Tuesday, September 11, 2007

Polisi Mesum Pencabut Nyawa

Penembakan

Nia Sari (Dok. GATRA)Nia Sari tewas sia-sia di tangan polisi brengsek. Padahal, Nia tak melanggar hukum. Dia bukan penjahat, juga bukan teroris. Nia hanya gadis remaja yang lugu. Usianya baru 15 tahun. Satu-satunya "dosanya" terhadap si biadab --begitu belakangan warga menjuluki polisi itu-- adalah menolak diajak berbuat mesum.

Akibatnya, Brigadir Kepala Suwandi, polisi yang sudah tak kuasa menahan gelora syahwatnya itu, jadi kesal berat. Lebih-lebih, Nia berusaha lari dan mengancam akan melapor ke atasan Suwandi. Suwandi pun mengacungkan pistol ke arah kepala Nia. "Kutembak kau!" bentaknya.

Ternyata ia benar-benar menarik pelatuk pistol. Dor! Di tempat sepi tengah malam, Senin pekan lalu, itu Nia tersungkur. Sebutir peluru menembus bagian belakang kepala dan bersarang di pelipis kirinya. Diperkirakan gadis malang itu tewas seketika.

Suwandi menyeret mayatnya sejauh lima meter ke semak-semak. Kemudian anggota Kepolisian Resor (Polres) Bogor, Jawa Barat, itu menyalakan motornya. Sempat mampir ke Polres, Suwandi kemudian pulang ke rumah. Kepada sang istri, ayah dua anak itu dengan tenang menyatakan bahwa ia pulang agak telat karena habis tugas malam.

Seolah tak pernah terjadi apa-apa, dia kemudian tidur pulas hingga pagi hari. Bangun tidur, Suwandi kembali ngantor. Ia masih tenang-tenang saja. Atasan dan sejawatnya belum mengetahui laku biadab Suwandi. Bahkan, ketika warga menemukan mayat korban pada pagi itu, polisi sempat mengira korban tewas di tangan perampok.

Warga menemukan mayat Nia pada Selasa pagi, telentang di semak-semak di belakang kantor Desa Tengah, Cibinong, Bogor. Kepalanya digenangi darah kental. Baju kaus dan kutangnya tersingkap. Kancing dan risleting celana jinsnya terbuka.

Warga melaporkan penemuan itu ke polisi. Dari pengusutan polisi ketahuanlah pelakunya Brigadir Suwandi. Nah, Suwandi pun lantas mengarang cerita. Katanya, dia terpaksa menembak karena mengira korban akan merampas sepeda motor Yamaha Vega-R miliknya.

Suwandi bilang, di malam nahas itu Nia berjalan-jalan bersama pemuda tetangganya, Nasih Alwali alias Dede. Mereka mengendarai sepeda motor Suzuki Thunder. Tak jauh dari Polres Bogor, motor tersebut mogok kehabisan bensin. Suwandi sempat mengantar Dede ke pangkalan ojek guna diantar mencari bensin.

Setelah itu, Suwandi balik ke tempat Nia yang menunggu motor Suzuki. Suwandi mengajak Nia muter-muter, katanya, untuk mencari bensin. Eh, tak tahunya Nia diajak ke tempat sepi di belakang kantor Desa Tengah. Nia manut saja karena mungkin merasa aman bersama polisi. Atau mungkin saja Nia segan menolak karena Suwandi polisi.

Tiba di situ, telepon seluler Suwandi berdering. Pada saat bertelepon itulah, kata Suwandi, Nia mengambil alih kemudi motor dan tancap gas. Suwandi berteriak, mencoba menghentikan Nia. Tapi, katanya pula, Nia tetap kabur. "Saya langsung menembaknya karena panik." Begitulah awalnya pengakuan Suwandi kepada atasannya.

Sulit dipercaya, oknum polisi satu ini enteng saja mengarang cerita dan memutarbalikkan fakta. Bagaimana mungkin seorang gadis belia berani merampas motor polisi? Katakanlah Nia memang hendak merampas, kenapa sampai harus ditembak kepalanya? Tidakkah bisa dilumpuhkan tanpa harus membunuh?

Kalaupun Nia benar penjahat seperti dituduhkan, sepatutnya pulalah Suwandi segera melaporkan penembakan itu kepada atasan. Dan Suwandi bersama pihak kepolisian haruslah secara resmi mengurus jenazahnya, bukan malah menyembunyikannya di semak.

Celakanya pula, ocehan yang sama sekali tak masuk di akal itu, apalagi di akal polisi yang sudah banyak makan asam garam, sempat dipercaya sejawat dan atasannya. Celotehan kosong itulah yang kemudian dipaparkan Kepala Polres Bogor, Ajun Komisaris Besar Arief Ontowiryo, kepada wartawan, Rabu pekan lalu.

Menurut Arief, ketika Suwandi menerima telepon, korban mengambil alih kemudi motor. "Karena panik, Sw (Suwandi) mengarahkan pistol ke korban, dan tembakannya mengenai kepala korban," kata Kapolres pada waktu itu.

Keruan saja, pernyataan resmi polisi ini --yang terkesan asal membela korps secara membuta-- mendapat reaksi keras. Keluarga korban tak bisa menerima pengakuan Suwandi. Sebab, menurut mereka, jangankan merampas sepeda motor --apalagi motor polisi-- mengendarai motor saja Nia tak bisa.

"Itu fitnah, sangat menyakitkan kami," kata Mahmudin, kakak kandung Nia. Ibu korban, Ny. Sani, sangat terpukul. Ia shock mendapat kenyataan putrinya terbunuh, dituduh pula sebagai perampok. "Pokoknya, saya tidak terima apa yang dikemukakan polisi," teriak Ny. Sani sesenggukan, lalu pingsan beberapa kali.

Keluarga korban juga menepis tudingan polisi bahwa korban bersama Dede berkomplot untuk menggasak motor Suwandi. Mereka mengatakan, sungguh membutuhkan nyali luar biasa besar bagi sepasang remaja untuk merampas motor milik polisi dengan modus mogok di kantor polisi. Apalagi, kedua remaja itu tak punya catatan kriminal.

Masyarakat pun, terutama di lingkungan tempat tinggal korban di Kampung Citayam, Kecamatan Bojong Gede, Bogor, menolak cerita versi polisi itu. Pengamat hukum dan anggota dewan juga bereaksi. Indonesia Police Watch (IPW), lembaga swadaya yang getol menyoroti polisi, turut mengecam keras.

"Logikanya, nggak mungkinlah korban berani. Itu hanya karangan polisi untuk menjaga nama baik korps. Pembelaan asal-asalan ini justru bisa merusak citra polisi," kata Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane, kepada Gatra. Ia ketika itu meminta petinggi polisi mengusut tuntas kasus tersebut.

Syukurlah, reaksi-reaksi keras itu mendapat perhatian petinggi polisi. Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat, Inspektur Jenderal Soenarko Danu Ardanto, bergegas menurunkan dua tim ke Polres Bogor untuk mengusut kasut tersebut.

Tim pertama di bawah koordinasi Kabid Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Barat, Komisaris Besar (Kombes) Adri Widuhung, serta Direktur Intelijen dan Keamanan Polda Jawa Barat, Kombes Slamet Sopandi. Tim ini fokus terhadap pelanggaran profesi yang dilakukan tersangka.

Adapun tim kedua di bawah koordinasi Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Barat, Kombes Tatang Somantri. Tim kedua ini khusus menangani tindakan pelanggaran pidana yang diduga dilakukan tersangka. Syukur pula, kedua tim ini bekerja profesional.

Upaya Suwandi mengaburkan kasus pembunuhan itu pun terungkap sudah. Keterangan awal Suwandi terpatahkan semuanya. Anggota Intelijen dan Keamanan Polres Bogor itu akhirnya mengakui bahwa ia membunuh korban karena takut perbuatannya dilaporkan korban ke komandan.

Suwandi mengaku mencoba berbuat tak senonoh terhadap korban. Namun, karena korban melawan, "Oknum anggota Polri ini mengaku panik," kata Sunarko. Kepanikan ini membuat Suwandi mencoba membungkam korban dengan cara kelewatan: menembak kepalanya.

Hasil pengusutan yang menggembirakan ini dipaparkan Kapolres Arief Ontowiryo kepada pers di Polres Bogor, Jumat pekan lalu. Suwandi pun ditahan. Kapolres mengakui, sebelumnya ia terlalu terburu-buru mempercayai cerita bohong yang dikarang Suwandi. "Sekarang (Suwandi) sedang diperiksa intensif," kata Arief.

***

Mungkin sudah takdir Nia Sari harus meninggal ditembak polisi di usia belia. Di malam nahas itu, Nia kumpul di rumah teman yang juga tetangganya, Fitrah. Sedianya, dari situ mereka pergi ke tempat pengajian. Tapi acara pengajian batal. Nia pun pulang, diantar Dede, kakak Fitrah, mengendarai Suzuki Thunder.

Seharusnya Nia benar-benar pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba saja ia ingin jalan-jalan dulu ke kota Bogor. Padahal, hari sudah malam. Dede tak keberatan. Mereka pun raun-raun sejenak di sudut-sudut "kota hujan" itu. Apes, bensin habis.

Motor pun mogok tak jauh dari Polres Bogor. Sepasang anak muda ini mendorong motor hingga berpeluh. Menjelang di seberang Polres Bogor, keduanya beristirahat sejenak. Dede tak waswas karena mengira, mogok di depan kantor polisi pastilah aman.

Ternyata pikiran lajang 19 tahun itu salah besar. Mereka memang aman dari penjahat sipil. Tapi bencana justru datang dari oknum polisi anggota Polres Bogor, Suwandi. Lulusan Sekolah Polisi Negara tahun 2000 ini kebetulan melintas, hendak ke Polres. Suwandi melambatkan laju Yamaha Vega-R warna hitam yang ditungganginya.

Dede menyetopnya dan minta diantar mencari bensin. "Saya kira tukang ojek," tutur Dede. Suwandi tak keberatan. Menurut Dede, ia menangkap kesan, pada waktu itu Suwandi sudah kesengsem terhadap Nia. Maklum, bunga Kampung Citayam ini cantik, menarik, dan berkulit mulus.

Agak waswas, Dede meninggalkan sepeda motornya dan Nia. Waktu menjelang pukul 22.30. Suwandi mengantarkan Dede ke pangkalan ojek, dan menyuruhnya mencari bensin dengan naik ojek di pangkalan tersebut. Dari tukang ojek beneran, Dede baru tahu bahwa yang mengantarnya barusan itu anggota intel polisi.

Setelah memperoleh bensin, Dede kembali ke depan kantor Polres Bogor. Motornya memang masih ada, bergeser ke depan Polres. Namun Nia sudah raib. Seketika Dede panik. Berkali-kali ia menghubungi telepon seluler Nia. Tapi tak ada jawaban. Boleh jadi, pada saat itu Nia sudah tewas atau masih tak berkutik di bawah "penguasaan" Suwandi.

Dede pun berputar-putar mencari Nia sampai dini hari. Tapi tetap nihil. Dia kemudian memacu motornya ke rumah Nia, mengecek keberadaan gadis itu. Ternyata korban belum pulang. Kepada keluarga korban, Dede menceritakan semuanya, termasuk soal sosok Suwandi. Keluarga Nia pun panik.

Paginya, warga Desa Tengah digegerkan dengan penemuan mayat Nia dengan luka tembak di kepala. Polisi yang dilapori segera meluncur ke TKP (tempat kejadian perkara). Kabar ini pun tersiar sampai ke Citayam. Ketika disebutkan ciri-cirinya, "Saya mau pingsan mendengar kabar itu," tutur Oman, ayah Dede, kepada Gatra.

Sani, Ibu Nia, langsung pingsan. Setelah siuman, Sani bersama Oman dan tetangganya pergi ke RS PMI Bogor guna menengok mayat Nia. Sedangkan Dede bersama Medi, tukang ojek yang mengantarnya membeli bensin, dimintai keterangan di kantor polisi.

Dari keterangan Dede dan si ojek, polisi mengantongi nama Suwandi yang diduga berada di balik kematian korban. Kepada penyidik, seperti telah dijelaskan di bagian awal, Suwandi mengaku menembak karena Nia hendak merampas motornya.

Sebelumnya, Suwandi juga berbohong kepada Sani, ibu korban, dengan mengatakan tak tahu perihal keberadaan Nia. Pagi itu, Sani sempat ke rumah Suwandi di asrama polisi di Cibinong, Bogor. Sani yang janda ini ditemani keluarga Dede dan Medi yang tahu rumah Suwandi, bermaksud menanyakan soal Nia.

Suwandi pada waktu itu masih tidur. Kedatangan mereka disambut istri Suwandi, Nani Suryani. Kepada tamunya, Nani menjelaskan bahwa suaminya masih pulas, kecapekan habis tugas malam. Toh, Suwandi akhirnya dibangunkan juga. Kepada Sani, Suwandi mengaku tak tahu mengenai keberadaan Nia.

Kata Suwandi, setelah mengantar Dede ke pangkalan ojek, ia langsung ke kantor Polres, kemudian pulang ke rumah. "Saya tak ketemu dia (Nia) lagi, tapi saya berusaha membantu mencarinya," kata polisi berbadan tegap itu, seperti dituturkan keluarga Dede kepada Gatra.

Siangnya, Oman menelepon Suwandi, mengabarkan penemuan mayat Nia. "Nia sudah ditemukan, tapi sudah meninggal dibunuh. Tolong, Pak, dibantu mencari pelakunya," ucap Oman di telepon. Suwandi berlagak ikut sedih dan berjanji akan berusaha menangkap pelakunya.

Padahal, pelakunya tak lain Suwandi sendiri. Pengakuan Suwandi kepada penyidik, sepulang mengantar Dede ke pangkalan ojek, ia kemudian menemui Nia. Benarlah kesan Dede, Suwandi rupanya tergiur kecantikan dan kemolekan Nia. Suwandi mengajak Nia untuk mencari bensin pula.

Awalnya Nia menolak. Tapi, setelah dirayu terus, gadis itu akhirnya mau juga. Di perjalanan, Suwandi mendapat telepon dari Brigadir Enteng, rekannya yang sedang piket di Polres Bogor. Suwandi memarkir motornya di penggalan Jalan K.S.R. Dadi Kusmayadi. Suasana di tepi kantor Desa Tengah itu gelap dan sepi. Tak ada penerangan jalan.

Enteng memintanya agar segera ke Polres. "Sebentar, saya lagi nyari bensin bersama teman," Suwandi menanggapi. Setelah bertelepon, kata Suwandi, ia meminta Nia menyetir motor. Atau, boleh jadi, Suwandi memaksa Nia untuk diajari nyetir motor. Dalam takutnya, Nia tak berani menolak.

Maka, Suwandi yang duduk di belakang enak saja meraba-raba dan memeluk tubuh Nia. Gadis yang bercita-cita menjadi bintang sinetron itu tersentak dan menolak secara halus. "Pak, jangan macam-macam, ah. Nanti saya laporkan ke atasan, lho," kata Nia, seperti dituturkan Suwandi kepada penyidik.

Suwandi tak peduli. Ia terus menggerayangi perut dan dada Nia. "Ayolah, sebentar saja," bisik Suwandi, penuh nafsu. Nia berontak keras sampai terjatuh dari motor. Gadis yang baru tamat SMP itu berusaha bangun dan melarikan diri. Pada saat itulah, masih menurut Suwandi, ia panik dan menembak Nia.

Menilik kepanikan itu, boleh jadi Suwandi sempat menodai korban. Sebab, kalau sekadar meraba-raba, kenapa begitu takut dilaporkan ke atasannya oleh korban? Tapi, soal dugaan memerkosa ini masih remang. Kapolda Sunarko dan Kapolres Arief hanya menyebut "berbuat tak senonoh".

Sedangkan hasil otopsi korban belum diketahui. Yang pasti, kelakuan Suwandi sangat mengejutkan sejawatnya. "Saya tak menyangka ia berbuat begitu," ujar seorang sejawatnya di Polres Bogor, yang mengaku mengenal Suwandi sebagai sosok yang supel dan bereputasi cukup baik.

Nani, istri Suwandi, sampai shock. Selama tujuh tahun berumah tangga, Nani mengenal Suwandi sebagai suami yang baik. Kapolda Sunarko menyesalkan laku anak buahnya yang mencoreng citra polisi itu. "Saya prihatin dengan kejadian itu dan memohon maaf kepada keluarga korban," kata Sunarko.

Ia berjanji akan memproses Suwandi secara transparan. "Tentunya akan diganjar hukuman setimpal, baik dari institusi maupun peradilan umum," ujar Sunarko. Ketua Presidum IPW, Neta Pane, menilai permintaan maaf tak cukup oleh Kapolda saja. "Kapolri juga harus minta maaf secara terbuka kepada keluarga korban, karena kasus ini dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat," katanya.

Neta juga mendesak agar Kapolres Arief Ontowiryo mengundurkan diri. Arief dinilainya tidak bersikap arif dan tidak mampu menganalisis persoalan yang melibatkan anak buahnya. "Seharusnya sedari awal ia sudah tahu bahwa cerita Suwandi yang pertama itu bohong besar karena tak masuk akal sama sekali," ucap Neta.

Toh, ia cukup menghargai sikap polisi yang akan memproses Suwandi secara transparan. "Memang harus begitu. Citra polri dapat dijaga dengan cara-cara yang realistis, bukan dengan cara membela anak buah secara membuta," kata Neta. Iya tuh!

Taufik Alwie, Deni Muliya Barus, Anthony, dan Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)
[Hukum, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis 6 September 2007]

No comments: