Sunday, May 06, 2007

Humor Gus Dur




Melawan Lasio
Dalam satu diskusi di kantor Yayasan Paramadina, Pondok Indah, Gus Dur tampil bersama pakar filsafat yang mendalami masalah Konghucu. Nama pakar itu Dr. Lasio, mengingatkan orang pada klub sepak bola ternama Italia, Lazio. Sang pakar bicara lebih dulu, dan menguraikan pandangan-pandangannya di depan ratusan peserta yang meluber sampai ke luar ruang yang cukup sempit. Tiba giliran Gus Dur, dia memulai dengan komentar tentang pentingnya topik diskusi tersebut. Tapi katanya,"Kok saya yang harus tampil melawan Lasio. Lha mestinya 'kan lebih tepat kalau dia tanding melawan AC Milan..." Dan sang pakar pun hanya tersenyum saja mendengar guyonan itu.

Hadiah
Uni Soviet, sebelum pecah, dikenal sebagai "Tirai besi", negara yang sangat tertutup. Pengontrolan terhadap individu luar biasa ketat. Semua orang harus tunduk dan patuh saja terhadap apapun yang ditentukan negara. Jangankan berontak, menyanyikan lagu Barat saja orang akan diinterogasi berhari-hari oleh polisi rahasia. Alkisah, tutur Gus Dur, dalam sebuah perjalanan bertemulah dua orang yang belum saling kenal dalam satu kereta. yang seorang berasal dari Polandia, dan seorang lagi dari Moskow. Keduanya akhirnya saling berkenalan dan terlibat obrolan yang cukup serius.Si orang Polandia bertanya kepada si Bung dari Moskow itu, "Hadiah apakah yang akan anda peroleh kalau anda memamerkan lambang serikat buruh di Moskow?"
"Tidak tahu, apa kira-kira hadiah yang akan kudapat," jawab kawan yang dari Moskow itu.Sang penanya kemudian menjawab sendiri teka-tekinya itu:"Anda akan memperoleh dua buah gelang dan satu rantai."
"Gelang emas atau perak?" tanya kawan asal Moskow ini penasaran.
"Borgol!" jawab si orang Polandia kalem.

 Masuk Akal
Ini cerita lama, sewaktu Gus Dur masih menjabat sebagai ketua PBNU. Kantor PBNU waktu itu baru saja melengkapi fasilitasnya dengan mesin faksimili. Hari itu Gus Dur sedang kedatangan seorang rekannya, disana juga sudah ada Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU saat itu) yang mempraktekkan cara mengirim faksimili di depan Gus Dur dan rekannya itu.
"Lho, ngirim tulisan pakai mesin ini apa bisa diterima sama persis disana?" tanya rekan Gus Dur, terheran-heran. Arifin menjawab yakin,"Lha iya, toh." Setelah Arifin memfaksimili, tiba-tiba ada faks masuk. Drrt...drrt...drrt.....Mendengar bunyi dan masuknya faks itu, rekan Gus Dur ini makin kagum saja.  "Wah, mesin faks ini memang luar biasa, nggak masuk akal," komentar rekan Gus Dur sambil geleng-geleng kepala. Spontan Gus Dur nyeletuk,"Ya jangan dimasukkin akal! Masukin kertas, dong."

 Kumpulan Humoris
Nah, humor ini juga pernah dilontarkan Gus Dur. Cerita dulu, jamannya Uni Soviet dipimpin oleh seorang diktator yang amat ditakuti. Sang diktator sedang menerima kunjungan rekannya dari barat. Dalam kunjungan singkatnya itu, terjadi obrolan yang diselingi humor santai. Sambil tertawa, rekan sang diktator itu iseng bertanya, "Apakah anda mengumpulkan para humoris?"
Sang diktator menjawab kalem," Ya, tentu saja. Jumlahnya ada dua sel penuh."

Obrolan Presiden
Saking udah bosannya keliling dunia, Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Perancis terbang bersama Gus Dur buat keliling dunia. Boleh dong, emangnya AS dan Perancis aja yg punya pesawat  kepresidenan. Seperti biasa.. setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.
Tidak lama presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: "Wah kita sedang berada di atas New York!"

Presiden Indonesia (Gus Dur): "Lho kok bisa tau sih?" "Itu.. patung Liberty kepegang!", jawab Clinton dengan bangganya.
Ngga mau kalah presiden Perancis, Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. "Tau nggak... kita sedang berada di atas kota Paris!", katanya dengan sombongnya.  Presiden Indonesia: "Wah... kok bisa tau juga?"
"Itu... menara Eiffel kepegang!", sahut presiden Perancis tersebut. Karena disombongin sama Clinton dan Chirac, giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat... "Wah... kita sedang berada di atas Tanah Abang!!!", teriak Gus Dur. "Lho kok bisa tau sih?" tanya Clinton dan Chirac heran karena tahu Gus Dur itu kan nggak bisa ngeliat. "Ini... jam tangan saya ilang...", jawab Gus Dur kalem.

Kaum Almarhum
Mungkinkah Gus Dur benar-benar percaya pada isyarat dari makam-makam leluhur? Kelihatannya dia memang percaya, sebab Gus Dur selalu siap dengan gigih dan sungguh-sungguh membela "ideologi"nya itu. Padahal hal tersebut sering membuat repot para koleganya. Tapi, ini mungkin jawaban yang benar, ketika ditanya kenapa Gus Dur sering berziarah ke makam para ulama dan leluhur. Saya datang ke makam, karena saya tahu. Mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi." Katanya.

Radio Islami

Seorang Indonesia yang baru pulang menunaikan ibadah haji terlihat marah-marah.
“Lho kang, ngopo (kenapa) ngamuk-ngamuk mbanting radio?” tanya kawannya penasaran.
“Pembohong! Gombal!,” ujarnya geram. Temannya terpaku kebingungan.
“Radio ini di Mekkah tiap hari ngaji Al-Qur’an terus. Tapi di sini, isinya lagu dangdut thok Radio begini kok dibilang radio Islami.”
“Sampean tahu ini radio Islami dari mana?”
“Lha itu bacaannya ‘all-transistor’, pakai ’Al’ !”

Tiga Polisi yang Baik
Saat ngobrol-ngobrol santai dengan para wartawan, di rumahnya JL Warung Silah Ciganjur, Kamis (17/3) siang, Gus Dur melontarkan lelucon soal polisi. Lelucon yang sebenarnya juga kritikan itu dilontarkannya menjawab pertanyaan wartawan perihal moralitas polisi yang kian banyak dipertanyakan.
“Polisi yang baik itu cuma tiga. Pak Hugeng almarhum bekas Kapolri, patung polisi dan polisi tidur,” selorohnya

Kuli dan Kyai
Rombongan jamaah haji NU dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah Arab Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-barang yang mereka bawa. Akibatnya, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius dalam bahasa Arab.
Melihat itu, rombongan jamaah haji tersebut spontan merubung mereka, sambil berucap: Amin, Amin, Amin!
Gus Dur yang sedang berada di bandara itu menghampiri mereka:
“Lho kenapa Anda berkerumun di sini?”
“Mereka terlihat sangat fasih berdo’a, apalagi pakai serban, mereka itu pasti kyai.”

NU Seperti AURI
Salah satu tradisi khas dalam lingkungan NU adalah terbangan atau bermain rebana kecil. Para pemain terbang disebut penerbang. Karena itu Gus Dur sering menyampaikan di depan massa istigotsahnya:
“NU itu seperti AURI. Banyak punya penerbang, tapi tidak ada kapal terbangnya.”

Tanggapan
Melempar lelucon bagai tak pernah sirna dari Gus Dur, walau dalam kondisi terdesak sekalipun. Usai menghadiri Forum Konsolidasi Pemenangan Pilkada Langsung dan Pemilu 2009 di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang, Senin (9/5/2005), Gus Dur didesak wartawan agar memberikan komentar terkait kemelut PKB pasca Muktamar II.
“Bagaimana Gus tanggapannya?” desak wartawan.
Namun, Gus Dur yang sudah hapal kelakuan pers menjawab,
"sudah tidak perlu saya tanggapi. Kalau saya ngomong, sama saja dengan menanggapi,” Gus Dur dengan lihai berkelit.
Dasar wartawan, mereka tak pernah patah semangat. Agar Gus Dur terpancing, mereka terus merangsek Ketua Dewan Syura PKB ini.
“Ayo Gus tanggapannya?”
Akhirnya karena tak tahan, Gus Dur menyerah dan pernyataan pun terlontar.
“Memangnya ini tanggapan (pertunjukan –red). Tanggapan itu ludruk atau wayang," kata Gus Dur santai.
Wartawan pun kecele


Gak Boleh Pesawat, Ya Kereta
Gus Dur pantas dijuluki mantan Presiden Indonesia paling aktif. Bagaimana tidak? Sehari dia bisa menjelajahi separuh NKRI. Subuh ada di Jakarta, Dzuhur di Makassar, Maghrib sudah di Jakarta lagi. Atau Subuh di Jakarta, dua jam kemudian ceramah di Surabaya, Gresik atau Sidoarjo, jam 11 siang sudah kembali ke kantornya di gedung PBNU Jakarta. Tentu saja, cepatnya mobilitas Gus Dur itu berkat ditemukannya teknologi modern yaitu pesawat terbang. Jika pencipta pesawat terbang Wright Bersaudara masih hidup, mungkin mantan Ketua Umum PBNU ini akan bertamu untuk menyampaikan kekagumannya. Kemungkinan itu bukan tidak mungkin. Akibat kekagumannya, pernah saat mengunjungi Brasil di tahun 2000, Gus Dur berniat mertamu ke rumah tokoh pendidikan dunia yang dikaguminya: Pastor Dom Helder Camara. Namun sayang, Pastor Camara sudah wafat beberapa bulan sebelum Gus Dur datang. Kembali ke pesawat terbang. Burung besi itu bagai rumah Gus Dur ketiga, setelah kediamannya dan mobil yang mengantarnya kluyuran. Sebagian besar waktunya dihabiskan di ketiga tempat itu. Karenanya, sembuh dari sakit yang mengharuskan Gus Dur ngamar 2 minggu di dua rumah sakit, dokter pun mengeluarkan travel warning: “Gus Dur tak boleh naik pesawat”. Maksud dokter sih, ‘menghadang dengan cara halus’ mobilitas yang melelahkan sang tokoh demokrasi itu, agar paling jauh Gus Dur cuma sampai Bogor. Soalnya kalo Gus Dur langsung dilarang, dia akan bilang; “wong saya gak pa-pa kok.” Jadi digunakanlah alasan tadi. Gus Dur pun berjanji akan mematuhinya. Syahdan, datanglah undangan ceramah ke Surabaya pada Sabtu (13/8/2005). Gus Dur menyambut gembira undangan itu, karena itu adalah kesempatan untuk bertatap muka dengan umatnya. Dokter mencium rencana itu, Gus Dur pun diingatkan soal larangan naik pesawat.
“Iya Pak Dokter…,” kata Gus Dur menepati janjinya.
“Bagus…,” kata dokter.
Belum usai tarikan napas lega sang dokter, Gus Dur menimpali:
“Tapi saya sudah punya tiket kereta.”

“Gitu Saja kok… “
Wacana politik paling populer saat Gus Dur jadi Presiden adalah kalimat “gitu saja kok repot!” Kini Papua bergolak akibat ulah investor. Kalimat dari Gus Dur itu pun hadir kembali di tengah kita dengan sedikit modifikasi: “Gitu saja kok Freeport!”


 

No comments: