Tuesday, July 17, 2007

Kisruh Kapolri vs Menhut

Pembalakan Hutan


Petugas Sedang Memeriksa Gelondongan Kayu yang diduga Hasil Illegal Logging (Antara/Str-Larry Yudaw)Niat hati berkoordinasi, apa daya protes yang datang. Begitulah nasib Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban. Permintaannya agar Kapolri mengevaluasi dan mencopot Kapolda Riau, Papua, dan Sumatera Utara, yang dia anggap tidak proporsional menangani illegal logging, menuai protes. Senin lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, berkirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka meminta presiden menegur Kaban agar tidak mengintervensi proses penegakan hukum bidang kehutanan.

Walhi menilai, tindakan Kaban dapat memerosotkan semangat kepolisian untuk melakukan pengusutan dan penindakan praktek pembalakan liar (illegal logging). "Khususnya pembalakan yang dilakukan perusahaan besar," kata Chalid Muhammad, Direktur Walhi, kepada Gatra. Selain itu, Walhi juga meminta Kapolri tidak menggubris permohonan Kaban untuk mengganti para kapolda itu.

Keruwetan ini justru bermula dari niat Kaban melakukan koordinasi dan pembenahan operasi pemberantasan illegal logging. Menurut Kaban, niat baik Kapolri memberantas illegal logging telah salah diterjemahkan anak buahnya di lapangan. "Alih-alih menangkap cukong, mereka malah menangkap operatornya saja," kata M.S. Kaban kepada Gatra.

Tak cuma itu, dari laporan di lapangan, Kaban juga menerima kabar tentang berbagai kejanggalan yang dilakukan kepolisian daerah (polda) dalam melakukan operasi pemberantasan illegal logging. Di Papua, misalnya, dari 23 kasus pembalakan liar yang diadili di pengadilan, semua terdakwanya bebas. "Lha, jelas saya curiga. Makanya, saya kemudian lihat berita acara pemeriksaannya," tutur Kaban. Dari situ ketahuan, tuntutan jaksa yang berasal dari hasil penyidikan polisi lemah.

Dalam kesempatan lain, kata Kaban, ada kasus ketika pihak Polda Papua menangkap dan menyita alat-alat berat untuk illegal logging. Namun, anehnya, alat-alat itu malah disewakan lagi ke pengusaha. Kasus ini kemudian diungkap dan sempat disidik kejaksaan hingga penyidikan lengkap (P-21). "Tapi kemudian malah ada surat perintah penghentian penyidikan dari kapolda," ujar Kaban. Walhasil, kasus itu pun dihentikan.

Di Riau, ceritanya lain lagi. Menurut Kaban, selain menangkap kayu dan pemilik kayu ilegal, polisi juga menangkap kayu-kayu yang legal. Beberapa di antaranya adalah kayu-kayu untuk pulp milik PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat. Padahal, kata Kaban, kayu-kayu itu berasal dari lahan hutan tanaman industri milik RAPP dan Indah Kiat. "Jadi, kayu itu ada izinnya," kata Kaban.

Selain itu, menurut Kaban, polisi juga menyita kayu berizin milik rakyat untuk dipasok ke dua perusahaan itu. Akibatnya, kata Kaban, industri pulp turun 60% dan berdampak hilangnya pekerjaan 300.000 orang lebih.

Peristiwa yang sama, tutur Kaban, terjadi di Sumatera Utara, yang mengakibatkan 7.000 orang terancam kehilangan pekerja. Menurut Kaban, belum lagi disinyalir penyitaan kayu berizin milik perusahaan resmi itu berujung intimidasi. "Dan ujung-ujungnya negosiasi," ujar Kaban. Bahkan, kata Kaban, untuk bisa menebang hasil hutan, kini pihak perusahaan lebih memegang izin dari kepolisian ketimbang izin dari Departemen Kehutanan (Dephut). "Ini kan jadi bias. Padahal, izin-izin itu seharusnya dikeluarkan oleh Dephut," Kaban menegaskan.

Karena itulah, dia ingin membenahi agar upaya polisi memberantas illegal logging tidak bias dan mengganggu tata niaga kayu yang sedang dibenahi pemerintah. Bahkan sejak tahun 2005, kata Kaban, dia sempat mempertemukan para pengusaha kayu dengan pihak kepolisian di Jakarta, untuk mencari titik temu agar pengusaha bisa mendapat bahan kayu secara legal tanpa melanggar aturan. Namun, menurut Kaban, niat ini gagal terlaksana karena polisi tetap saja menyita kayu-kayu legal milik perusahaan.

Maka, Kaban pun berkirim surat kepada Kapolri Jenderal Sutanto agar mengevaluasi dan jika perlu mengganti Kapolda Riau Brigadir Jenderal Polisi Sutjiptadi, Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Nurudin Usman, dan Kapolda Papua Inspektur Jenderal Max D. Aer. Nah, permohonan inilah yang kata Kaban disalahterjemahkan banyak pihak, termasuk aktivis lingkungan dan Polri, sehingga dia dianggap melakukan intervensi.

Bahkan sempat beredar kabar bahwa permintaan Kaban untuk mencopot Kapolda Riau adalah serangan balik ke Polda Riau. Pasalnya, Polda Riau berencana memeriksa Kaban terkait kasus illegal logging yang melibatkan 17 pemilik hak pengusahaan hutan. Kapolda Riau sendiri membenarkan rencana itu. Namun dia mengaku belum tahu apakah surat permohonan itu sudah dikirim atau belum oleh sekretarisnya.

Karena itu, pihak kepolisian cenderung bersikap defensif terhadap permintaan Kaban itu. Bahkan Kapolda Riau Sutjiptadi mengaku tak gentar dan akan jalan terus memberantas illegal logging, meski jabatan menjadi taruhannya. Upaya Polda Riau ini juga mendapat dukungan dari Walhi Riau. Bahkan Walhi memasok data kejahatan yang dilakukan beberapa perusahaan besar di sana.

Walhi menyebutkan, perusahaan-perusahaan itu jelas mengambil bahan baku kayu untuk industri pulp dan kertas dari hutan alam. Pasalnya, dari data Walhi diketahui, kapasitas industri kayu di Riau pada saat ini sudah mencapai 23,5 juta meter kubik per tahun. Sementara kemampuan hutan alam berproduksi secara lestari hanya 7,5 juta meter kubik per tahun. Akibatnya, ada kesenjangan kebutuhan bahan baku sebesar 16 juta meter kubik per tahun. Nah, kesenjangan bahan baku itu disinyalir Walhi diambil dari hutan alam.

Cara-cara ilegal itulah yang menurut Walhi sedang diberantas Polda Riau. Oleh sebab itu, dalam suratnya kepada presiden, Walhi meminta agar upaya tersebut didukung. "Apalagi, Polda Riau pada saat ini sedang dalam proses pengungkapan kasus illegal logging dengan keterlibatan beberapa perusahaan besar," kata Chalid Muhammad.

Pihak Mabes Polri pun bersikukuh akan tetap menindak illegal logging seperti yang telah dijalankan. "Kami punya komitmen dan tekad untuk memberantas illegal logging sampai ke akar-akarnya. Siapa pun yang terlibat akan kami tindak," kata Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, kepada Gatra.

Sisno menyatakan, Polri bertindak secara proporsional dalam porsinya sendiri. Selama ini, kata Sisno, kejahatan illegal logging diusut polisi secara profesional, dan bukti-buktinya mencukupi. Bahkan polisi telah mengusut tuntas mulai dari siapa yang terlibat di lapangan sampai siapa yang menyuruh dan memfasilitasi praktek illegal logging. "Yang terlibat di balik layar pun ditindak," tutur Sisno.

Dia juga membantah anggapan bahwa polisi mengambil kewenangan Dephut dalam memberikan izin pemanfaatan kayu. "Polri hanya memantau di lapangan. Bilamana ditemukan surat izin yang tidak sesuai atau melanggar ketentuan undang-undangnya, baru ditindak," katanya. Misalnya, menurut Sisno, ada perusahaan yang memegang izin untuk tanaman industri tapi menebang lahan hutan di luar areal yang diizinkan. Nah, pelanggaran itulah yang ditindak.

Kisruh ini mengundang perhatian DPR. Anggota Komisi IV DPR, Azwar Ces Putra, yang juga anggota Komisi Kehutanan, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendamaikan kedua pihak. "Kita tentu tidak ingin polemik ini terus melebar karena pasti tidak akan menguntungkan dalam upaya pemberantasan illegal logging," kata Azwar. Dia yakin, baik Menteri Kehutanan (Menhut) maupun Polri sama-sama memiliki niat baik dan komitmen tinggi memberantas illegal logging. Tinggal bagaimana membenahi koordinasi di antara keduanya.

M. Agung Riyadi dan Deni Muliya Barus
[Nasional, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 12 Juli 2007]

No comments: