Thursday, September 13, 2007

Satu Trilyun untuk Duafa


Cover GATRA Edisi 44/2007 (GATRA/Tim Desain)Mahkamah Agung menghukum majalah Time membayar ganti rugi Rp 1 trilyun kepada mantan Presiden Soeharto. Berita majalah Time Asia yang disoal adalah hasil investigasi tentang harta kekayaan Pak Harto dan keluarga. Time memperkirakan, keluarga Soeharto memiliki kekayaan US$ 15 milyar dalam bentuk uang, tanah dan bangunan, benda seni, perhiasan, dan pesawat pribadi.

Seandainya uang Rp 1 triliun dibayarkan kepada Soeharto, menurut Indriyanto Seno Aji, salah seorang tim pengacaranya, uang itu akan diberikan untuk mengentaskan kaum duafa, mendanai pendidikan, kebudayaan, dan pengembangan museum nasional.

Mohammad Hasan, pengusaha yang dikenal dekat dengan Pak Harto, pun mengiyakan. Mengenal kepribadian Pak Harto, kata Mohammad Hasan, kalau duit itu nanti diterima, pasti bukan untuk kepentingan pribadi. Dana itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, kepentingan rakyat Indonesia. "Tapi, pertama-tama, kalau duit itu nanti jadi diterima, yang harus dilakukan adalah membayar pajak," katanya.

Perbuatan para tergugat, menurut majelis, juga dinilai telah memenuhi kriteria objektif perbuatan melawan hukum. Yakni bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati dalam pergaulan masyarakat karena melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai maksud dan tujuan demi kepentingan umum.

Karena gambar dan tulisan itu telah beredar luas, menurut majelis, sebagai perbuatan hukum yang mencemarkan nama baik Pak Harto sebagai jenderal besar TNI dan mantan Presiden RI, maka tuntutan pertanggungjawaban perdata itu dapat dikabulkan. Demikian pula kerugian imateriil yang diderita Pak Harto. Sedangkan kerugian materiil tidak dirinci dalam gugatan sehingga ditolak.

Dengan adanya putusan itu, Juan Felix menyatakan akan segera mengajukan eksekusi atas aset tergugat di luar negeri ke pengadilan negeri. Itu pun setelah menerima salinan putusan resmi dari MA. "Kami harus menerima salinan putusan resmi dulu sebagai dasar langkah eksekusi," katanya kepada Deni Muliya Barus dari Gatra.

Hukum acara di Indonesia sangat memungkinkan untuk mengeksekusi aset di luar negeri. "Justru kita mesti lihat dulu, apakah Time Asia menghormati supremasi hukum Indonesia atau tidak," katanya.

Sebaliknya, bagi pengacara Time Asia, Todung Mulya Lubis, putusan itu tak ubahnya petir di siang bolong. "Saya tidak menduga sama sekali," ujarnya. Hingga Selasa lalu, ia mengaku belum menerima petikan putusannya dari pengadilan.

Todung membantah bahwa Time telah menulis berita tidak akurat. Sebab kliennya sudah menjalankan mekanisme cek dan recek serta melakukan penelitian mendalam selama berbulan-bulan. Bahkan, kata Todung, Jaksa Agung pada saat itu, Marzuki Darusman, meminta Time membantu Kejaksaan Agung untuk memberikan informasi soal harta Pak Harto dan keluarga.

Bagi Todung, jika gugatan Pak Harto betul-betul dimenangkan MA, bagi dia, itu menunjukkan bahwa MA tidak berpihak pada upaya-upaya pemberantasan KKN di Indonesia. Sebab tulisan Time tersebut merupakan pemberitaan tentang adanya dugaan KKN yang dilakukan Pak Harto dan para kroni.

Di mata Todung, putusan tersebut merupakan lampu merah bagi kebebasan pers di Indonesia. "Yang dikalahkan bukan hanya Time, melainkan kebebasan pers," katanya. Padahal, jika kebebasan pers terancam, tidak mungkin reformasi akan berhasil.

Putusan itu, menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen, Heru Hendratmoko, menjadi preseden buruk bagi pers. "Ini pembredelan secara tidak langsung karena angka yang diminta sangat fantastis," ujarnya. Sebab, jika terjadi pada industri media di Indonesia, akan membuat mereka bangkrut. Putusan MA itu juga bisa dipakai sebagai rujukan untuk membangkrutkan media massa yang berperkara di pengadilan.

Rita Triana Budiarti, M. Agung Riyadi, Basfin Siregar, Rach Alida Bahaweres, dan Sujud Dwi Pratisto
[Laporan Utama, Gatra Nomor 44 Beredar Kamis, 13 September 2007]

No comments: