Den Haag- Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik dengan disiplin.
Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta. IPDN sudah mirip keluarga mafia.
Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi memikul beban
sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia harus mati membawa sisa cacian,
bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan yang masih terngiang-ngiang...
Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus "tindakan disiplin."
Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
Ia bukan berduel menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan
lelaki pengecut yang cuma berani keroyokan.
Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut praja senior.
Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya:
sebagai bawahan, praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior.
Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir,
selama rakyat pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis,
tidak memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini.
Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan norma zaman.
Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas mengenaskan.
Itu artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun.
Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur dan sistem mirip mafia itu.
Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan memaki-maki, dalam kultur ini menjadi
instrumen untuk menegakkan apa yang diklaim mereka sebagai "disiplin".
Pelajar yang baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level rendahan
muda praja, yang harus patuh pada level di atasnya: madya praja, nindya praja dan
wasana praja. Pendatang baru ini mirip sgarrista, anggota dalam mafia yang
disejajarkan dengan prajurit. Mereka ini punya atasan langsung, yakni
caporegima, komandan yang membawahi kumpulan sgarrista.
Di atas mereka ada capodecina, atasan grup dari level sgarrista, yang mempunyai
kewenangan dan previlese lebih luas di atas para kroco sgarrista.
Level ini punya atasan lagi yakni sotto capo, semacam bos kecil.
Kemudian di atasnya lagi ada level capofamiglia yang punya kekuasaaan
besar dan harus dipatuhi mutlak oleh level-level di bawahnya.
Di ujung puncak hirarki masih ada Capo di Tutti Capi, sang mahaketua,
bos di atas segala bos dari segala hirarki itu. Siapa dia?
Jika ada kasus besar yang mereka lakukan, misalnya pembunuhan,
dan itu gagal mereka tutupi sehingga tercium polisi, maka mereka
kompak menjunjung tinggi omerta, yakni semacam code of silence:
tutup mulut rapat-rapat, tidak kooperatif dengan polisi
atau menghalang-halangi kepentingan penyelidikan.
Sikap mirip omerta dalam mafia itu ditunjukkan oleh
seorang pengajar berinisial Prof Dr LG yang berusaha
menghalang-halangi upaya polisi saat akan mengotopsi
jenazah korban. Dia bahkan berbohong dengan mengatasnamakan
pihak keluarga demi menolak permintaan polisi untuk otopsi
jenazah. Bukankah kebobrokan lembaga yang dibiayai pajak
ini sudah sempurna?
Rakyat sudah cukup memberi kesempatan IPDN untuk
memperbaiki diri, kini saatnya bersikap untuk mendesak
supaya ditutup. Tutup saja sekaligus mengurangi beban
anggaran. Para senator dan wakil rakyat, terutama dari
daerah Sulawesi Utara, berhutang untuk menyuarakan hal
ini, bukan saja pada Cliff, tetapi juga pada anak-anak
Indonesia lainnya agar tidak menjadi korban empuk berikutnya.
Untuk sekadar posisi camat bisa diisi oleh sarjana FISIP
dan sejenisnya dari perguruan tinggi umum. Apa yang bisa
diharapkan dari produk lulusan yang menyimpan trauma
psikologis dan fisik, di mana bahasa kekerasan, main
siksa dan bentak, menjadi bahasa pengantar sehari-hari?
No comments:
Post a Comment