Thursday, September 06, 2007

KKN Di Gedung Sate

Tembang Sumbang Dari Kota kembang

Bandung, 26 Januari 2001 20:55
GUBERNUR Jawa Barat Raden Nuriana, 60 tahun, sedang puyeng. Ia diterpa kabar tak sedap. Koran Bandung Pos, yang dulunya milik Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat, kini gencar menyentilnya dengan sinyalemen praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Tudingan itu makin santer setelah Komite Pemuda, Mahasiswa dan Pelajar Islam Jawa Barat mengadukan Nuriana ke DPRD Jawa Barat, Jumat dua pekan lalu.

Lima helai kertas folio merangkum segala macam tuduhan sumbang terhadap Nuriana -dari tuduhan praktek mark up sejumlah proyek sampai penempatan kerabat dekat Nuriana pada pos penting di lingkungan Provinsi Jawa Barat. Laporan itu mengalir lancar, meski nada persoalannya berkelok-kelok bak tembang Sunda. "Sudah cukup alasan untuk memeriksa dan mengusut Nuriana," kata
Zakky Robby Cahyadi, juru bicara kelompok pemuda itu.

Dua hari sebelumnya, pengaduan serupa diadukan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Agak gencar memang, gebrakan yang dilakukan rombongan pemuda yang berasal dari Gerakan Pemuda Islam, Pemuda Persatuan Islam, Pemuda Muslim, Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Pemuda Alwasliyah, Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam, dan Pelajar Islam Indonesia itu. Tudingan praktek KKN
tersebut menggelinding dari Kota Kembang ke Jakarta. Anak-anak muda itu juga membuat pengaduan ke Departemen Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung.

Salah satu tuduhan itu menyebutkan bahwa Nuriana memaksakan proyek pembangunan perumahan dinas DPRD Jawa Barat di Cipageran, Cimahi. Padahal, situs proyek itu merupakan daerah resapan air. Bekas Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi ini juga dituduh mengatrol nilai proyek perumahan itu dari Rp 15 milyar menjadi Rp 32 milyar. Toh, pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri menyatakan Nuriana bersih.

Sempat bergulir juga tuduhan sejumlah pelayanan spesial Nuriana kepada keluarga Cendana. Bapak tiga anak yang punya darah menak (bangsawan) Sumedang ini disebut-sebut sebagai penggagas ide dua proyek raksasa, yakni pembangunan Kota Mandiri Bukit Jonggol Indah, Bogor, dan reklamasi Pantai Kapuk Naga, Tangerang.

Gagasan Nuriana ini ditangkap Bambang Trihatmodjo, anak ketiga bekas Presiden Soeharto. Melalui perusahaan konsorsium PT Bukit Jonggol Asri, Bambang Tri mendapat hak untuk membebaskan 30.000 hektare lahan Jonggol -hampir setengah wilayah DKI Jakarta. Sedangkan proyek Kapuk Naga juga berskala ribuan hektare. Namun, ketika Bukit Jonggol Asri baru membebaskan 11.000 hektare, Soeharto keburu lengser. Megaproyek Jonggol dan Pantai Kapuk Naga pun turut terpuruk.

Nuriana menepis tudingan itu. Menurutnya, kedua megaproyek itu bukanlah idenya. Landasan hukumnya adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 1997 dan Nomor 73 Tahun 1996. "Sebagai gubernur, saya hanya ditugaskan mengoordinasikan dan mengendalikan kedua proyek itu," kata Nuriana. Nasib dua proyek ini belum jelas. Dan pemerintah pun telah mencabut kedua keppres itu.

Yang paling menyodok Nuriana ialah sorotan atas terbengkalainya proyek wisata air di Situ Cipondoh, Tangerang. Dibandingkan dengan kedua megaproyek tadi, memang pekerjaan di Cipondoh ini kecil saja. Hanya menyangkut 126 hektare tanah negara. Perusahaan pengembang yang menangani pekerjaan di Cipondoh baru sempat membangun tembok sepanjang 15 meter dan tinggi 2 meter. Selebihnya hanya tanah becek yang ditumbuhi gulma.

Sedianya, proyek ini akan menyulap kawasan rawa itu menjadi tempat rekreasi yang menawan. Ada danau, sarana bermain anak- anak, fasilitas hiburan, rumah makan, dan kafe. "Seperti miniaturnya Taman Impian Jaya Ancol-lah," kata Camat Kecamatan Cipondoh, Maryoto, berandai-andai. Ia yakin, kalau lancar, proyek ini akan menjadi pusat hiburan di Tangerang. Letaknya strategis: di pinggir jalan raya Cipondoh-Cileduk, dan hanya berjarak tujuh kilometer dari pusat kota Tangerang.

Sayup-sayup terdengar kabar, Nuriana memberikan perlindungan kepada pihak developer. Menurut sumber dekat Gatra di lingkungan Pemda Kota Madya Tangerang, Nuriana pernah berpesan untuk tidak mempermasalahkan ihwal tertundanya proyek itu. "Makanya, hingga kini tidak ada pengembang lain yang bisa menggantikan PT Griya untuk meneruskan proyek," kata sumber itu.

Komite Pemuda, Mahasiswa dan Pelajar Islam Jawa Barat mencium bau yang tak sedap dari proyek Cipondoh itu. Mereka menuduh, Nuriana ikut terlibat sebagai penyebab mandeknya pembangunan kawasan wisata Cipondoh. Ada dugaan, Nuriana berkolusi dengan Nico Barito, seorang cukong yang sering malang melintang di kalangan pejabat Jawa Barat. Tak mengherankan, proyek itu jatuh ke tangan PT Griya Tritunggal Paksi, perusahaan milik sobat kental Nico, yakni Henry Soetandi Soetedjo.

Syahdan, tanah negara di Cipondoh itu beralih status menjadi HGB (hak guna bangunan) atas nama PT Griya. Bahkan, pengalihan itu dikuatkan dengan sertifikat. Tentu saja, urusan ini juga menjadi fokus sorotan para anggota komite pemuda Islam itu. Mereka menganggap, pengurusan sertifikat itu berbau KKN, apalagi secara prosedural meleset karena tanpa izin Menteri Dalam Negeri.

Namun, tudingan ini juga dibantah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Barat Ir. Masri Asyik. "Proses pembuatan HGB itu telah memenuhi prosedur," katanya. Pria berdarah Aceh itu pun menuturkan riwayat lahan tersebut. Pada 1996, menurutnya, Pemda Jawa Barat mengajukan permohonan kepada pemerintah agar lahan 126 hektare yang mengelilingi Situ Cipondoh itu bisa menjadi asetnya. Permohonan tersebut dikabulkan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Lantas, terbitlah surat hak pengelolaan lahan (HPL) itu pada April 1996.

Kemudian, Pemda Jawa Barat menggandeng PT Griya untuk menggarap Situ Cipondoh itu. Tahap berikutnya, lahan tersebut dikonversikan statusnya menjadi HGB. Hanya selang lima bulan semenjak keluarnya HPL, sertifikat HGB sudah ada di kantong PT Griya. Dengan begitu, paling tidak untuk 30 tahun, tanah itu akan menjadi milik PT Griya.

Menurut Masri Asyik, BPN tak punya alasan untuk menahan permohonan pengalihan hak itu. "Persyaratannya sudah mencukupi," katanya. Menurut Masri, untuk memperoleh HGB, pemohon cukup menunjukkan surat kerja sama yang sudah mendapat persetujuan DPRD. Kalaupun kerja sama itu harus mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri, menurut Masri, pengurusannya bisa dilakukan setelah HGB-nya keluar.

Masri tidak membantah bahwa BPN Jawa Barat menerima sejumlah uang untuk biaya pengurusan HGB itu. "Saya lupa jumlahnya," kata Masri. Biaya itu, kata Masri, memang ada aturannya. Besarnya 6%-13% dari harga dasar tanah yang disertifikatkan. "Dan uang itu semuanya masuk ke kas negara," kata Masri. Ia juga tak ingin menyoal asal-muasal dana pengurusan sertifikatnya. Yang ia
tahu, PT Griya tergolong bonafide. "Buktinya, mereka dipercaya untuk mengembangkan kawasan Cipondoh," kata Masri berkilah.

Namun, Zakky Robby Cahyadi punya kepedulian lain. Ia menemukan data, dana pengurusan itu berasal dari pinjaman Yayasan Saung Kadeudeuh, yayasan yang dibangun untuk membantu pegawai di lingkungan Pemda Jawa Barat memperoleh rumah sederhana. Besarnya Rp 1 milyar. "Kok biaya itu menjadi beban yayasan. Aneh," kata Ketua Bidang Politik Gerakan Pemuda Islam Jawa Barat tersebut.

Nuriana sendiri tidak membantah telah meminjamkan uang tersebut. "Tetapi pinjaman itu sudah dikembalikan," kata pendiri Yayasan Saung Kadeudeuh ini, sambil memperlihatkan kuitansi penggantiannya. Menurut Nuriana, pihaknya memang menalangi biaya itu sebagai bukti bahwa tanah itu benar-benar hak pengelolaan Pemda Jawa Barat. Sementara itu, orang-orang dekat Nuriana merasa
ada "permainan politik" di balik tuntutan terhadap Gubernur Jawa Barat itu (lihat: Bisik-bisik Pejabat Jawa Barat).

Lepas dari soal kemungkinan intrik politik itu, meski uang sudah kembali ke kas yayasan, beleid Nuriana ini tetap mengundang tanda tanya. Ketua Real Estat Indonesia (REI) Jawa Barat Paskah Suzeta menilai, tak pada tempatnya bila dana yayasan dipakai membantu pengusaha. Pasalnya, dana yang dikutip dari pengembang sejak 1993 itu mestinya cuma digunakan membantu pegawai yang tak mampu membayar uang muka rumah. Ironisnya, REI Jawa Barat sendiri pernah ditolak ketika berniat meminjam dana itu untuk menggarap lahan tidur.

Paskah makin kesal setelah mengetahui pengusaha yang diberi bantuan itu bukan anggota REI. "Kalaupun mau diberikan ke pengusaha, ya ke anggota REI, dong," kata anggota Komisi VIII DPR itu. Keruan saja, ia curiga. "Jangan-jangan ada apa-apanya. Itu harus diselidiki," katanya lagi.

Paskah juga mempertanyakan nasib dana yang telah terhimpun di Yayasan Saung Kadeudeuh. Menurut catatannya, sampai akhir Desember silam, yayasan ini sudah menghimpun dana Rp 35 milyar. Sedangkan yang sudah disalurkan untuk membantu uang muka perumahan pegawai negeri sipil dan ABRI golongan I dan II baru Rp 9 milyar. Untuk menghindari penyelewengan pemakaian dana, Paskah menyarankan agar kekayaan Yayasan Saung Kadeudeuh dimasukkan ke APBD. Dengan begitu, rakyat bisa mengontrolnya. "Saat ini penggunaannya suka-suka gubernur saja," kata Paskah lagi.

Tidak hanya Paskah yang heran atas pemakaian dana yayasan untuk kepentingan investor. Ahli hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof. Dr. Muchsan, SH, menganggap tidak wajar kalau Gubernur Jawa Barat mengeluarkan uang untuk penyelesaian sertifikat tanah. "Mestinya pemerintah daerah mendapat fee dari investor karena pemberian izin tersebut," katanya kepada Dipo Handoko dari Gatra. Cukup beralasan kalau Muchsan mencurigai kemungkinan adanya kolusi antara Nuriana dan investor.

Buih permasalahan makin menggelembung saat PT Griya mengagunkan HGB itu ke Sinar Mas Multifinance. Hasilnya, kucuran kredit US$ 15 juta. Nuriana dituduh turut bermain melicinkan keluarnya kucuran kredit itu. Celakanya, kredit tersebut kini macet, sementara sertifikat tanah ada di bank. Soal kredit macet itu, Nuriana tak membantah. Namun, ia menolak dituduh melicinkan aliran
kredit. "Hebat benar saya kalau bisa menekan bank swasta. Itu sih urusan PT Griya dengan bank swasta," katanya dengan suara meninggi.

Pihak PT Griya mengaku, sokongan dana US$ 15 juta diperoleh pertengahan tahun lalu. Namun, setelah pinjaman itu cair, badai krisis moneter menerpa perekonomian nasional. "Akibatnya, dana yang diterima tidak dapat kami manfaatkan secara optimal," kata Komisaris PT Griya Henry Soetandi dalam jawaban tertulisnya kepada Krisnadi Yuliawan dari Gatra. Henry berharap, ada
penjadwalan ulang dalam pengembalian utangnya.

Macetnya kredit PT Griya ini sempat membuat berang Pemda Jawa Barat. "Kami sudah memberikan peringatan tertulis agar PT Griya benar-benar memenuhi kewajibannya melunasi kredit," kata Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan Moch. Husein Yahyasaputra. PT Griya sendiri kini tengah menawarkan sebagian saham perusahaannya kepada investor asing guna meperoleh dana segar. "Kami juga mencari pihak yang bisa memberikan pinjaman," kata Henry Soetandi.

Apa pun yang terjadi, PT Griya berkewajiban mengembalikan sertifikat tersebut setelah masa berlakunya habis. "Agunan itu tidak boleh melebihi batas waktu berlakunya HGB," kata Husein Yahyasaputra. Bekas Bupati Sumedang ini yakin, Pemda Jawa Barat tidak bakal kehilangan Situ Cipondoh. "Toh, yang dijaminkan hanya HGB-nya, sedangkan HPL-nya ada di tangan kami," katanya. Ia mengabaikan fakta bahwa pihak bank memegang sertifikat, dan punya hak untuk melelangnya.

Memang begitu hukumnya. Pekerjaan yang dimulai dengan cara kusut akan kusut pula di belakang hari.

Hidayat Gunadi, Hidayat Tantan, dan Ida Farida (Bandung)
[Gatra Nomor 16/05, 6 Maret 1999]

No comments: