Tuesday, July 17, 2007

Sutanto Menggebrak, Kaban Meradang

Tempo Edisi. 21/XXXIIIIII/16 - 22 Juli 2007
Laporan Utama
DUA petinggi negara yang berseteru ihwal pembalakan liar akhirnya bertemu. Tapi Menteri Kehutanan M.S. Kaban berkukuh meminta Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto mengevaluasi Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Riau, dan Papua. Mereka dianggap melakukan operasi pemberantasan pembalakan liar secara serampangan. Bukan cuma tak ada koordinasi, otoritas kehutanan pun dilangkahi.

Ketiga kapolda menolak tudingan Kaban. Mereka tetap pula dengan gebrakannya; bertekad membasmi para pencoleng kayu—sekalipun jabatan sebagai taruhan. Sudah menjadi rahasia umum, di lapangan, masalahnya bak benang kusut. Sejumlah aparat kepolisian dan kehutanan main mata, kongkalikong menikmati duit dari praktek pembalakan haram.

PERTEMUAN itu berlangsung di ruang tamu Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, Rabu pekan lalu. Tak lama, tak lebih dari 45 menit. Sang tamu, Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, dengan serius menyimak penjelasan Sutanto perihal operasi pembalakan liar yang digelar polisi di beberapa daerah. Di samping Sutanto, duduk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara dan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Setelah Sutanto memberikan penjelasan, Kaban langsung berkomentar. Dia meminta polisi melakukan koordinasi dengan instansinya jika menggelar operasi menyikat para pembalak liar. ”Supaya jangan sampai yang tak bersalah dan yang punya izin jadi korban,” kata Kaban. Menurut sumber Tempo di Departemen Kehutanan, ujung pertemuan itu mencapai kata sepakat: Markas Besar Polri dan Departemen Kehutanan membuat tim untuk memberantas para pencoleng kayu.

Namanya tim investigasi gabungan. ”Ini memperbarui komitmen. Kedengarannya juga lebih elegan,” ujar sang sumber. Begitu pertemuan selesai, dengan bergegas Kaban menuju mobil dinasnya, Toyota Camry bernomor RI-25, lalu wusss, melesat meninggalkan Mabes Polri. ”Pertemuan itu untuk menyamakan persepsi dalam memberantas pembalakan liar,” kata Bambang Hendarso. ”Bukan karena adanya saling tuding.”

SEPEKAN terakhir, hubungan Markas Besar Polri dan Departemen Kehutanan memang panas. Pemicunya adalah pernyataan Menteri Kaban yang meminta Jenderal Sutanto mengevaluasi anak buahnya, tiga kepala kepolisian daerah yang hutannya rawan pencolengan. Mereka adalah Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Nurudin Usman, Kapolda Riau Brigadir Jenderal Sutjiptadi, dan Kapolda Papua Inspektur Jenderal Max Donal Aer.

Tentu saja ini menyangkut operasi anti-pembalakan liar. Menurut Kaban, petinggi polisi di daerah itu sudah kelewatan ketika bertugas. Mereka asal main tangkap tanpa meneliti lebih jauh status kayu itu. ”Banyak operasi illegal logging yang berada di luar tujuan pokok operasional,” katanya. Kayu-kayu yang diambil dari kawasan hutan yang sudah mendapat izin, kata Kaban, ikut disita.

Kaban menuding operasi itu tak menjamah pelaku utama, bahkan melenceng ke wilayah administrasi. ”Bukan para pembalak liar yang kena, tapi kepala dinas kehutanan yang ditangkap,” katanya. Operasi ini membuat industri kayu morat-marit. ”Di rapat kabinet, masalah ini dibahas. Masyarakat kehilangan pekerjaan karena banyak perusahaan kayu tutup,” ujar seorang pejabat Departemen Kehutanan. ”Dan Menteri Kehutanan disalahkan” (lihat ”Terlibas Operasi Sapu Bersih”).

Yang membuat Kaban berang, operasi tersebut dipakai juga untuk menekan para pengusaha kayu. ”Ujung-ujungnya negosiasi,” katanya. Kaban sudah berkirim surat, mengadu ke Presiden dan Wakil Presiden. ”Mereka sudah bertindak melangkahi wewenangnya,” katanya. ”Saya melihat yang terjadi belakangan ini operasi tanpa membedakan mana benar mana salah,” ujar menteri yang juga Ketua Umum Partai Bintang Bulan ini kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Tudingan Kaban ini ditampik Kepala Polri. Menurut Sutanto, aparatnya sudah bertindak sesuai dengan peraturan. Ia juga menolak jika ada anak buahnya disebut bermain mata dengan para pencoleng kayu. ”Kami konsisten. Buktinya, (pencurian kayu) sudah turun drastis,” katanya. ”Polisi tidak melanggar rambu-rambu, tidak juga mengeluarkan izin kayu,” kata Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Nurudin Usman.

Brigadir Jenderal Sutjiptadi tak gentar terhadap ancaman Kaban. ”Operasi jalan terus walau jabatan saya jadi taruhannya,” ujar Kapolda Riau ini. Kepada Tempo, Kapolda Papua Inspektur Jenderal Max Donal Aer menyebut pernyataan Kaban akan dipakainya sebagai introspeksi. ”Kalau masih ada yang kurang, ya, akan kami benahi,” katanya.

Setengah tahun terakhir, Polda Riau gencar menggelar operasi menyikat para pembalak haram. Operasi ini makin intensif setelah Kepala Badan Reserse Kriminal Bambang Hendarso datang ke Riau, Januari silam. ”Bambang sempat mengamati truk-truk yang hilir-mudik mengangkut kayu-kayu curian itu,” ujar seorang aktivis lingkungan dari Pekanbaru.

Menurut sumber Tempo di kepolisian, Kapolri Sutanto geram karena setahun terakhir pencurian kayu tidak lenyap. ”Padahal, di DPR, Kapolri berjanji bahwa pembalakan liar itu tidak akan ada lagi,” kata sumber tersebut. Tindakan kriminal ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hutan 27 kilometer persegi saban tahun—setara dengan 40 kali luas Jakarta. Negara pun dirugikan hingga Rp 45 triliun per tahun (lihat ”Sepuluh Detik, Satu Lapangan Bola”).

Karena itulah, bersama Departemen Kehutanan, Polri kerap melakukan operasi menghajar para pembabat liar itu. Kaban sudah menyerahkan nama sekitar 50 pembalak kakap ke Jenderal Sutanto untuk ditangkap. Dalam laporannya ke Dewan, Sutanto menyebut, selama 2003-2005, pihaknya sudah menangkap sekitar 2.000 orang yang terlibat tindak kejahatan ini. Sekitar 1.100 alat berat juga sudah disita.

Saat itu hubungan Sutanto dan Kaban terbilang mesra. Kapolri juga berkali-kali mengunjungi Menteri Kaban di Departemen Kehutanan. ”Kadang-kadang Pak Sutanto datang dengan beberapa kepala polisi daerah,” ujar Kepala Hubungan Masyarakat Departemen Kehutanan Ahmad Fauzi. Di sana, mereka kerap makan siang bersama. Apalagi, lewat Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005, disebutkan bahwa Departemen Kehutanan dan kepolisian menjadi ujung tombak pemberantasan penilapan kayu di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Belakangan, Sutanto melihat ada sesuatu yang menghambat operasi menyikat para pencuri kayu itu. Laporan yang masuk ke meja kerjanya: di lapangan, polisi dan aparat dari dinas kehutanan ”main mata” dengan para pembalak liar. ”Ini yang membuat Kapolri mengirim tim khusus langsung dari Jakarta,” ujar sumber itu. Tim tersebut di bawah komando Kepala Badan Reserse Kriminal Bambang Hendarso.

Tim khusus ini di antaranya bergerak ke Kalimantan Timur, Maret lalu. Wilayah Kutai, Tarakan, dan Nunukan mereka masuki. Hasilnya, dua kepala kepolisian resor, Kapolres Nunukan Ajun Komisaris Besar Tajuddin dan Kapolres Kutai Timur Ajun Komisaris Besar Bambang Sukardi, dicopot dari jabatannya lantaran terkait kongkalikong dengan para cukong pembalak haram.

Di Riau, Sutjiptadi, yang menjadi kapolda sejak Desember lalu, menggelar operasi yang membuat mengkeret para juragan kayu. Polisi ”mengandangkan” puluhan truk yang diduga mengangkut kayu berdokumen palsu. Aparat juga menyegel gudang kayu seluas 20 hektare milik PT Riau Andalas Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci, Pelalawan. ”Baru kali ini saya melihat polisi serius menangani pembalakan di Riau,” kata Ahmad Zazali, aktivis lingkungan yang peduli pada penyelamatan hutan Riau.

Zazali sejak dulu meminta polisi memeriksa kayu-kayu milik Riau Andalas. ”Sebab, kami tahu, 50 persen lebih kebutuhan kayu mereka dipasok 36 perusahaan yang mengambil kayu itu dari hutan alam,” katanya. Setiap tahun pabrik milik taipan Sukanto Tanoto itu membutuhkan sekitar 2 juta meter kubik kayu. Sampai kini, sudah 500 orang ditetapkan sebagai tersangka. Di antaranya bekas Kepala Dinas Kehutanan Riau Asral Rachman dan wakilnya, Sudirno, serta tiga direktur PT Arara Abadi, perusahaan penyuplai kayu ke Riau Andalas dan Indah Kiat Pulp and Paper.

Muhammad Yayat Afianto dari LSM Telapak mendukung gebrakan Sutanto. Tapi investigator dari lembaga yang mengkhususkan diri pada pelestarian hutan itu menyebutkan, aparat dinas kehutanan dan kepolisian sebenarnya selama ini sama-sama meraup keuntungan dari praktek illegal logging. ”Semua yang berhubungan dengan kayu bisa dimainkan,” katanya. ”Dari soal SKSHH (surat keterangan sahnya hasil hutan), memeras para pengusaha, mengambil keuntungan dari perusahaan kayu yang berselisih, sampai melakukan kutipan-kutipan liar.”

Coba simak kisah PT Triwira Asta Bharata. Perusahaan kayu yang mengantongi izin hak pengusahaan hutan sejak 1990 ini rupanya ketiban apes. Kendati berizin, area mereka di Kecamatan Tering, Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang luasnya sekitar 51 ribu hektare, bertahun-tahun dijarah sejumlah perusahaan tak berizin. Kayu-kayunya diangkut dengan dokumen SKSHH palsu, antara lain atas nama PT Mayang Putri Prima dan Koperasi Pondok Pesantren Darussalam, yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kutai Barat.

Merasa dirugikan, Triwira menggugat Dinas Kehutanan Kutai Barat ke pengadilan tata usaha negara. Pada Mei tahun lalu, PTUN Samarinda menyatakan surat-surat yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Kutai Barat atas nama PT Mayang dan Koperasi Pondok Pesantren itu tidak sesuai dengan prosedur dan dinyatakan batal. Di tingkat banding, Triwira juga dimenangkan. Tapi tak ada artinya. Kayu-kayu milik mereka telanjur lepas di tangan, raib lantaran surat-surat ”aspal” itu.

Triwira sudah melaporkan ihwal penggangsiran areanya ini. PT Dwi Darma Kalimantan lalu mereka adukan ke dinas kehutanan dan kepolisian Kutai Barat. Tapi tak digubris. Triwira pun membawa kasus ini ke Markas Besar Polri. Medio 2006, sebuah tim dari Badan Reserse Kriminal dan Divisi Profesi Pengamanan Polri serta Departemen Kehutanan diberangkatkan ke Kalimantan Timur, masuk ke wilayah Tukul, area hak pengusahaan hutan Triwira. Lima kali tim ini bolak-balik Jakarta-Kutai mengusut pengaduan kasus itu.

Hasilnya mencengangkan. Tim tersebut menemukan 38 ribu meter kubik kayu senilai sekitar Rp 40 miliar yang dijarah. Selain itu, ada 35 alat berat milik Dwi Darma yang tak berizin. Perusahaan ini juga ditengarai polisi telah menjarah kayu di kawasan hutan lindung Gunung Batu. ”Semua bukti sudah menunjukkan adanya tindak pidana,” kata Johny Lagawuring, bekas Kepala Seksi Penertiban Hasil Hutan Departemen Ke-hutanan, yang ikut tim tersebut.

Kini, setelah hampir setahun terlewati, tak jelas hasil pengusutan kasus tersebut. Saat dihubungi di Samarinda, Kamis pekan lalu, Asisten Manajer Triwira Bernadus Hamid mengaku kecewa berat dengan kinerja polisi. ”Saya tidak tahu harus melapor ke mana lagi. Ribuan meter kubik kayu dan alat berat yang seharusnya menjadi barang bukti sekarang juga lenyap,” katanya.

Komisaris Besar Eris, anggota Divisi Profesi Pengamanan yang juga ikut tim itu, mengaku tidak tahu-menahu soal kelanjutan kasus ini. ”Kasus ini sudah diserahkan ke polisi daerah,” ujarnya. Tapi, kepada Tempo, juru bicara Polda Kalimantan Timur, Komisaris Besar I Wayan Tjatra, menyatakan pihaknya tak menangani kasus tersebut. ”Saya pernah mendengar kasus ini, tapi sekarang menjadi kewenangan Mabes Polri,” ujarnya. Ehm, biasalah, semua pihak akhirnya saling lempar hingga kasusnya menguap tak tentu rimbanya.

Karena itulah, di mata Deputi Direktur Walhi Sumatera Utara Hamonangan Sinaga, sikap Menteri Kaban dan Kapolri yang kini saling tuding itu tak ubahnya seperti pertunjukan dagelan. ”Semuanya sama saja.” Hamonangan menduga Kaban cenderung memberi pengusaha izin mengeksploitasi hutan secara besar-besaran. Sedangkan polisi ”menggarap” kasus-kasus kehutanan.

Muhammad Yayat juga meminta Kaban dan Sutanto lebih baik duduk membicarakan prioritas pemberantasan illegal logging bersama-sama. ”Kalau Kaban merasa tindakan polisi tidak benar, bawa saja ke pengadilan,” kata Koordinator Kampanye Telapak itu. ”Tak perlu berseteru, karena yang senang pasti para cukong kayu.”

L.R. Baskoro, I G.G. Maha Adi, Dimas A., Hambali B. (Medan), Wibisono (Balikpapan), Cunding Levi (Jayapura)



Sepuluh Detik, Satu Lapangan Bola

Indonesia kehilangan hutan seluas 27 ribu kilometer persegi per tahun, kira-kira 40 kali luas Jakarta, gara-gara pembalakan liar. Ini setara dengan luas satu lapangan sepak bola per 10 detik. Pembalakan yang merugikan negara hingga Rp 45 triliun per tahun itu terjadi akibat kongkalikong pelaku dengan penguasa. Bagaimana praktek ini dilakukan?

Naskah: Abdul Manan, Bahan: Riset, Laporan Walhi dan Indonesian Center for Environmental Law

1. Hak Pengusahaan Hutan: Menteri Kehutanan atau kepala daerah memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Modus: Izin diberikan kepada mereka yang tidak berkompeten. Pemilik izin kemudian memanfaatkannya dengan investor lain.

2. Penebangan Hutan: Penebangan dilakukan mengacu pada izin HPH. Hasilnya dilaporkan kepada Dinas Kehutanan setempat.
Modus: Pemilik HPH menebang kayu di luar areal yang diizinkan.

3. Pemeriksaan: Tim Dinas Kehutanan memeriksa kesesuaian laporan hasil tebangan dengan izin yang diberikan. Pemeriksaan meliputi asal, jenis, dan jumlah kayu.
Modus: Pengusaha dan petugas kehutanan main mata, seolah-olah tak terjadi pelanggaran.

4. Pembayaran Dana Reboisasi: Pengusaha yang lolos pemeriksaan membayar Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) kepada Dinas Pendapatan daerah setempat.

5. Penerbitan Surat Keterangan Hasil Sahnya Hutan (SKSHH): Pemilik kayu meminta SKSHH dari Dinas Kehutanan dengan menyerahkan bukti pembayaran dana reboisasi dan provisi. Surat keterangan ini berisi informasi tentang perusahaan pemilik kayu, jenis pengangkutan, tempat bongkar-muat, tujuan pengangkutan, serta jenis dan volume kayu.
Modus: Pengusaha memfotokopi surat keterangan lama dan mengganti informasi di dalamnya atau pengusaha mendapat SKSHH kosong dari oknum Dinas Kehutanan dan mengisinya dengan data yang ia inginkan.

6. Pemeriksaan Polisi: Polisi masih memiliki peluang untuk menghentikan kejahatan ini dengan memeriksa surat keterangan hasil hutan yang tengah diangkut pengusaha. Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan, polisi bisa memeriksa kayu-kayu, sekalipun memiliki dokumen SKSHH, yang dicurigai diambil dari tempat yang tidak semestinya.
Modus: Pengusaha dan polisi bermain mata sehingga meloloskan kayu dengan dokumen yang tidak sah.

7. Walhasil... Dari 1,138 juta km2 hutan Indonesia, 226 ribu km2 rusak parah. Jumlah kayu ilegal yang dapat diamankan jauh lebih sedikit dari yang lolos jaring hukum. Inilah angkanya:

Yang Tak Sah, Yang Ditangkap(dalam m3)

TahunTebangan Tak SahYang Ditangkap
200122.583.4912.856.027
200222.761.9782.281.195
200326.949.5132.686.529
200423.059.9052.415.795
200525.534.8204.026.436
200619.051.9181.316.111

Satu Atap, Beda Galak

Meski sama-sama anggota Tim Operasi Hutan Lestari, polisi dan Departemen Kehutanan kerap tak sejalan. Ini dituding sebagai salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum terhadap pembalak jadah. Perbedaan sikap ini terlihat menonjol dalam kasus Gusti Sjaifuddin dan Adelin Lis.

Gusti Sjaifuddin
Pengusaha perkebunan sawit di Sajau Bulungan, Kalimantan Timur

Polisi: Gusti melakukan penebangan di kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan perkebunannya.

Departemen Kehutanan: Gusti hanya menyalahi pelaksanaan penebangan kayu

Adelin Lis
Direktur PT Mujur Timber Group, Sumatera Utara.

Polisi: Adelin merusak 48 ribu hektare selama 2000–2005 di Kabupaten Mandailing, Natal, Sumatera Utara. Negara dirugikan Rp 119 miliar.

Departemen Kehutanan: Dia mengantongi izin hak pengusahaan hutan dan hanya melanggar Rencana Kerja Tahunan. Hukumannya cukup sanksi administratif.

No comments: