Monday, August 20, 2007

Indonesia Raya, Sejarah dan Multimedia


Para Siswa SD Melambaikan Bendera Merah Putih pada HUT RI ke-62 di Istana Merdeka, Jakarta (Yahoo! News/REUTERS/Dadang Tri )Heboh. Itulah kesan yang kemudian muncul setelah lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, ciptaan W.R. Soepratman (19 Maret 1903-17 Agustus 1939) kembali diingat sejarahnya. Berbagai komentar, baik positif maupun negatif, muncul serempak, seperti terbangunkan dari tidur lama. Semua pihak seolah-olah mendapatkan "energi" untuk berteriak, kembali menggugah semangat kemerdekaan.

Publikasi kembali film-video produksi September 1944 itu menyertai antusiasme masyarakat menyambut peringatan kemerdekaan ke-62, 17 Agustus 2007 ini. Publikasi itu sendiri merupakan hasil penelusuran sejarah lagu kebangsaan tersebut secara sangat komprehensif (lengkap berbagai bukti otentik, termasuk naskah-naskah lama yang pernah diterbitkan pada 1928-1945).

Sayang, suasana heroik itu sempat dikotori oleh berbagai kepentingan individu dan kelompok. Mereka itu, pada ujungnya, hanyalah ingin menampilkan masalah sederhana: ingin tetap diakui eksistensinya. Mereka berkoar-koar saling mengklaim bahwa penelurusan sejarah ini bukan barang baru (meski kenyataannya semua media massa di Indonesia, baik cetak maupun elektronik, menempatkannya sebagai headline). Bahkan ada yang mengaku sudah lama memiliki dokumentasinya (tetapi diam saja alias "ke mana saja mereka selama ini").

Yang lebih lucu, ada pula yang berusaha "menusuk dari belakang" dengan mengatakan bahwa penulis sekadar memindahkan file. Padahal, tentu kalau sesederhana itu yang dilakukan, jelas referensi yang ditampilkan tidak akan selengkap dan berdampak seheboh ini. Mulai petinggi negara sampai masyarakat bawah pun membicarakannya.

Semua ini berawal dari kegiatan "iseng" yang dilakukan penulis dan Heru Nugroho (mantan Ketua APJII --Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia). Ini terjadi setelah mencermati kerja Tim Air Putih yang melakukan link antarserver dan menemukan berbagai dokumen kuno milik bangsa Indonesia yang sempat dibawa keluar, puluhan tahun silam.

Kini hampir semua dokumen sudah dialihdokumenkan menjadi data digital. Dengan begitu, dapat di-retrieve dengan teknologi multimedia. Ratusan bahkan ribuan data tersebut sebenarnya hampir saja tidak termanfaatkan (baca: dimuliakan) dengan semestinya. Data itu sempat hanya disimpan dan bahkan saling ditransfer, termasuk di-upload ke berbagai situs oleh sebagian anggota tim, tanpa sedikit pun merasa bahwa mereka sedang "membuang sejarah penting" negara ini ke tempat-tempat yang tidak semestinya, seperti YouTube dan Multiply.

Dengan inisiatif pribadi dan sepengetahuan bersama tim, penulis kemudian menelaah lebih lanjut data tersebut. Termasuk mendalaminya ke berbagai link terkait, sembari mencari tambahan referensi pendukung. Ketika menemukan salah satu file adalah data digital hasil konversi dari film-seluloid produksi tahun Showa 2604 (1944 Masehi) yang sangat bermanfaat bagi negara ini, maka penulis langsung menaruh perhatian serius.

Pada saat itu pula penulis langsung mengontak pihak yang berkompeten menangani, yakni ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Ketua ANRI, Drs. Djoko Utomo, MA, adalah pihak pertama yang dikonfirmasi penulis atas temuan ini.

Meski akhirnya ANRI menyatakan bahwa mereka ternyata sudah memiliki rekamannya semenjak tahun 1983. Padahal, saat awal konfirmasi yang penulis lakukan, ANRI menyatakan belum memiliki rekaman tersebut. Hal inilah yang membuat penulis semakin giat melakukan riset lebih mendalam terhadap temuan data film-video lagu ke berbagai pihak terkait. Antara lain ke lingkungan kepresidenan, beberapa menteri, ahli sejarah, serta anggota senior dan veteran TNI-Polri.

Pada saat itu, hampir semua pihak menyatakan bahwa data tersebut sangat penting. Mereka juga menyatakan mendukung upaya penelurusan kembalinya, meski katanya harus hati-hati.

Dengan ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian melakukan penelahaan, meski tetap dengan ketegasan bersikap, akhirnya penulis berhasil mendapat berbagai data pendukung temuan tersebut. Penulis menyatakan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya kita semenjak tahun 1928 hingga sekarang telah mengalami setidaknya tiga kali perubahan. Lagu ini diciptakan W.R. Soepratman pada 1928.

Versi pertama adalah seperti termuat di harian Soeloeh Ra`jat Indonesia, 17 Oktober 1928. Pada saat itu, lagu Indonesia Raya pertama kali ditulis dalam 3-stanza atau 3-qouplet. Hanya saja, pada saat ini, refrain dari lagu versi pertama seperti diprasastikan di belakang patung W.R. Soepratman di museumnya di Surabaya memang belum berani menuliskan kata-kata "Indonesia Raya merdeka merdeka..." karena ketika itu pemerintah (Belanda) masih melarang penyebutan kata-kata tersebut. Meski demikian, di harian itu pulalah terdapat kalimat "Kalau orangtua mau turut menyanyikan, ini baiklah itu kata-kata `mulia` diganti `merdika!`."

Versi kedua lagu Indonesia Raya adalah yang paling sering disebut dalam berbagai referensi sejarah. Yakni yang termuat dalam harian Sinpo terbitan Sabtu, 27 Oktober 1928, alias sehari sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ketika termuat di harian tempat W.R. Soepratman bekerja ini, terlihat ada "revisi" permintaan Belanda pada refrainnya, di mana tulisan yang tercetak terlihat lebih tebal dan sedikit berbeda dari tulisan tangan lainnya. Inilah bukti otentik yang juga jarang terungkap.

Versi ketiga (calon) lagu kebangsaan tersebut adalah seperti yang hari-hari kemarin banyak diputar dan termuat dalam berbagai media, yakni berupa lagu Indonesia Raya utuh 3-stanza/3-qouplet. Meski masih dalam masa penjajahan Jepang, versi ini sudah berani menulis kata "merdeka", sehingga refrainnya secara lengkap sudah berubah menjadi "Indonesia Raya merdeka merdeka...".

Banyak komentar bahwa versi ini adalah propaganda pemerintah (Jepang) pada saat itu. Tujuannya, menarik simpati masyarakat Indonesia, lantaran Jepang tengah melakukan mobilisasi massal dalam Perang Asia Timur Raya, dua tahun sebelumnya. Namun ini bagian dari sejarah yang seharusnya tidak dilupakan begitu saja, karena de facto pada saat-saat peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, lagu versi ketiga inilah yang ada pada saat itu, bukan yang lain.

Hal ini dapat dilihat pada harian Asia Raja terbitan 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, di mana lagu kebangsaan kita yang termuat adalah versi 3-stanza/3-qouplet ini. Perlu diingat bahwa pada saat akhirnya negara Indonesia telah berhasil mencapai kemerdekaan, pencipta lagu kebangsaan kita itu sudah lebih dulu meninggal.

W.R. Soepratman meninggal pada 17 Agustus 1938. Dengan demikian, bilamana ada pendapat (keluarga) lain yang mengatakan bahwa sebelumnya versi "asli" lagu itu ada dua, yakni yang direkam pertama kali pada 1932 alias masih menggunakan kalimat "`Indones` Indones` Moelia moelia...", hal tersebut bisa juga dilogika berdasar usia almarhum.

Pemerintah (Indonesia), berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958, menetapkan bahwa lagu kebangsaan yang resmi adalah versi 1-stanza, gubahan Jos Cleber (seorang warga negara Belanda yang bekerja sebagai komposer) dan Jusuf Ronodipuro (Kepala Stasiun RRI Jakarta masa itu), sekaligus mengubah tempo lagu dari maestoso con bravura (bersemangat) menjadi di marcia (seperti orang berbaris). Maka, bagaimanapun, versi terakhir ini adalah versi yang harus digunakan sebagai lagu kebangsaan sampai sekarang.

PP 44/1958 itu juga mengatur tata cara penyajian sekaligus sanksi hukum bila lagu kebangsaan tersebut dilagukan secara tidak benar. Termasuk bila digunakan sekadar untuk backsound iklan atau promosi tertentu (contohnya kasus iklan pengakuan kewarganegaraan RI yang menampilkan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, tahun lalu).

Dengan demikian, sebenarnya sekarang ini persoalannya sudah sangat jelas, pengaktualisasian kembali (sejarah) lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam berbagai versi sebelumnya, dan yang paling heboh adalah yang baru saja ditampilkan kembali film-videonya produksi September 1944 tersebut, adalah hal yang sangat wajar dan tidak perlu dipandang negatif. Apalagi malah terlihat munculnya "komentar-komentar kesiangan" dari beberapa pihak yang sempat muncul beberapa waktu kemarin. Kemunculan kembali versi-versi lama lagu kebangsaan itu semata-mata bagian dari proses sejarah negara ini yang perlu dicermati dan bahkan harus dihormati semua pihak.

Secara de facto dan de jure, pada masanya masing-masing merupakan lagu resmi. Sesuai dengan keputusan pemerintah sekarang (cq Menbudpar Jero Wacik dan Mensesneg Hatta Radjasa), yang juga tetap mempertahankan lagu Indonesia Raya dalam versi terakhir, maka keputusan ini pun harus dihormati semua pihak. Meski begitu, ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melagukan versi-versi sebelumnya harus dibuka. Tentu saja, asal bukan dalam koridor lagu kebangsaan dan untuk tujuan resmi lainnya (sesuai dengan PP 44/1958).

Sekali lagi, penulis bukanlah orang yang mengerti sejarah, juga bukan pihak yang mengerti musik. Namun, dengan pengetahuan yang sangat terbatas ini dan didukung teknologi multimedia, mulai pencarian referensi hingga metode pengungkapannya, setidaknya penulis telah coba memberikan wacana bagi masyarakat Indonesia. Meski, untuk sebagian orang, yang penulis sampaikan bukan hal baru.

Toh, kini masyarakat tampak sangat bersemangat dan bergelora kembali semangat kebangsaannya, suatu hal yang sudah sangat jarang terjadi di republik ini selama beberapa tahun terakhir. Demikian pula dengan generasi muda Indonesia yang (mungkin) kemarin tidak terlalu care pada sejarah bangsa ini, khususnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, penulis yakin bahwa pada Agustus 2007 ini sempat mengalami hal yang sedikit luar biasa. Perhatian dan kecintaan kita terhadap negara dan bangsa ini kembali muncul, berbarengan dengan dimunculkannya lagi sejarah lagu kebangsaan.

Itulah salah satu manfaat teknologi multimedia. Manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat Indonesia untuk mencari pengetahuan ke masa depan, sekaligus menelaah sejarah ke masa lalu. Penulis sangat yakin, bilamana semua pihak dapat menerima dengan legowo dan tidak saling menonjolkan sikap individualistis seperti sekarang ini, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar.

Bilamana sikap pengecut --sebagian berkomentar miring di belakang (baik melalui SMS, e-mail, milis, blog, bahkan ada yang sengaja menggelar jumpa pers menentang)-- yang terus-terusan dilakukan, sampai kapan masyarakat hanya akan disuguhi sajian tak bermutu. Seperti ibarat yang sangat terkenal, yakni "telur Columbus" (ketika Christoper Columbus berhasil membuat posisi telur berdiri tegak, meski dengan sedikit meretakkannya di atas meja, semua pihak bilang, "Kalau cuma seperti itu, saya juga bisa..."), kalau memang bisa dan mampu, mari bersama-sama melakukannya, sehingga negara ini jadi semakin dewasa! Antara sejarah dan teknologi multimedia sebenarnya sangat dekat, tergantung bagaimana kita bisa mengolah dan menyikapinya, kenapa tidak?

KRMT Roy Suryo Notodiprojo>
>Pengamat multimedia. Untuk kado peringatan kemerdekaan RI ke-62, Agustus 2007
[Kolom, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 16 Agustus 2007]

No comments: