Monday, July 30, 2007

Independen Boleh, Tapi Mungkin Nanti


Sidang Mahkamah Konstitusi Mengenai Calon Independen dalam Pilkada (GATRA/Wisnu Prabowo)Terobosan berani tapi terlambat. Begitulah Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Lingkungan Hidup, menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin lalu, yang membolehkan calon independen terjun dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Bahkan ia kecewa. "Seharusnya putusan itu diambil sejak dua bulan lalu," ujar Sarwono, anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili Jakarta, yang kini berstatus mantan calon Gubernur DKI.

Keputusan judicial review atas Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah itu memang sudah lama dinantikan Sarwono. Setelah gagal melaju sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta melalui partai politik, ia berharap bisa maju sebagai calon independen. Sayang, langkahnya terganjal.

Alasannya, UU Nomor 32/2004 tak memungkinkan adanya calon independen. Akibatnya, Sarwono dan beberapa calon independen lainnya tersisih. Maka, pilkada DKI, yang pekan ini memasuki masa putaran kampanye, hanya diikuti dua paket calon gubernur dan wakilnya, yakni Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto. "Kalau saja MK mau membacakan putusannya lebih awal, mungkin peta politik Jakarta akan berbeda. Rakyat akan punya pilihan lebih banyak," kata Sarwono pula.

Keputusan MK itu menyatakan menghapus dan mengubah sebagian pasal-pasal pilkada. Keputusan ini pun diwarnai adanya beda pendapat (dissenting opinion) tiga hakim MK --Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan H.A.S. Natabaya. Majelis hakim yang dipimpin Ketua MK, imly Asshiddiqie, menilai Pasal 56 ayat 2 serta Pasal 59 ayat 1, 2, dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 tak punya kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal-pasal itu dinilai hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah. "Dan menutup hak konstitusional calon perseorangan," ujar Jimly ketika membacakan hasil uji materiil tersebut. Uji materiil itu dikerjakan atas permohonan Lalu Ranggalawe, anggota DPRD asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia memohon agar MK menghapus pasal-pasal yang memberi kewenangan pada partai politik dalam pengajuan calon kepala daerah. Ketentuan itu disebutnya menghalangi tampilnya calon independen, dan karenanya melanggar UUD 1945.

MK sendiri tak sepenuhnya menghapus kewenangan partai politik dalam pilkada. Salah satu butir penting yang diubah MK yaitu Pasal 56 ayat (2). MK menghapus pasal itu dan mengubahnya jadi: "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil."

Meski tetap memberi jalan lebar bagi calon partai, adanya calon independen itu ditentang oleh kalangan politik. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Irgan Chairul Mahfiz, menyesalkannya. "Kesan saya, ini (putusan MK) terburu-buru dan tidak melalui kajian yang komprehensif," ujar Irgan kepada Gatra.

Menurut Irgan, putusan MK itu merupakan upaya mendeparpolisasi dan mengeliminasi peran partai. Putusan itu, kata Irfan pula, akan semakin mendorong krisis kepercayaan terhadap parpol. Ia mengakui adanya kalangan masyarakat yang menganggap partai politik belum mengakomodasi kepentingan publik. Tapi hal itu mestinya direspons dengan dorongan ke arah perbaikan partai. "Bukan dilampiaskan dengan memunculkan calon independen," ucap Irgan.

Namun Faisal Basri, mantan bakal calon Gubernur DKI yang terpaksa mundur karena tak mendapat kendaraan politik, menganggap putusan MK itu tidak perlu disikapi keras oleh kalangan partai politik. Mantan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional itu menganggap, perubahan tersebut bukanlah ancaman bagi partai, yang diakuinya sebagai pilar utama demokrasi. "Ini (putusan MK) hanya pengaman agar parpol tak lagi sewenang-wenang dan memperbaiki perekrutan pemimpin daerah," ujar Faisal.

Keinginan memunculkan calon independen sendiri sudah berlangsung cukup lama. Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI), Juni lalu, menunjukkan bahwa mayoritas warga DKI menginginkan calon independen. Menurut Saiful Mujani, Direktur Eksekutif LSI, mereka yang menginginkan calon independen mencapai 87%. Putusan MK itu menjawab keinginan publik. Tapi calon independen tetap tak akan hadir dalam pilkada DKI, dua pekan mendatang.

Hendri Firzani
[Nasional, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 26 Juli 2007]

No comments: