Tuesday, July 17, 2007

Pengadilan Sesatdi Gorontalo

Edisi. 21/XXXIIIIII/16 - 22 Juli 2007
Hukum

Pengadilan Sesatdi Gorontalo

Pengadilan Negeri Limboto memenjarakan sepasang suami-istri yang tidak bersalah. Anak yang diyakini mati telah kembali.

Pengajian di rumah Risman Lakoro di Kampung Mohungo, Gorontalo, 27 Juni lalu gempar. Peserta ramai-ramai ke luar rumah mengerubungi seorang perempuan berbadan sedang yang baru saja memasuki halaman. Sebagian ibu-ibu ternganga: dia Alta Lakoro, anak Risman yang dipastikan ”mati” oleh polisi dan pengadilan Gorontalo. Risman, yang ikut keluar, langsung bisa mengenali anaknya dari bekas jahitan di kepalanya. ”Luka itu karena tertimpa balok kayu,” katanya. Hari itu, pengajian berubah menjadi temu kangen keluarga.

Alta, yang biasa dipanggil Ata, 26 tahun, lenyap tak berkabar sejak enam tahun lalu. Kepergian Ata membuat Risman dan Rostin Mahaji, istri kelima Risman, menerima akibat yang memilukan, yaitu penjara tiga tahun, karena dituduh membunuh anaknya. Belakangan, Ata mengaku lari dari rumahnya ke daerah Wongkaditi di Kota Gorontalo, sekitar 120 kilometer di timur Mohungo, dan hidup bersama suaminya. Tidak bisa baca-tulis membuatnya tak hirau soal berita pengadilan bapaknya. ”Saya tidak tahu Bapak di penjara,” ujarnya.

Kemunculan anaknya membuat Risman menyiapkan gugatan kepada polisi agar merehabilitasi nama baiknya. Ia sudah memberikan kuasa kepada lima pengacara yang tergabung dalam Ikatan Penasihat Hukum Indonesia di Gorontalo. Ismail Pelu, salah satu kuasa hukumnya, mengatakan, sebagai langkah pertama, mereka sudah meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengusut kasus ini.

Penderitaan suami-istri itu diawali pada suatu pagi di bulan Oktober 2001. Saat itu Risman masih tinggal di Desa Tabungo bersama istri kelimanya, Rostin. Ata hidup bersama mereka sejak berusia empat bulan, ketika Risman menceraikan Sulastri, istri keempat sekaligus ibu kandung Ata.

Pagi itu Risman tak bisa menahan berang karena anaknya baru pulang pukul 7 pagi, bukan 11 malam seperti peraturan yang dibuatnya untuk Ata. Merasa diremehkan, Risman menyeret anaknya itu dan memukulnya dengan pelepah kelapa. Ata menangis dan berlari ke kamar. ”Itulah saat terakhir saya melihatnya,” ungkap Risman kepada Tempo.

Diam-diam Ata meninggalkan rumah bapaknya dan menghilang tanpa kabar berbulan-bulan. Risman sudah melaporkan hilangnya Ata ke polisi, tapi hasil pencariannya nihil. Warga setempat pun mulai melupakannya, hingga pada keriaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2002, seorang warga Boalemo menemukan tengkorak di sebuah pulau kecil tak bernama, di selatan desa. Entah siapa yang memulai, beredar isu bahwa tengkorak itu adalah kepala Ata yang dibunuh orang.

Polisi pun berdatangan ke Tabungo dan, tak berselang seminggu, mencokok Risman dan Rostin, lalu menggelandang mereka ke Kepolisian Sektor Tilamuta. Mereka dituduh telah membunuh Ata. Barang bukti ternyata sudah ada di kantor polisi: sarung, bedak, dan lipstik Ata. Di sampingnya tergeletak tengkorak yang konon, menurut polisi, kepala Ata. Menurut Margono, anak Sulastri, kepada Tempo, di depan polisi ibunya memang mengatakan semua barang itu milik Ata berikut tengkoraknya, tanpa tahu bagaimana ia bisa membedakannya dengan tengkorak orang lain.

Belakangan, tengkorak itu langsung dikuburkan dan tak pernah sekali pun muncul di pengadilan sebagai barang bukti. Akan halnya buntalan pakaian dan kosmetik, Ata memang mengakui barang itu urung dibawanya pergi ketika ”menghilang”.

Di pengadilan, polisi juga menyodorkan hasil visum tengkorak yang dibuat dokter, dan nama Ata disodorkan oleh polisi sebagai si empunya kepala. Yang belum bisa dijelaskan polisi, menurut Ismail, bagaimana mungkin hanya dalam enam bulan kepala Ata bisa menjadi tengkorak yang bersih dari rambut dan organ tubuh lainnya.

Di persidangan, karena tekanan luar biasa saat pemeriksaan, Risman dan Rostin mengaku bersama-sama memukul Ata hingga jatuh, lalu mengangkatnya ke pantai. Jenazahnya dinaikkan ke dalam perahu dan dibuang di hutan bakau tepi pantai yang jauh dari permukiman. Cerita ini mengalir begitu saja dan rekonstruksi pun digelar mulus

Kenapa Risman dan Rostin saat itu mengaku telah membunuh Ata? ”Watia ti mohe, watia mohlodu (saya ini takut, saya bodoh),” kata Risman dalam bahasa Gorontalo. Sejak diperiksa polisi di Polsek Tilamuta, mereka hanya mengiyakan apa yang disampaikan penyidik. Sebab, bila mereka tidak mengaku, tubuh mereka menjadi sasaran empuk penyiksaan oleh polisi. ”Saya tidak tahu pembunuhan apa yang saya lakukan,” ujar Risman.

Kepada Tempo, Risman dan Rostin menceritakan siksaannya selama di kantor polisi. Risman mengaku tangannya dijepit di pintu sel yang menyebabkan jari-jari tangan kirinya bengkok permanen. Suatu kali jarinya ditindih meja yang diduduki polisi, sehingga kukunya lepas. Risman sampai terkencing-kencing. ”Watia dila kabali (saya tidak kebal),” begitu jeritnya kepada polisi. Rostin juga menerima pukulan di bagian tubuhnya. Karena takut mati sia-sia, keduanya memutuskan mengakui saja apa yang dituduhkan polisi Tilamuta dan menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP). ”Polisi selalu bilang mengaku saja,” ujarnya menatap rumbia yang mengatapi rumahnya.

Setelah cukup ”alat bukti”, polisi melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Tilamuta. Kasus ini mulai disidangkan pada Januari 2003 di Pengadilan Negeri Tilamuta, lalu dipindahkan ke Pengadilan Negeri Limboto dengan hakim tunggal Abraham Patiasina, yang saat itu juga ketua pengadilan negeri setempat. Menurut Risman, dalam persidangan, berkali-kali jaksa menyarankan dia mengakui pembunuhan fiktif itu agar hukumannya ringan. Ketika keduanya sempat ”membangkang” dan membantah isi BAP, lagi-lagi jaksa menyarankan agar mengaku.

Tidak mengerti seluk-beluk hukum, Risman, yang jebolan sekolah dasar, dan Rostin, yang cuma bisa bicara dalam bahasa Gorontalo, hanya bisa pasrah. Hakim pun menghukum Risman dan Rostin tiga tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 351 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

Ketua Pengadilan Negeri Limboto Margono mengatakan, sesuai dengan KUHP, semua unsur tindak pidana sudah terpenuhi. Lagi pula tiga alat bukti berupa pakaian Alta, keterangan saksi, dan pengakuan terdakwa dianggap cukup. Menurut Kepala Kepolisian Resor Boalemo Ajun Komisaris Besar Budi Yuwono, kasus ini sudah direkonstruksi sesuai dengan pengakuan tersangka, bahkan polisi masih menyimpan foto-foto rekonstruksi itu. Tambahan pula, menurut Budi, tersangka mengakui perbuatan itu di persidangan.

Pada 2 Maret 2005, masa hukuman keduanya habis dan mereka kembali menghirup udara bebas. Pasangan suami-istri ini lalu memilih tinggal di Desa Mohungo dan selama dua tahun hidup normal, setidaknya sampai bulan lalu, saat Ata ”hidup” kembali.

Ketika kasus ini semakin ramai, Kepolisian Daerah Gorontalo buru-buru mengambil alih kasus ini dari Polres Boalemo. Kepada Tempo, Kepala Bidang Humas Polda Gorontalo Ajun Komisaris Besar Wilson Damanik mengatakan belum menerima pengaduan tentang penyiksaan yang dilakukan polisi terhadap Risman dan Rostin. ”Polda Gorontalo telah membentuk tim untuk menyelidiki pengakuan itu,” katanya.

Sedangkan dua nama polisi bekas anggota Polsek Tilamuta yang disebut-sebut terlibat dalam pemeriksaan Risman dan Rostin seperti lenyap dan tak bisa ditemui wartawan. Ajun Inspektur Dua (Aipda) M. Achmad sekarang bertugas sebagai Kepala Bagian Operasi Reserse Kriminal Polres Boalemo, sedangkan Aipda Mukti menjadi ajudan Bupati Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Kamis pekan lalu, Risman mendatangi Pengadilan Negeri Limboto untuk meminta salinan berkas putusan yang dulu menghukumnya karena pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Ia tak banyak meminta kepada polisi. ”Saya minta nama saya diperbaiki dan ganti rugi selama di penjara,” ujarnya sembari menggerak-gerakkan lima jarinya yang bengkok di tangan polisi.

I G.G. Maha Adi, Verrianto Madjowa (Gorontalo)

No comments: