Friday, August 03, 2007

Penebar Kebencian Telah Tamat


Jimly Asshiddiqie (GATRA/Edward Luhukay)Sudah sekian banyak orang yang dipenjarakan oleh si penebar kebencian. Korbannya pun tak tanggung-tanggung. Mulai tokoh pejuang kemerdekaan, seperti Bung Karno, hingga para aktivis yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Kini riwayat si penebar kebencian yang mewujud dalam Pasal 154 dan 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu telah berakhir.

Itu terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan, dua pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Putusan itu diambil dalam sidang MK yang dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Selasa pekan lalu. "Pasal itu menghalangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan pendapat," kata Jimly dalam kesimpulan putusan. MK menilai, Pasal 154 dan 155 KUHP tidak sesuai dengan Pasal 28 dan 28 E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945.

Pasal 154 KUHP mengatur bahwa siapa pun yang menyatakan permusuhan, kebencian, atau merendahkan pemerintah diancam pidana paling lama tujuh tahun. Sedangkan Pasal 155 KUHP mengatur tentang larangan penyiaran, penempelan tulisan/lukisan, di depan umum yang menyatakan perasaan kebencian kepada pemerintah. Dua pasal itu dianulir MK setelah Panji Utomo mengajukan permohonan uji materiil pasal tersebut, 12 Febuari lalu.

Panji menyebut putusan MK itu sebagai kemenangan bagi semua orang yang melakukan pergerakan demi kepentingan masyarakat. "Semoga rekan-rekan yang memperjuangkan bisa lebih aman, tanpa takut dengan pasal penebar kebencian," ujar Panji. "Diharapkan tidak ada lagi aktivis demokrasi ataupun aktivis mahasiswa yang ditahan karena ingin menyampaikan aspirasi," Wakil Kamal, selaku kuasa hukum Panji, menimpali.

Sebagaimana diketahui, Panji pernah dijerat dengan Pasal 154 dan 155 KUHP dan divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 18 Desember 2006. Dakwaan itu ditujukan kepadanya karena ia melakukan aksi demonstrasi di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pada 11 September 2006 yang berakhir rusuh. Panji, yang menjabat sebagai Direktur Forum Komunikasi Antar-Barak di Aceh, merasa dirugikan hak konstitusionalnya.

Ia lantas mengajukan uji materiil KUHP pada Pasal 154 dan 155 tentang pembangkit permusuhan, Pasal 160 tentang penghasutan, Pasal 161, 207, dan 208 tentang penghinaan tehadap pemerintah, serta Pasal 107 tentang perbuatan makar. Selama persidangan perkara ini belangsung di MK, kuasa hukum Panji menghadirkan sejumlah saksi dari pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang. Salah satu saksi yang dihadirkan adalah Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Departemen Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo.

Dalam persidangan, Harkristuti menyatakan menolak penghapusan pasal-pasal yang dimohonkan Panji. Alasannya, Panji tidak memiliki legal standing --tidak punya kedudukan hukum-- selaku pemohon. Terlebih lagi, menurut Harkristuti, sejak tahap penyelidikan hingga penyidikan, Panji tidak pernah mengajukan permohonan praperadilan. Bahkan, usai dikeluarkan putusan bersalah oleh pengadilan, Panji tidak juga mengajukan keberatan melalui proses banding.

Atas dasar itulah, Harkristuti menganggap, dari sisi hukum, apa yang dilakukan Panji merupakan penerimaan terhadap proses peradilan pidana. Di sisi lain, Harkristuti, yang dihadirkan di persidangan selaku wakil pemerintah, mengungkapkan bahwa pasal-pasal penebar kebencian alias haatzai artikelen itu sudah ketinggalan zaman sehingga perlu dimodifikasi. Sebagai penggantinya, disiapkan Pasal 284 dalam rancangan KUHP yang baru. Di situ ada perubahan delik. Yakni dari delik formal menjadi delik materiil.

Artinya, pada Pasal 284 di rancangan KHUP baru itu disyaratkan harus ada suatu akibat dari ulah seseorang yang melakukan kritik. Kalau tidak ada akibat, orang yang mengkritik tidak bisa dijebloskan ke penjara. Yang terjadi selama ini, Pasal 154 KUHP tidak mensyaratkan harus ada akibat dari kritik yang dilontarkan pelakunya. Polisi bisa langsung menangkap orang yang mengkritik pemerintah.

Penolakan penghapusan pasal-pasal haatzai artikelenjuga dikemukan Akil Mochtar, anggota DPR-RI yang bersaksi di persidangan MK. Politisi Partai Gokar itu menyatakan, pasal-pasal yang dituntut dihapuskan justru harus dipertahankan. Argumentasinya, pasal-pasal tersebut memberi kepastian bagi aparat penegak hukum guna melindungi simbol-simbol negara.

Pendapat Akil dan Hakristuti itu dimentahkan oleh Mudzakkir, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang dihadirkan di persidangan MK sebagai saksi ahli. Ia menyatakan, kritik yang dilontarkan seseorang itu tidak sama dengan perbuatan jahat menyatakan perasaan permusuhan dan kebencian. Pendapat Mudzakkir digarisbawahi oleh Jayadi Damanik, praktisi hukum yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Damanik menyebut keberadaan Pasal 154 KUHP sebagai bentuk pelanggaran HAM yang sangat represif dan diskriminatif. Berdasarkan keterangan saksi ahli di persidangan, argumentasi pemohon itulah yang dijadikan sebagai pertimbangan MK untuk mengambil putusan. Alasannya, kedua pasal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum serta menghalang-halangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat.

Dalam pertimbangan putusan ini, MK menyebutkan bahwa Pasal 154 dan 155 KUHP itu sengaja dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Meski merupakan warisan kolonial, KUHP Belanda atau Wetboek van Strafrecht tidak mengenal pasal penebar kebencian. Bahkan Menteri Kehakiman Belanda --pada saat itu-- menolak ketika ide tersebut dilontarkan.

Di Belanda sendiri, ketentuan itu dipandang tidak demokratis karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan beropini. Kedua pasal itu hanya memuat delik formal yang cukup mensyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan terlarang tanpa mengaitkan dengan akibat perbuatan. Karena itu, pasal ini cenderung disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai dengan selera penguasa. "Kita ucapkan selamat jalan dan sekaligus selamat tinggal kepada Pasal 154 dan Pasal 155," kata Jimly Asshiddiqie.

Putusan MK itu disambut positif oleh sejumlah kalangan, terutama ahli hukum pidana yang selama ini mengkritisi eksistensi pasal penebar kebencian itu. Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudy Satrio, misalnya, menyatakan bahwa seharusnya pasal-pasal karet itu dihapus sejak dulu. Karena selama ini, dalam prakteknya, sering disalahartikan oleh para penegak hukum. "Kesalahan terjadi karena penegak hukum mengikuti kepentingan penguasa," Rudy Satrio menegaskan.

Sujud Dwi Pratisto
[Hukum, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2007]

No comments: