Tuesday, August 21, 2007

Pertaruhan Terakhir, Munir


Edisi. 26/XXXIIIIII/20 - 26 Agustus 2007
Opini

Pertaruhan Terakhir

KEPADA Munir kita berutang: ia mangkat 7 September 2004 dan hampir tiga tahun setelah itu belum terang siapa pembunuh sang aktivis.

Kini ada penemuan baru. Untuk sementara, mungkin, bolehlah kita menaruh harap. Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang pernah dituding meracun Munir. Sebelumnya, oleh Mahkamah Agung, Polly dibebaskan dari segala tuduhan.

Dibacakan di pengadilan pekan lalu, memori Peninjauan Kembali itu disusun untuk menjelaskan dua hal. Pertama, Kejaksaan ingin meyakinkan Mahkamah Agung bahwa Pollylah pembunuh Munir. Dasarnya adalah keterangan Raymond J.J. Latuihamallo alias Ongen, penumpang pesawat Garuda GA 974 yang bersama Munir terbang dari Jakarta menuju Belanda pada malam jahanam itu. Ketika transit di Bandara Changi Singapura, di restoran Coffee Bean, Ongen melihat Polly membawa dua gelas minuman: satu untuknya dan satu lagi untuk Munir. Setelah Munir tewas, laboratorium forensik Amerika Serikat memastikan racun masuk ke tubuhnya ketika ia singgah di Changi. Gelas yang disajikan Polly diduga kejaksaan telah mengantarkan Munir ke alam baka.

Kedua, Kejaksaan ingin mengatakan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) secara institusional terlibat dalam operasi melenyapkan Munir. Jaksa, misalnya, menyertakan keterangan bekas Direktur Utama Garuda Indra Setiawan bahwa perintah untuk menjadikan Pollycarpus sebagai petugas pengamanan pesawat, agar ia bisa satu pesawat dengan Munir, datang dari BIN. Di sini nama Wakil Kepala BIN, M. As’ad, muncul. Dalam pengadilan sebelumnya, Polly diketahui juga bertelepon-teleponan dengan Muchdi P.R.—ketika itu ia Deputi V BIN. Setelah kematian Munir, Indra juga pernah bertemu petinggi BIN untuk membicarakan ”langkah selanjutnya”.

Dari pemeriksaan terhadap agen BIN, Raden Muhammad Patma Anwar, diperoleh keterangan bahwa ia pernah melihat Polly di lapangan parkir lembaga intel itu. Dalam pengadilan sebelumnya, Polly selalu membantah punya hubungan dengan lembaga telik sandi tersebut.

Dari Patma pula diperoleh informasi bahwa BIN menyiapkan lebih dari satu skenario untuk menamatkan sang aktivis. Patma, misalnya, diminta oleh agen bernama Sentot Waluyo untuk meledakkan mobil yang dikendarai Munir, menyantet atau meracun lelaki kurus itu. Namun, belum lagi rencana itu terlaksana, Munir sudah keburu tewas. Memori Peninjauan Kembali mencatat bahwa baik Patma maupun Sentot tak tahu-menahu tentang racun di Bandara Changi tersebut. Dalam keterangannya kepada polisi, Patma menyebut aksinya diketahui Manunggal Maladi dan Wahyu Saronto, Deputi II dan Deputi IV Badan Intelijen Negara.

Memori Peninjauan Kembali itu memang tidak sepenuhnya sempurna. Ada lubang kecil di sana-sini. Kesaksian Ongen bahwa ia duduk di meja yang berbeda dengan Polly dan Munir di Coffee Bean dibantah oleh Asrini Utami Putri, penumpang GA 974 lainnya. Menurut Asrini, ia melihat ketiganya duduk semeja. Kejaksaan tampaknya ingin mengedepankan kesaksian Ongen, yang melihat Polly membawa dua gelas, seraya mengabaikan kesaksian Asrini. Anehnya, entah tak sengaja atau kejaksaan menyimpan skenario lain, keterangan Asrini itu juga dicantumkan di memori PK.

Katakanlah Ongen benar—dan ia konsisten dengan keterangan itu hingga kelak ia hadir di pengadilan—tapi kejaksaan praktis tak punya peluru lain. Mereka, misalnya, tak punya barang bukti, misalkan gelas atau sisa racun. Itu sebabnya kejaksaan memilih menggunakan model sebab-akibat (conditio sine quanon) untuk menjerat Pollycarpus. Maksudnya, kejaksaan menguraikan aspek ”sebab” untuk menjelaskan unsur ”akibat”, yakni tewasnya Munir.

Selesai? Belum. Memori PK juga memunculkan sejumlah pertanyaan, misalnya mengapa keterangan Patma baru dimunculkan sekarang, padahal kepada polisi ia telah bersaksi pada Juni 2005. Peninjauan Kembali juga tidak mengelaborasi motif pembunuhan itu—sesuatu yang wajib ada agar Polly bisa dijerat. Sentot, seperti dikutip Patma, hanya menyebutkan, ”Munir harus mati karena sebentar lagi pemilihan presiden”.

Dengan memori PK yang lusuh itu, kejaksaan bergerak—sesuatu yang, bagaimanapun, harus kita sokong, karena untuk mengungkap kematian Munir tampaknya itulah satu-satu jalan. Tapi ini sebuah usaha dengan konsekuensi besar: jika kejaksaan gagal menjerat Polly, praktis kematian Munir akan selamanya menjadi misteri. Peninjauan Kembali adalah upaya hukum terakhir. Polly tak bisa diadili dua kali untuk kasus yang sama. Menjerat tersangka lain—Indra Setiawan, Patma, atau petinggi BIN lainnya—sulit dilakukan jika pelaku utama pembunuhan itu tidak ditemukan.

Maka, pekan-pekan depan ini kita akan menyaksikan sebuah pengadilan penting yang seru sekaligus mencemaskan. Sebuah pertaruhan: mampukah misteri pembunuhan Munir diungkapkan, mampukah kita melunaskan utang kepada mendiang.

No comments: