Sunday, September 09, 2007

Menyisir dari Pegawai Pinggiran


Edisi. 29/XXXVI/10 - 16 September 2007
Nasional
Lima pejabat Bank Indonesia dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap bank sentral itu. Petinggi lain diperiksa pekan ini.

PARA petinggi Bank Indonesia bakal hilir-mudik ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi pekan-pekan ini. Beberapa penyidik komisi itu tengah giat memeriksa kasus dugaan suap bank sentral ini kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Sepanjang pekan lalu, tiga pejabat bank itu telah diperiksa sebagai saksi. Sumber Tempo menuturkan, mereka yang diperiksa itu memang cuma pegawai pinggiran alias bukan pejabat tinggi. Status tiga orang ini pun masih saksi.

Yang juga diperiksa penyidik adalah pengurus Badan Supervisi Bank Indonesia. Badan yang didirikan pada 22 September 2006 itu bertugas mengawasi petinggi Bank Indonesia.

Sutan Remy Sjahdeni, ketua badan itu, diperiksa penyidik pada Rabu pekan lalu dengan status saksi. Kepada wartawan, Sutan Remy mengaku tidak mengetahui aliran dana itu. Sebab, katanya, badan itu cuma bertugas menelaah laporan keuangan Bank Indonesia yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Sutan melanjutkan, ”Jika yang kami periksa dokumen yang sudah diaudit, mana mungkin Bank Indonesia mencantumkan dana itu?” Jadi, badan supervisi ini tak pernah mengetahui soal dana ini.

Seperti luas dipublikasikan, kasus ini bermula dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Bank Indonesia tahun buku 2004. Dari audit itu diketahui terdapat dana sekitar Rp 100 miliar yang hinggap di sejumlah tempat.

Dalam audit BPK disebutkan, rapat penggunaan dana itu digelar dua kali. Pertama pada 3 Juni 2003 dan kedua digelar bulan berikutnya, 22 Juli. Dua rapat penting ini dipimpin langsung Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah.

Sumber Tempo menuturkan, sesungguhnya rapat tentang fulus segunung itu sudah dimulai pada April 2003, tatkala bank sentral masih dipimpin Syahril Sabirin. Tapi yang dibahas saat itu cuma bantuan dana untuk tujuh petinggi bank sentral yang tersangkut perkara bantuan likuiditas Bank Indonesia(BLBI). Rapat yang dilakukan bulan April ini berakhir tanpa keputusan.

Keputusan paling penting, menurut sumber Tempo, terjadi dalam rapat 3 Juni 2003 itu, yang dipimpin gubernur baru Burhanuddin Abdullah.

Dari tiga kali pertemuan itu, lanjut sumber ini, rapat pada 3 Juni itulah yang paling menentukan. Sebab, ”Rapat yang dipimpin langsung Burhanuddin itu memutuskan penggunaan dana Rp 100 mili ar tadi,” kata sang sumber. Dalam rapat itu juga diputuskan dana segunung itu akan diambil dari Yayasan Pendidikan dan Perbankan Indonesia.

Dari audit BPK, diketahui bahwa Rp 31,5 miliar dari total dana disetor kepada wakil rakyat di Komisi Keuangan dan Perbankan di Senayan. Fulus itu dikirim lewat Antony Zeidra Abidin, anggota komisi itu, yang kini jadi Wakil Gubernur Jambi. Kepada Tempo, Antony membantah keras tuduhan itu. ”Saya sangat terhina dengan tuduhan itu,” katanya.

Fulus yang dikirim ke Senayan itu diduga untuk mengamankan kepentingan bank sentral di legislatif. Saat itu Komisi Keuangan dan Perbankan memang sedang membahas amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belakangan hasil amendemen dan putusan Dewan tentang BLBI dinilai menguntungkan posisi Bank Indonesia.

Sumber Tempo yang memahami lika-liku kasus ini menuturkan bahwa biaya membahas amendemen undang-undang dan BLBI menggunung lantaran sejumlah pertemuan digelar di hotel dan luar kota. ”Lebih dari sepuluh kali pembahasan dilakukan di hotel dan di luar kota,” kata sumber ini.

Satu kali rapat biasanya tiga hingga empat hari. Di luar akomodasi hotel, setiap anggota Dewan juga diberi honor yang besarnya sekitar Rp 10 juta. Jika jumlah pertemuan lebih dari sepuluh kali, total honor untuk satu anggota Dewan saja lebih dari Rp 100 juta.

Yang paling lelet, menurut sumber ini, adalah pembahasan soal BLBI. Sejumlah anggota Dewan malah meminta melakukan studi banding ke sejumlah negara.

Yang dikunjungi adalah negara yang senasib dengan Indonesia. Di antaranya Argentina, Republik Cek, Venezuela, dan beberapa negara di Eropa. Selain seluruh akomodasi ditanggung BI, dalam setiap kali kunjungan anggota Dewan diberi uang saku.

Seorang mantan anggota Dewan yang ikut berkunjung ke sejumlah negara itu menuturkan, ”Setiap kunjungan, semua akomodasi ditanggung Bank Indonesia.” Soal uang saku, sumber ini mengaku menerima tapi lupa berapa jumlahnya.

Sumber Tempo menambahkan, sebagian dari fulus yang diposkan kepada anggota Dewan itu dipakai untuk meng undang sejumlah pakar hukum dan ahli perbankan dari Eropa dan Amerika Serikat.

Sejumlah pakar mancanegara itu diundang untuk memperkuat posisi Bank Indonesia dalam perdebatan tentang BLBI. Para ahli diminta memberikan penjelasan kepada anggota Dewan tentang situasi perbankan saat krisis ekonomi dan latar belakang BLBI.

Repotnya, para anggota Dewan tidak kunjung memahami penjelasan para pakar itu. Jadilah para ahli itu diundang berkali-kali. ”Honor dan akomodasi pakar dari luar negeri itu juga berlipat kali,” kata sumber itu.

Dari audit BPK juga terlihat bahwa Rp 42,7 miliar dana dipakai untuk membereskan perkara sejumlah petinggi Bank Indonesia yang tersangkut BLBI. Ketika itu tujuh petinggi bank sentral ini memang diseret ke muka hukum.

Mereka antara lain Soedrajad Djiwandono, yang menjadi Gubernur Bank Indonesia periode 1996-1998, Paul Sutopo, Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan tiga orang direktur.

Dana Rp 42,7 miliar itu dibagi dua: Rp 27,7 miliar dipakai membayar pengacara dan Rp 15 miliar diserahkan secara tunai kepada semua tersangka.

Sumber Tempo lainnya menuturkan, biaya untuk perkara ini melambung karena para tersangka mengirim semua klaim pengeluaran mereka sejak diseret ke muka hukum pada 1998.

Walhasil, walau dana ini baru dicairkan pada 2003, Bank Indonesia harus membayar semua pengeluaran para tersangka dalam lima tahun terakhir. ”Jadi jumlah biaya yang dipikul BI melambung,” kata sumber ini.

Semua tersangka itu tidak cuma ”berjuang” lewat pengadilan tapi juga lewat buku, diskusi, dan seminar untuk menjelaskan soal BLBI. Semua diskusi dan buku diarahkan pada satu titik bahwa BLBI itu keputusan politik pemerintah, bukan BI.

Seorang tersangka bahkan menerbitkan tiga buah buku yang khusus menjelaskan sejarah dan duduk soal BLBI. Semua biaya seminar, diskusi, dan penerbitan buku itu ditanggung Bank Indonesia.

Semua proyek ini diputuskan dalam dapat Dewan Gubernur yang dipimpin Burhanuddin Abdullah. Jadi, menurut sumber Tempo itu, ”Mestinya penyi dik KPK langsung saja memanggil Bur hanud din dan petinggi BI lainnya dan bukan pegawai rendahan.”

Tapi sumber Tempo di sebuah lembaga negara menuturkan, kasus ini cukup rumit karena melibatkan sejumlah petinggi bank sentral. ”Siapa yang tidak tahu kekuatan lobi mereka,” tutur sumber ini. Itu sebabnya KPK memulai dari pegawai rendahan.

Setelah pemanggilan pengurus Badan Supervisi Bank Indonesia, kata sumber Tempo, giliran pengurus Yayasan Pendidikan dan Perbankan Indonesia yang dipanggil. ”Pokoknya penyidik ingin meraba pemetaan kasus ini dulu,” ujar sumber ini.

Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, menegaskan bahwa kasus ini bisa dibidik dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Ada dua pasal yang bisa dipakai, yakni pasal tentang suap dan gratifikasi. Ancamannya 1 hingga 5 tahun penjara.

Sayang, petinggi BI masih mengunci suara. Surat permohonan wawancara yang dikirim Tempo kepada Burhanuddin Abdullah dilimpahkannya ke Budi Mulia, kepala hubungan masyarakat.

Rizal Djafara, yang saat dana ini di cairkan menjabat Kepala Biro Gubernur, mengaku lupa pada kasus ini. ”Coba kamu hubungi Pak Budi Mulia,” katanya kepada Bayu Galih Wibisono dari Tempo.

Budi Mulia, yang dicegat setelah konferensi pers tentang BI rate, Kamis pekan lalu, cuma menjawab singkat, ”Saya tidak ingin berkomentar tentang itu,” katanya.

Wenseslaus Manggut, Agoeng Widjaya

No comments: