Sunday, September 09, 2007

Alasan Perang dari Perspektif Ekonomi

PERS Barat bertanya, Apa alasan untuk melancarkan Perang Teluk? James Baker saat menjabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) tahun 1990-an menjawab, Alasannya adalah pekerjaan, pekerjaan (jobs, jobs, jobs).

BAKER didaulat lagi untuk memberikan keterangan lebih konkret, apa arti dari jawabannya itu. Faktanya adalah penciptaan kesempatan kerja atau pekerjaan yang ada akan anjlok atau hilang. Itu jika (Presiden Irak) Saddam Hussein bisa mengontrol aliran minyak dari Teluk, atau bertindak sesuai keinginan diri sendiri untuk mempengaruhi harga minyak, apalagi kalau Saddam berhasil mengontrol minyak Irak dan Kuwait," kata Baker.

Jadi barangkali, Baker ingin mengatakan bahwa alasan Perang Teluk tahun 1991 adalah, "Minyak, minyak, minyak (oil, oil, oil)."

Demikian antara lain petikan-petikan kalimat dari artikel William D Nordhaus berjudul, The Economic Consequences of a War with Iraq.

Nordhaus adalah Profesor Sterling untuk Ilmu Ekonomi dari Yale University. Pada tahun 1977-1979, dia anggota Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS (saat itu dijabat Jimmy Carter).

Artikel itu adalah salah satu hasil diskusi di Committee on International Security Studies (CISS), berlangsung pada 11 Oktober 2002. CISS adalah unit dari American Academy of Arts and Sciences (A3S).

Para peserta diskusi terdiri dari orang-orang yang berkaliber di bidangnya, antara lain James Carroll (dari harian Boston Globe), Richard Garwin (Council on Foreign Relations), Janice Gross-Stein (University of Toronto), Harry Harding (George Washington University), Carl Kaysen (Massachusetts Institute of Technology), Neal Lane (Rice University), Robert Legvold (Columbia University), Jane Holl Lute (United Nations Foundation), Martin Malin (A3S), Everett Mendelsohn (Harvard University), Robert Pastor (American University), Janne Nolan (Georgetown University), Steven Miller (Harvard University), Bruce Russett (Yale University), dan John Steinbruner (University of Maryland).

Mereka mendiskusikan kebijakan AS soal Irak, dengan maksud memberikan pandangan soal potensi biaya, konsekuensi dalam jangka panjang dari serangan atas Irak.

Tulisan ini khusus mengkaji alasan perang dari perspektif ekonomi. Perspektif ekonomi dari pihak siapa? Logikanya karena perang Irak "dipaksakan AS", perspektif ekonomi itu jelas adalah milik AS.

Kebetulan perspektif ekonomi tersebut juga tersirat di dalam strategi keamanan nasional AS.

Tanggal 17 September 2002, Gedung Putih, dengan titipan pesan dari Presiden AS George Walker Bush, meluncurkan dokumen 30 halaman berjudul The National Security Strategy of The United States.

Gambaran umum dari dokumen itu adalah:

Strategi kebijakan nasional AS didasarkan pada keunikan internasionalisasi Amerika yang merefleksikan kesatuan nilai-nilai dan kepentingan nasional kita. Tujuan dari strategi itu adalah membentuk dunia yang tidak saja lebih aman, tetapi juga lebih baik. Tujuan kita adalah: kebebasan ekonomi dan politik, hubungan serasi dengan negara-negara lain, dan penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan. ...

Untuk mencapai tujuan itu, AS akan:

* meningkatkan aspirasi soal nilai-nilai kemanusiaan;

* memperkuat aliansi untuk membasmi terorisme dan bekerja untuk menghindari serangan pada kita dan teman-teman kita;

* bekerja dengan pihak lain untuk menghindari konflik regional;

* mencegah ancaman musuh terhadap kita, kelompok kita, teman-teman kita, dengan senjata pemusnah massal;

* menciptakan era baru untuk pertumbuhan ekonomi global lewat pasar bebas dan perdagangan bebas;

* meningkatkan siklus pembangunan dengan membuka komunitas dan membangun sarana demokrasi;

* menciptakan agenda untuk aksi kerja sama dengan pusat-pusat kekuatan global; dan

* mentransformasikan lembaga keamanan nasional Amerika untuk menghadapi tantangan dan kesempatan-kesempatan Abad 21.

Tujuan dari kebijakan AS itu mencengangkan. Namun, banyak di antaranya sudah mewarnai kebijakan AS lebih dari setengah abad lalu.

Apa implikasi kebijakan AS itu terhadap pasokan minyak pada umumnya, dan khususnya pada pasokan minyak dari Irak.

MENURUT Nordhaus, Pemerintah AS sekarang ini tidak bicara soal pertumbuhan (di dalamnya termasuk kesempatan kerja) atau pasokan minyak secara eksplisit, di dalam strategi itu.

Juga tidak disinggung secara konkret, apa tujuan serangan ke Irak dari segi perspektif ekonomi, atau perspektif ekonomi minyak.

Pentagon sebenarnya sudah membuat ramalan internal soal kaitan perang dengan pasokan minyak (termasuk di dalamnya biaya perang).

Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih juga sudah mengirimkan studi dampak ekonomi dari Perang Irak ke Presiden Bush. Namun, tidak ada satu pun dari laporan itu yang dipublikasikan.

Nordhaus mengatakan, pemikiran soal keamanan pasokan minyak, dan kontrol atas minyak Irak setelah perang, mungkin disembunyikan pada classified analysis (analisa ekonomi minyak yang diklasifikasikan sebagai rahasia yang tidak terbuka untuk umum).

Namun demikian, apa pun peran pasokan minyak pada kalkulus pemerintahan Bush, banyak negara lain menduga, pengontrolan pasokan minyak Irak untuk kepentingan perusahaan-perusahaan AS dan perusahaan otomotif AS, ditempatkan pada urutan teratas dalam daftar prioritas AS.

Ada latar belakang informasi yang berguna sebagai bahan diskusi soal itu. Konsumsi minyak dunia tahun 2000 dan 2001 rata-rata sekitar 68 juta barrel per hari. Dari jumlah itu, OPEC menyumbang 42 persen atau mendekati 29 juta barrel per hari. Dari total pasokan OPEC itu, sebanyak 22 juta barrel per hari atau 32 persen bersumber dari negara-negara Arab ditambah Irak.

Kelebihan kapasitas produksi produksi OPEC di tahun 2001, hanya sekitar 4 juta barrel per hari. Di luar OPEC, hanya ada sedikit kelebihan kapasitas produksi. Tingkat kelebihan kapasitas produksi itu adalah yang terendah dalam sejarah. Itu dianggap berbahaya, untuk menjamin keamanan pasokan minyak.

Pada periode sebelumnya, ketika kelebihan kapasitas jatuh ke atau di bawah 4 juta barrel per hari-sebagaimana terjadi pada tahun 1973-1974, 1978- 1979, dan 1991-harga minyak naik tajam.

Pada diskusi di CISS itu diungkapkan, pemikiran soal minyak dalam konteks perang di Timur Tengah bukanlah omong kosong. Setiap resesi pada tiga dekade lalu, dikaitkan secara langsung atau tidak langsung dengan kejutan di pasar minyak, terorisme, dan perang.

Informasi lain adalah, para ahli perminyakan yakin, Irak memiliki cadangan minyak kedua terbesar di dunia di belakang Arab Saudi. Irak memiliki 220 milyar barrel cadangan minyak. Cadangan Irak bisa lebih tinggi dari angka itu, karena eksplorasi sumber daya minyak-terutama di kawasan Gurun Pasir Barat (Western Desert) Irak, kemungkinan masih bisa menghasilkan sumber daya minyak tambahan, namun belum dieksploitasi.

Sumber daya minyak Irak itu bisa memenuhi kebutuhan impor minyak AS selama hampir satu abad. Kesimpulannya, posisi Timur Tengah dan Irak, masih cukup signifikan di dalam pasokan minyak dunia.

Masalahnya, minyak mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia jika harga minyak tidak stabil, terutama jika harga minyak melejit. Hal itu menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitas ekonomi yang anjlok, akan memerosotkan perekonomian, dan menghambat pertumbuhan kesempatan kerja.

Pertumbuhan ekonomi bukan saja penting bagi AS, tetapi juga dunia, yang ditandai dengan masih banyaknya penduduk miskin.

Menurut PBB, jika status sosial ekonomi penduduk miskin dunia hendak diangkat, maka pertumbuhan ekonomi harus meningkat pula.

Jadi, ketidakstabilan pasokan dan harga minyak dunia, akan memberi dampak negatif pada masyarakat dunia, di mana pun mereka berada, dan agama apa pun yang mereka anut.

POSISI Timur Tengah, memang strategis, dari perspektif minyak. Namun demikian, banyak faktor yang membuat AS khawatir akan kestabilan harga dan pasokan minyak dunia. Misalnya, ada kekhawatiran akan penghancuran fasilitas minyak di Irak, dan kemungkinan Kuwait, Iran dan Arab Saudi. Pada Perang Teluk I tahun 1991, Irak menghancurkan infrastruktur perminyakan Kuwait.

Kekhawatiran lain adalah, adanya potensi pengurangan produksi minyak di Teluk. Itu pernah terjadi lewat aksi boikot terhadap AS dan negara Barat lainnya, seperti terjadi tahun 1973 menyusul Perang Arab-Israel. Arab melakukan embargo atas ekspor minyak, yang membuat harga minyak dunia melejit, dan dampaknya adalah resesi ekonomi dunia.

Intinya AS sangat khawatir, jika kontrol produksi minyak jatuh ke tangan pihak yang anti-Barat. Itu mengkhawatirkan karena ketergantungan negara-negara industri, khususnya AS, pada minyak impor.

Lalu mengapa sasarannya adalah Saddam Hussein. Bagi AS, sama seperti Afganistan, Irak terpecah oleh konflik ideologi, agama dan etnis.

Naiknya Saddam ke pemerintahan tahun 1979 lalu, langsung diikuti kejatuhan ekonomi dan juga kejatuhan pada beberapa aspek kehidupan Irak.

Sejak itu, demikian Nordhaus, Irak mengalami bencana ekonomi dalam sejarah modern. Ketika perang dan sanksi PBB belum mendera, produksi minyak Irak mencapai puncak sekitar 3 juta barrel per hari, atau 1 milyar barrel per tahun.

Minyak menyumbang sekitar 50 persen pada produksi domestik bruto (PDB) Irak. PDB per kapita Irak mencapai puncaknya sekitar 9.000 dollar AS (berdasarkan harga tahun 2000) pada tahun 1979. Tahun 2001, kisaran pendapatan per kapita Irak hanya sekitar 1.000-1.200 barrel per hari tahun 2001.

Tampaknya, selama 23 tahun pemerintahan Saddam, standar hidup anjlok 90 persen. AS menilai hal itu sebagai rawan terhadap kebangkitan terorisme.

Kehancuran ekonomi Irak, terutama terjadi selama perang Iran-Irak (1980-1988), dan kemudian pada Perang Teluk dan diikuti sanksi PBB.

Kejadian itu juga menghancurkan capital stock (akumulasi modal) Irak, menurunkan produksi dan ekspor minyak, dan merusak aset-aset di luar negeri, serta cadangan devisa internasional.

Bagi AS, tampaknya posisi Irak yang demikian itu, telah cukup dijadikan alasan untuk bertindak. Nordhaus mengutip wawancara ekonom AS Larry Lindsey dengan Wall Street Journal yang diberitakan tanggal 15 September 2002 berjudul "Saddam’s Oil".

Wawancara itu dinilai, sedikit membuka tabir, mengapa AS perlu menyerang Irak. Lindsey mengatakan, "Penggusuran Saddam akan menghentikan permasalahan minyak dunia dengan peningkatan pasokan. Produksi Irak telah terganggu karena terbatasnya investasi dan faktor politik di Irak."

"Jika ada perubahan rezim di Irak, akan ada tambahan pasokan minyak dunia 3-5 juta barrel per hari," demikian kata Lindsey.

Juru Bicara Gedung Putih Scott McClellan menghindar dan tak mau mengomentari Lindsey. Namun, Direktur OMB Mitch Daniels mengatakan, "Perkiraan Lindsey itu sangat, sangat tinggi."

Namun, apakah tindakan AS sekarang ini mendapatkan legitimasi? Apakah sikap AS yang main kayu, bisa benar-benar mengamankan pasokan minyak dunia? AS telah melukai perasaan, bukan saja perasaan warga Irak, tetapi juga banyak negara di dunia yang merasa telah diinjak oleh pemegang super power itu.(Simon Saragih)

No comments: