Tuesday, May 08, 2007

Perombakan Amat Sangat Terbatas

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu pukul 15.00 WIB kemarin. "Reshuffle terbatas" ini mencakup penggantian lima menteri dan pejabat setingkat menteri serta perpindahan posisi dua orang menteri. Catatan apa yang bisa kita ajukan terhadap perombakan kabinet ini? Realistiskah memberi beban harapan yang tinggi?

Bagi saya, perombakan kabinet kedua dalam pemerintahan Yudhoyono ini menggarisbawahi bekerjanya gaya politik yang "sangat Yudhoyono". Gaya ini terutama dicirikan lima karakter pokok.

Pertama, politik yang baik bagi Yudhoyono adalah yang bisa meminimalkan risiko. Selama 2,5 tahun menjadi presiden, Yudhoyono terbukti pandai mengambil langkah politik dengan risiko paling minimal. Dilihat dari satu sisi, tentu kecenderungan ini baik belaka. Tetapi, celakanya, tak pernah ada politik bersisi tunggal. Pada titik inilah persoalan mengemuka. Kepemimpinan Yudhoyono yang pandai meminimalkan risiko dengan mudah bisa terjebak menjadi kepemimpinan yang lemah dan tak mau mengambil pilihan sulit.

Dalam kerangka itu, perombakan kali ini ditandai ketidakmauan Presiden mencederai keterwakilan partai dalam kabinet. Dari sisi keterwakilan politik, perombakan ini tak membuat perubahan signifikan. Kalangan nonpartai bertambah dari 18 menjadi 19 orang. Partai Golkar memperoleh tambahan satu kursi kabinet, menjadi empat kursi. PPP mengalami penyusutan wakil dari tiga menjadi dua menteri. PBB mengalami penurunan keterwakilan, hanya menguasai satu kursi menteri. Sementara PKS, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan PKPI tak mengalami perubahan tingkat keterwakilan. Celakanya, tak tercederainya keterwakilan partai mesti dibayar mahal dengan tak tersentuhnya persoalan pokok pemerintahan.

Kedua, komunikasi politik yang layak bagi Yudhoyono adalah yang tersamar. Yudhoyono adalah seorang pembicara andal. Tetapi, sebagian besar keandalannya diwakafkan untuk politik basa-basi. Terhadap lima menteri yang diganti, misalnya, Presiden tak mengungkapkan catatan kritis apa pun. Ia justru memuji pembantunya yang diganti itu. Pertanyaan yang boleh jadi mengemuka di kalangan awam adalah, "Lalu, jika demikian baiknya prestasi mereka, mengapa mereka diberhentikan?" Politik basa-basi kadang-kadang diperlukan. Tetapi, ketika ia menjadi karakter permanen dalam gaya komunikasi pemimpin, hasilnya adalah absennya ketegasan dan kepastian serta tersamarkannya substansi.

Ketiga, kamus politik Yudhoyono menempatkan etika sebagai sebuah entri penting. Tetapi, dalam praktiknya, fungsi etika bergeser dari pandu menjadi kerangkeng. Dalam pengumuman perombakan kemarin, selain memuji menteri yang diganti, Presiden merasa perlu membantah desas-desus mengenai sakitnya sejumlah menteri. Bahkan, Presiden merasa perlu menunda keputusannya mengganti Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf yang sudah terbukti sakit serius. Atas nama etika, pendukung loyal seperti Moh Ma’ruf tentu mesti diakomodasi. Tetapi, dalam konteks ini, akomodasi ini terasa berlebihan.

Keempat, Presiden punya kecenderungan menggaruk kening ketika dengkulnya gatal. Presiden kerap terlihat pandai dalam merumuskan masalah dan keadaan. Sayangnya, langkah yang diambilnya kerap berjarak—bahkan jauh panggang dari api—dari rumusan persoalan yang dibuatnya sendiri.

Sulit dibantah bahwa salah satu persoalan pokok pemerintahan Yudhoyono adalah kegagalan mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan, merevitalisasi sektor riil dan pertanian, membangun model manajemen bencana yang layak. Tetapi, kita tahu bahwa perombakan kali ini tak menyentuh menteri pada pos yang berkaitan dengan daftar kegagalan itu. Perombakan tak mengabdi pada pemecahan persoalan pokok, melainkan pada persoalan yang lebih pinggiran.

Kelima, politik Presiden pada akhirnya cenderung menjauhi klimaks. Sudah sekitar tujuh bulan terakhir perdebatan panas tentang perombakan kabinet berlangsung. Energi politik yang dikeluarkan tak sedikit. Tetapi, ketika sampai ke keputusan prerogatif Presiden, yang kita temukan adalah antiklimaks.

Dalam kerangka itu, dilihat dari sisi sosok dan ketokohan misalnya, perombakan kabinet kali ini tak menghadirkan figur baru dengan ketokohan dan rekam jejak menonjol. Para anggota baru Kabinet Indonesia Bersatu adalah pemilik kualitas ketokohan yang datar-datar saja.

Politik antiklimaks ini sesungguhnya bukan kecenderungan baru. Hal yang sama kita temukan dalam penantian pidato 100 hari, pidato 3 bulan, perombakan kabinet pertama sekitar 1,5 tahun lampau, pidato awal tahun, pengumuman beberapa paket baru kebijakan ekonomi dan investasi, dan lain-lain.

Bagaimanapun, perombakan kabinet bukanlah tujuan, melainkan sarana. Perombakan menjadi penting jika bisa memfasilitasi perbaikan kinerja pemerintahan serta membikin harapan banyak orang akan perbaikan keadaan tak lagi bertepuk sebelah tangan. Realistiskah perombakan kali ini akan menjadi sarana yang layak ke arah itu?

Di satu sisi, tak realistis membayangkan dampak-serta-merta dari perombakan. Setelah berjalan selama 2,5 tahun, pemerintahan Yudhoyono bukan saja mengidap persoalan komposisi kabinet, melainkan juga (dan terutama) persoalan kepemimpinan serta manajemen pemerintahan dan kebijakan. Tak ada garansi perombakan ini akan berpengaruh pada perbaikan kepemimpinan serta manajemen pemerintahan dan kebijakan itu.

Di sisi lain, perombakan ini tak menandai adanya perubahan perspektif dan arah kebijakan Presiden dan pemerintahan. Perombakan hanyalah respons parsial atas persoalan menyeluruh yang dihadapi. Bahkan, umpama seorang dokter, Presiden telah memutuskan untuk memberi pil analgesik atas sakit yang diderita pemerintahannya. Sang pil analgesik pun hanya bisa menghilangkan sementara waktu sakit yang diderita. Pil analgesik tak bisa diharapkan bisa mengatasi sumber penyakitnya.

Ini memang "perombakan amat terbatas", baik dalam hal wujud maupun dampak. Pada akhirnya, tentu saja kita mesti memberi kesempatan kepada pemerintahan dengan komposisi baru untuk bekerja secara leluasa. Tentu, sambil juga membiarkan sang waktu untuk ikut memberi vonisnya kelak.

EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

No comments: