapres. Calon presiden harus lewat partai. Kalaupun berbicara tentang Pemilu 2009, khususnya pemilihan presiden, kita berbicara dalam konteks Golkar. Sebab saya Golkar. Itu hanya mungkin jika Golkar membuka konvensi. Saya akan mempertimbangkan untuk ikut.

Jika konvensi tidak ada?
Kalau tidak ada konvensi, ya, mau lewat mana? Kecuali ada orang yang mengajak. Saya tidak bisa menjawab itu. Sebab sampai sekarang tidak ada yang mengajak.

[Laporan Utama, Gatra Nomor 36 Beredar Kamis, 19 Juli 2007]

No comments: